Oleh. Ratna AR
(Aktivis Dakwah dan Pengajar)
Belakangan, pemutusan hubungan kerja (PHK) banyak terjadi di pabrik sepatu dan tekstil dalam negeri. Hal ini terjadi akibat perlambatan ekonomi dan lonjakan inflasi di negara tujuan ekspor.
Perlambatan ekonomi memang terjadi di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat, Eropa, dan China. Hal ini tercermin dari Purchasing Managers’ Index (PMI). Penundaan dan pembatalan ekspor pun dilaporkan terus terjadi, bahkan sudah ada yang mengalami pembatalan sampai 50%. Dijelaskan bahwa perlambatan ekonomi negara maju dipengaruhi oleh geopolitik dan perang di kawasan Ukraina yang memicu tekanan inflasi yang tinggi. Selain itu, kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) diperkirakan lebih tinggi dengan siklus lebih panjang.
Dalam kesempatan yang sama, Sri Mulyani juga mengomentari persoalan PHK yang terjadi di sejumlah pabrik tekstil hingga alas kaki. Disebutkan, pemerintah akan terus memonitor fenomena yang terjadi (www.cnbcindonesia.com, 14/11/2022).
PHK menjadi solusi bagi penguasa industri, tapi bencana bagi para pegawai. Para pegawai akan kehilangan pekerjaan yang akan membuat mereka bingung untuk mencari nafkah keluarga. Ironi PHK tanpa memberikan solusi lapangan pekerjaan yang lain agar bisa tetap bekerja untuk menafkahi diri hingga keluarga.
Krisis Global dan Perang Berdampak Buruk bagi Industri
Ancaman krisis global dan perang yang terjadi berdampak buruk terhadap industrisehingga terpaksa melakukan PHK massal. Bukan tak pikir panjang, tapi ini desakan dampak buruk. Akhirnya, banyak yang di-PHK demi menyelamatkan kantong para kapital. Kondisi ini menggambarkan rapuhnya sistem ekonomi kapitalis. Sistem ini merupakan sistem yang rentan krisis. Hal ini akan terus berulang mengakibatkan krisis. Jadilah pekerja bernasib malang. Mereka diabadikan haknya untuk mendapat pekerjaan yang layak. Hingga bingung menjalani hidup yang membutuhkan uang atau taraf hidup semakin tinggi. Jadi, tidak imbang antara kebutuhan hidup yang semakin tinggi dengan pengurangan lapangan pekerjaan.
Pekerja Asing Dibebaskan, Pekerja Lokal Diberhentikan
Kondisi PHK massal untuk pekerja lokal membuat rakyat Indonesia banyak yang kehilangan pekerjaan. Tapi sayangnya, negara memiliki kebijakan berbeda bagi TKA dari Cina. Mereka bebas masuk karena dijamin oleh UU Omnibus Law. UU Omnibus Law yang didalamnya terdapat UU Ciptaker mempermudah masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) ke Indonesia. Hal ini dilakukan melalui Pasal 81 poin 4 hingga 11 UU Ciptaker yang mengubah dan menghapus sejumlah aturan tentang pekerja asing dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Contohnya, dalam UU Ciptaker pemerintah menghapuskan kewajiban izin tertulis bagi pengusaha yang ingin mempekerjakan TKA sebagaimana tertuang dalam Pasal 81 poin 4 UU Ciptaker. Sebelumnya, kewajiban ini tertuang pada Pasal 42 poin 1 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi.
“Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk,” bunyi UU Ketenagakerjaan.
Sebagai gantinya, pengusaha hanya diwajibkan memiliki rencana penggunaan TKA, sebagaimana tertuang dalam Pasal 81 poin 4 UU Ciptaker yang mengubah Pasal 42 UU Ketenagakerjaan menjadi:
“Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh pemerintah pusat,” Bunyi UU Ciptaker.
Sungguh miris, negara justru memberi jalan kepada TKA, namun membiarkan PHK rakyat sendiri. Hal ini membuat rakyat kecewa kepada pemerintah. Mereka merasa diabaikan haknya di negara sendiri. Inilah buah kebijakan penguasa oligarki yang tidak memanusiakan manusia.
Islam Mengatur Ketenagakerjaan
Islam mengatur semua aspek kehidupam teemasuk ketenagakerjaan. Di mana pengaturan yang Islam tetapkan berasal dari Sang Pemilik kehidupan. Hal ini harusnya yang harus diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Islam menghapus perbudakan yang dikombinasikan dengan perpspektif Islam tentang ketenagakerjaan, maka dapat disebutkan setidaknya ada empat prinsip untuk memuliakan hak-hak pekerja.
Pertama, kemerdekaan manusia. Ajaran Islam yang direpresentasikan dengan aktivitas kesalehan sosial Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dengan tegas mendeklarasikan sikap antiperbudakan untuk membangun tata kehidupan masyarakat yang toleran dan berkeadilan. Islam tidak menolerir sistem perbudakan dengan alasan apa pun. Terlebih lagi adanya praktik jual-beli pekerja dan pengabaian hak-haknya yang sangat tidak menghargai nilai kemanusiaan.
Penghapusan perbudakan menyiratkan pesan bahwa pada hakikatnya manusia ialah makhluk merdeka dan berhak menentukan kehidupannya sendiri tanpa kendali orang lain. Penghormatan atas independensi manusia, baik sebagai pekerja maupun berpredikat apapun, menunjukkan bahwa ajaran Islam mengutuk keras praktik jual-beli tenaga kerja.
Kedua, prinsip kemuliaan derajat manusia. Islam menempatkan setiap manusia, apa pun jenis profesinya, dalam posisi yang mulia dan terhormat. Hal itu disebabkan Islam sangat mencintai umat Muslim yang gigih bekerja untuk kehidupannya. Allah menegaskan dalam QS. Al-Jumu’ah ayat 10:
“Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi, dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung.”
Ayat ini diperkuat hadis yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi, “Tidaklah seorang di antara kamu makan suatu makanan lebih baik daripada memakan dari hasil keringatnya sendiri.”
Kemuliaan orang yang bekerja terletak pada kontribusinya bagi kemudahan orang lain yang mendapat jasa atau tenaganya. Salah satu hadis yang populer untuk menegaskan hal ini adalah:
“Sebaik-baik manusia di antara kamu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari beberapa dalil tersebut, dapat dipahami bahwa Islam sangat memuliakan nilai kemanusiaan setiap insan. Selain itu, tersirat dalam dalil-dalil tersebut bahwa Islam menganjurkan umat manusia agar menanggalkan segala bentuk stereotype atas berbagai profesi atau pekerjaan manusia. Kecenderungan manusia menghormati orang yang memiliki pekerjaan, yang menghasilkan banyak uang, serta meremehkan orang yang berprofesi rendahan.
Padahal, nasib setiap insan berbeda sesuai skenario dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sikap merendahkan orang lain karena memandang pekerjaannya sangat ditentang dalam Islam.
Ketiga, keadilan dan antidiskriminasi. Islam tidak mengenal sistem kelas atau kasta di masyarakat, begitu juga berlaku dalam memandang dunia ketenagakerjaan. Dalam sistem perbudakan, seorang pekerja atau budak dipandang sebagai kelas kedua di bawah
majikannya. Hal ini dilawan oleh Islam karena ajaran Islam menjamin setiap orang yang bekerja memiliki hak yang setara dengan orang lain, termasuk atasan atau pimpinannya. Bahkan, hingga hal-hal kecil dan sepele, Islam mengajarkan umatnya agar selalu menghargai orang yang bekerja.
Misalnya dalam hal pemanggilan atau penyebutan, Islam melarang manusia memanggil pekerjanya dengan panggilan yang tidak baik atau merendahkan. Sebaliknya, Islam menganjurkan pemanggilan kepada orang yang bekerja dengan kata-kata yang baik seperti “Wahai pemudaku” untuk laki-laki atau “Wahai pemudiku” untuk perempuan.
Dalam sejarahnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memiliki budak dan pembantu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan para budak dan pembantunya dengan adil dan penuh penghormatan. Beliau pernah mempunyai pembantu seorang Yahudi yang melayani keperluan beliau. Namun, beliau tidak pernah memaksakan agama kepadanya. Istri beliau, Aisyah Radhiyallahu anha, juga memiliki pembantu yang bernama Barirah yang diperlakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan istrinya dengan lemah lembut dan tanpa kekerasan.
Keempat, kelayakan upah pekerja. Upah atau gaji adalah hak pemenuhan ekonomi bagi pekerja yang menjadi kewajiban dan tidak boleh diabaikan oleh para majikan atau pihak yang mempekerjakan. Sebegitu pentingnya masalah upah pekerja ini, Islam memberi pedoman kepada para pihak yang mempekerjakan orang lain bahwa prinsip pemberian upah harus mencakup dua hal, yaitu adil dan mencukupi.
Prinsip tersebut terangkum dalam sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi, “Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan.”
Seorang pekerja berhak menerima upahnya ketika sudah mengerjakan tugas-tugasnya, maka jika terjadi penunggakan gaji pekerja, hal tersebut selain melanggar kontrak kerja juga bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Selain ketepatan pengupahan, keadilan juga dilihat dari proporsionalnya tingkat pekerjaan dengan jumlah upah yang diterimanya.
Di masa sekarang, proporsioanlitas tersebut terbahasakan dengan sistem UMR (Upah Minimum Regional). Lebih dari itu, Islam juga mengajarkan agar pihak yang mempekerjakan orang lain mengindahkan akad atau kesepakatan mengenai sistem kerja dan sistem pengupahan, antara majikan dengan pekerja. Jika adil dimaknai sebagai kejelasan serta proporsionalitas, maka kelayakan berbicara besaran upah yang diterima haruslah cukup dari segi kebutuhan pokok manusia, yaitu pangan, sandang serta papan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempertegas pentingnya kelayakan upah dalam sebuah hadis, “Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu, sehingga barangsiapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri), dan tidak membebankan pada mereka tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim)(pengusahamuslim.com, 14/11/2022).
Islam aturan dari Sang Pencipta untuk manusia. Dia yang menciptakan dan Dialah yang Maha Mengetahui tentang ciptaan-Nya. Maka apabila ingin selamat maka pakailah islam sebagai aturan hidup termasuk ketenangakerjaan. Islam akan memanusiakan manusia sesuai arah dari Penciptanya. Seharusnya, Islam diterapkan pada diri setiap individu, keluarga, masyarakat, sampai negara. Sebagaimana yang dilakukan Rasul saw. di Madinah. Peradaban bangsa dan negara dipimpin oleh Rasul yang membuat takut musuh islam dan aturan yang diterapkan bisa diterima oleh semua kalangan termasuk beda agama. Aturan yang diterapkan adalah aturan Islam yang sangat dibutuhkan manusia.