Lagi-Lagi Impor, Bukti Negara Nihil Swasembada?

Oleh. Sri Rahayu Lesmanawaty
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Bagai sebuah rutinitas, jelang lebaran turunnya kebijakan impor menjadi hal biasa karena alasan kelangkaan bahan pangan. Pengulangan demi pengulangan terjadi tanpa memperhatikan kondisi yang sebetulnya bisa diprediksi.

Sebagai negara agraris, miris saat beras sebagai makanan pokok bangsa Indonesia ternyata akan diimpor dari Kamboja sebanyak 22 ribu ton untuk memenuhi kebutuhan Lebaran (Viva.co.id, 18/3/2024). Tahun ini saja, Bulog sudah mengantongi izin impor beras sebanyak 2,5 juta ton dikarenakan rata-rata kebutuhan konsumsi beras per bulan adalah sebesar 2,55 juta—2,56 juta ton. Dengan produksi beras Januari dan Februari 2024 sebesar 0,91 juta dan 1,39 juta ton. Defisit produksi dibandingkan konsumsi sebesar 2,8 juta ton beras, menunjukkan bahwa keputusan impor seakan tepat.

Selain beras, ternyata impor daging dan sapi hidup pun akan datang menjelang Lebaran. Sebanyak 2.350 sapi impor asal Australia akan membanjiri Indonesia menjelang Lebaran 2024. Adapun volume impornya tahun ini sebanyak 145 ribu ton. (CNN Indonesia.com, 20/3/2024). Dengan merujuk data Badan Pangan Dunia (FAO), angka konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia sebesar 2,57 Kg per kapita per tahun. Kebutuhan konsumsi daging sapi nasional 2024 diperkirakan 720.375 ton. Sedangkan menurut data dari Bapanas per 27 Januari 2024, produksi dalam negeri hanya 422.649 ton. Alhasil, impor daging sapi pun menjadi pilihan.

Paradigma Kapitalistik wujudkan Negara Nir-Swasembada

Paradigma kapitalistik begitu kental dalam persoalan pangan di negeri ini, mulai dari hulu (produksi), tengah (distribusi), hingga ke hilir (kebutuhan masyarakat). Alhasil seluruh sektor terkait persoalan pangan memangkas kemandirian dan mewujudkan ketidakberdayaan.

Paradigma kapitalistik melahirkan kebijakan yang senantiasa berpihak pada kaum bercuan banyak. Saat hulu ke hilir menjadi incaran, penguasa melapangkan jalannya dengan kebijakan yang berpihak pada mereka.

Dari sisi produksi, masalah faktor produksi mulai dari lahan, pupuk, pakan, benih dan saprodi lainnya sangat membebani rakyat. Rakyat kalah saing dengan para investor yang mengalihfungsikan lahan mereka. Lahan produktif digunakan untuk gedung-gedung mewah yang dibangun para investor. Akhirnya ekstensifikasi pertanian pun terjegal. Ditambah lagi pengurangan subsidi pupuk, benih dan saprodi lainnya, mengakibatkan biaya produksi melambung. Para petani kalah bersaing dengan datangnya pangan impor yang lebih murah. Mereka sering merugi. Gairah mereka untuk berproduksi hilang berkorelasi dengan menurunnya produktivitas.

Persoalan harga tinggi ternyata bukan hanya sekedar produksi yang kurang, melainkan karena rantai distribusinya pun buruk. Buktinya, walaupun permintaan tinggi, tetap saja harga jual di tingkat petani dan peternak sangat rendah. Sehingga harga pangan yang tinggi jelang Lebaran bukan sekadar berbicara produksi yang menurun, melainkan penyebab paling tinggi adalah rantai distribusi yang tidak baik-baik saja yang dikuasai para pengusaha besar.

Penguasa abai terhadap rantai distribusi yang banyak masalah. Kebijakan impor dipikir untuk menjaga stabilitas harga. Saat harga tinggi di pasaran, penguasa langsung tetapkan kebijakan impor. Penguasa seakan tak berdaya sampai tak punya cara lain untuk menstabilkan harga selain dengan impor.

Tragis. ketergantungan terhadap impor memang jaminan atas langgengnya hegemoni asing atas bumi pertiwi. Pemangku kebijakan bertugas menjaga keberlangsungannya. Kebijakan kapitalistik semakin menguatkan ketergantungan kepada negara-negara makmur dari segala sisi, mulai dari utang hingga terpenuhinya pangan.

Ketidakberpihakan pada rakyat sangat terlihat saat impor beras akan datang menjelang Lebaran April. Padahal Maret dan April merupakan musim panen di beberapa wilayah. Jika memang kebijakan impor diperuntukkan bagi kemaslahatan konsumen, maka kebijakan impor seharusnya tidak saat musim panen raya. Namun, penguasa bergeming. Keran impor tetap digelontorkan, para petani dan peternak pun akhirnya meradang.

Sempurnalah sudah, kebijakan kapitalistik telah menghalangi terwujudnya negara mandiri. Sekalipun berbagai upaya telah dilakukan dalam mewujudkan swasembada pangan, namun saat sistem pemerintahan masih saja bercorak kapitalisme, negara akan tetap nir-swasembada.

Islam Wujudkan Kemandirian Negara

Sebagai sebuah sistem yang lahir dari kesempurnaan, Islam mewajibkan negara untuk berdaulat dan mandiri, tidak terkecuali terkait pangan. Kebijakan harus independen, jauh dari intervensi. Kemaslahatan umat harus diutamakan. Wahasil, kebijakan yang ada adalah demi kemaslahatan umat. Infrastruktur berkualitas dibangun agar biaya distribusi menjadi murah dan cepat sampai dari produsen ke konsumen. Infrastruktur terkait sarana jalan baik di kota maupun desa dibangun agar jangan sampai pangan tidak sampai atau biaya logistik tinggi.

Estensifikasi serta intensifikasi pertanian dan peternakan pun dikelola negara secara optimal. Dengan daratan dan lautan luas, sangat memungkinkan untuk mengoptimalkan kebijakan ekstensifikasi. Negara akan sangat selektif dalam memberi izin pembangunan pada lahan subur, mengingat kebutuhan pangan yang tinggi harus diimbangi dengan produksi yang tinggi pula.

Demikian juga terkait intensifikasi, kebijakan dibuat untuk meningkatkan produktivitas para petani. Adanya subsidi pupuk, pakan, saprodi, teknologi pendukung, dan sebagainya terus direalisasikan serta didukung dengan keberdayaan kas baitul mal yang mumpuni.

Sejalan dengan upaya peningkatan produksi, maka rantai distribusi pun menjadi perhatian. Adanya pengawasan dari seorang qadi yang disiapkan negara, akan menghindarkan praktik curang, penimbunan, dan berbagai tindakan lainnya yang dapat merugikan berbagai pihak terutama rakyat. Jika stok kurang, negara mencari daerah yang surplus untuk atasi daerah minus. Dengan ini kebijakan impor merupakan langkah terakhir jika memang urgen dan sifatnya tentatif. Negara tidak tergantung pangan impor namun upaya swasembada terus diupayakan.

Nirswasembada sangatlah jauh dalam sistem Islam. Dengan kemandirian penuh, negara akan menjamin kesejahteraan seluruh rakyatnya. Produsen maupun konsumen sangat diperhatikan agar memperoleh kesejahteraan. Konsumen memperoleh pangan murah, produsen pun dapat subsidi atau suntikan modal. Sungguh dengan ini kebijakan impor bukan menjadi pilihan seperti halnya sistem saat ini.

Oleh karena itu, mewujudkan sistem Islam bukan lagi tataran mau memilihnya atau tidak, tetapi sudah pada tataran harus bersegera menegakkannya. Karena hanya dengan sistem Islam saja lah keadilan terwujud hingga kedaulatan pangan pun niscaya dalam sebuah negara. Wallaahu a’lam bissawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi