Oleh: Nayla Shofy Arina (Pegiat Literasi)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berupaya mempermudah akses keuangan bagi penyandang disabilitas atau difabel. OJK juga akan mendampingi disabilitas agar bisa mengelola keuangan dengan baik.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen, Friderica Widyasari Dewi mengatakan, hal itu dilakukan karena saat ini penyandang disabilitas membutuhkan layanan dalam membuat tabungan, asuransi hingga kredit dari perbankan. Menurutnya, penyandang disabilitas juga berkontribusi pada perekonomian nasional. Sebab mayoritas mereka merupakan bagian dari sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
“Penyandang disabilitas mereka bisa kemudian menjadi pahlawan-pahlawan ekonomi nusantara. Menjadi tukang foto keliling, berjualan di pasar dan berbagai profesi lain di perkantoran menjadi desainer, dan lain-lain, luar biasa,” ujarnya (cnbcindonesia.com/ 15/8/2023).
Pandangan Islam
Sejatinya negara tidak seharusnya menggantungkan harapan dan mengeksploitasi para difabel untuk menjadi penggerak perekonomian nasional karena keterbatasan yang mereka miliki. Bahkan para difabel harus turut bersaing dengan para korporasi.
Dari sini bisa diketahui, bahwa akar permasalahannya ada pada sistem yang diterapkan negara saat ini (kapitalis). Sistem ini meniscayakan segala sesuatunya harus disandarkan pada materi. Standar pencapaian kesuksesan hanya diukur ketika mampu meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Program layanan usaha, pinjaman modal dan pelatihan adalah bentuk eksploitasi yang terselubung dibalik pemberdayaan ekonomi dan menjadi bukti negara berlepas tangan. Memang, menjadi keharusan pelatihan agar mandiri secara ekonomi, terkhusus bagi kaum lelaki yang menjadi tulang punggung keluarga.
.
Faktanya, bukan lagi soal mengembangkan usaha, mencari keuntungan dan menjadi bagian penggerak ekonomi negara. Akan tetapi, dengan keterbatasannya, mereka baru memikirkan bagaimana menanggung biaya hidup yang serba mahal lagi sulit.
Dalam Islam, semua manusia setara, yang membedakan adalah ketakwaannya. Tidak terkecuali para penyandang disabilitas atau difabel. Mereka tetap berhak untuk dipenuhi kebutuhan hidupnya, perlakuan manusiawi dan layanan fasilitas yang mampu membantu memudahkan aktivitas mereka, seperti menyediakan sekolah khusus, santunan alat bantu dengar, kaki palsu dan semacamnya.
Seperti pada masa kejayaan Islam yakni khilafah. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menulis instruksi untuk pejabat Syam dan memerintahkan agar para tunanetra, orang yang sakit atau jompo dan pensiunan didata guna mendapatkan tunjangan. Bahkan sejumlah penderita tunanetra didampingi pelayan yang menemani setiap waktu. Sementara Abu Ja’far al-Manshur mendirikan rumah sakit khusus bagi penyandang cacat di Baghdad.
Demikianlah, mekanisme Islam dalam melayani rakyat. Negara hadir untuk memenuhi kebutuhan pokok dan dasar seluruh rakyatnya khususnya bagi para difabel.
Kebutuhan pokoknya melipui; sandang, pangan, papan, dan kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan dan jaminan kesejahteraan menjadi kewajiban negara. Jika mampu bekerja, negara memberikan fasilitas, pelatihan dan pemberian modal, tidak mengeksploitasi dengan dalih pembangunan ekonomi negara, sehingga tidak merasa terbebani. Namun jika tak mampu bekerja negaralah yang akan memberikan santunan.
Begitulah, mekanisme Islam memastikan seluruh rakyat memperoleh layanan penuh dari negara. Sebagai hak yang harus didapatkan.
Allah SWT berfirman:
“Tidak ada halangan bagi tunanetra, tunadaksa, orangsakit, dan kalian semua untuk makan bersama dari rumah kalian, rumah bapak kalian atau rumah ibu kalian”. (Q.S an-Nur:61).
MasyaAllah. Islam memberikan solusi yang komprehensif. Melindungi, melayani dan mensejahterakan seluruh lapisan masyarakat. Dari yang lemah, yang kuat hingga non muslim sekalipun. Semoga sistem Islam segera tegak.
Wallahua’lam bis shawwab.