Kuartal Akhir, Dana Serapan APBN Masih Minim, Akankah Islam Memberi Solusi?

Oleh. Rufaida Al-Aslamiy

Serapan Anggaran Masih Minim

Miris sekali, koar-koar defisit anggaran di kuartal pertama, nyatanya anggaran justru belum terserap banyak di kuartal akhir. Seperti inilah hidup di alam kapitalis, APBN dirancang sedemikian rupa, tapi nyatanya tidak begitu banyak mensejahterakan rakyat. Begitulah gambaran ketidakjelasan arah pembangunan manakala tidak mendasarkan pada kebutuhan dan kemaslahatan umat.

Dikutip dari CNN Indonesia (28/10/2022), Menteri Keuangan Sri Mulyani berharap setiap kementerian atau lembaga bisa menghabiskan sisa anggaran APBN yang masih belum terserap sekitar Rp1.200 triliun di akhir kuartal ini.

Pada akhir bulan September kemarin, belanja negara terealisasi sebesar Rp1.913,9 triliun atau terserap 61,6 persen dari Rp3.106,4 triliun. Ini artinya, masih ada sisa belanja sebesar Rp1.000 triliun lebih yang bisa dihabiskan pada periode Oktober-Desember 2022. Ini pula menunjukkan banyaknya layanan publik yang belum optimal, dan kebutuhan dana besar untuk anggaran beberapa bidang justru kurang dan malah dikurangi. Sementara itu, selalu dinarasikan ada defisit anggaran, sehingga subsidi dikurangi bahkan dihapuskan. Pada faktanya dana tidak terserap dan bersisa.

Islam Memberi Solusi

Memang menjadi hal yang meragukan jika nyatanya sistem saat ini tidak mampu melayani kebutuhan rakyatnya secara penuh. Dengan dana serapan yang rendah, bagaimana mungkin rakyat terlayani dengan baik kebutuhannya? Inilah bukti kerusakan sistem demokrasi yang tak mampu menyelesaikan masalah anggaran pembelanjaan negara secara tuntas.

Sementara, sistem anggaran dalam Islam senantiasa dibawah kendali Khalifah yang berperan sebagai ra’in (pengurus), sehingga serapan anggaran akan akan tepat sasaran dan sesuai kebutuhan.

Islam secara nyata memiliki konsep penyusunan APBN yang berbeda dengan APBN konvensional dalam sistem kapitalis sekuler sekarang. Perbedaan yang mendasar adalah menyangkut sumber utama pendapatannya sekaligus alokasi pembelanjaan-nya.

Sumber penerimaan APBN Islam, yang diterapkan oleh negara Khilafah, dikenal dengan sebutan Kas Baitul Mal yang dalam hal ini berbeda sama sekali dengan sistem kapitalis yang bertumpu pada sektor pajak. Islam tidak memungut pajak dari warganya. Kecuali darurat, itupun terbatas untuk warganegara yang kaya saja.

Sumber penerimaan negara melalui Kas Baitul Mal seluruhnya telah ditetapkan oleh syariat Islam. Dimana didalamnya berasal dari tiga sumber utama, yaitu :

Pertama, sektor kepemilikan individu, seperti sedekah, zakat, hibah, dsb. Untuk dana zakat ini, ia tidak boleh bercampur dengan harta yang lain.

Kedua, sektor kepemilikan umum seperti pertambangan, gas, minyak bumi, laut, batubara, kehutanan dsb.

Ketiga, sektor kepemilikan negara, seperti: jizyah, fa’i, kharaj, ghanimah, ‘usyur dsb.

Pembelanjaan Negara dalam Islam

Khalifah (kepala negara) dalam sistem Islam, memiliki kewenangan penuh untuk menetapkan besaran anggaran belanjanya tanpa harus meminta persetujuan Majelis Umat (atau DPR dalam sistem kapitalis sekuler).

Begitu juga dalam penyusunannya yang tidak terikat dengan tahun fiskal seperti dalam sistem ekonomi kapitalisme. Seorang kepala negara dalam Islam, manakala menetapkan anggaran belanja negara hanya tunduk pada garis atau kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.

Khalifah juga memiliki kewenangan penuh untuk mengatur pos-pos apa saja yang harus dikeluarkan atau dibelanjakan, serta besaran dana yang dialokasikan. Semuanya mengacu pada prinsip kemaslahatan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Tentu berdasarkan pada aturan yang telah digariskan oleh syariat Islam. Di antaranya agar jangan sampai harta itu berputar di kalangan orang-orang kaya saja sebagaimana dalil dalam Al-Qur’an (QS. Al-Hasr;7) yang artinya:

“Harta rampasan (fai’) dari mereka yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.”

Khalifah, dalam menetapkan pos-pos pembelanjaannya, paling tidak harus mengikuti enam kaidah utama dalam pengalokasian anggaran belanjanya, yaitu:

Pertama, khusus untuk harta di Kas Baitul Mal yang berasal dari zakat, pos pengeluarannya wajib diperuntukkan bagi delapan ashnaf sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam al-Quran.

Kedua, pos pembelanjaan bersifat wajib dan tetap dari Baitul Mal untuk keperluan jihad dan sekaligus menutup kebutuhan orang-orang fakir dan miskin.

Ketiga, pos pembelanjaan bersifat wajib dan tetap dari Baitul Mal untuk memberikan gaji atas jasa yang telah dicurahkan untuk kepentingan negara, seperti : pegawai negeri, polisi, hakim, tentara, dan sebagainya.

Keempat, pos pembelanjaan untuk pembangunan sarana kemaslahatan rakyat yang bersifat wajib lainnya (jika sarana tersebut tidak ada, maka akan menimbulkan kemadaratan bagi rakyat). Contohnya adalah pembangunan jalan, rumah sakit, jembatan, sekolah, masjid, air bersih dan sebagainya.

Kelima, pos pembelanjaan wajib yang bersifat kondisional, yaitu untuk menanggulangi terjadinya musibah atau bencana alam yang menimpa rakyat. Contohnya adalah saat terjadinya paceklik, kebakaran, gempa bumi, banjir, angin puting beliung, tanah longsor dan sebagainya

Keenam, pos pembelanjaan untuk pembangunan sarana kemaslahatan rakyat yang bersifat tidak wajib, dalam arti, sarana tersebut hanya bersifat penambahan dari sarana-sarana yang sudah ada. Jika sarana tambahan tersebut tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kemadaratan bagi rakyatnya.

Untuk pos pengeluaran pertama, pengeluaran harus dilakukan oleh seorang khalifah hanya mendasarkan pada banyaknya zakat yang masuk ke Kas Baitul Mal.

Untuk butir kedua sampai kelima, Khalifah harus mengeluarkan harta dari Kas Baitul Mal sebagai kewajiban yang harus segera ditunaikan oleh negara terhadap hak-hak rakyatnya sesuai dengan kondisinya masing-masing. Sementara untuk butir yang keenam, pengeluarannya harus mendasarkan pada ketersediaan Kas Baitul Mal.

Demikian gambaran sempurna aturan Islam, mengenai konsep dan kaidah dalam pembelanjaan negara yang diterapkan.

Wallahu a’lam bi ashowwab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi