Krisis Air di Negeri Maritim: Bukti Kapitalisme Zalim

Oleh. Ervan Liem

Air adalah sumber daya alam yang memiliki peranan penting dalam menentukan berlangsungnya hidup seluruh makhluk di muka bumi. Dalam kehidupan manusia, air merupakan kebutuhan pokok untuk melangsungkan berbagai kegiatan, seperti keperluan rumah tangga, industri, perdagangan, pertanian, peternakan, dan lain sebagainya. Oleh karena itulah, air sangat berguna dan berperan bagi kehidupan.

Dari kegunaan yang vital tersebut, sangat disayangkan karena Indonesia yang 70 persen wilayahnya adalah laut ternyata mengalami kekurangan air bersih. Diketahui, bahwa tingkat ketersediaan air bersih di Indonesia terendah di Asia Tenggara. Jika dibandingkan dengan negara tetangga lainnya seperti Malaysia, Filipina, Singapura, bahkan Vietnam sekalipun, stok ketersediaan air bersih di Indonesia masih jauh di bawah rata-rata (kompas.com, 22/3/2021).

Business Vice President Industrial Automation Schneider Electric Indonesia dan Timor Leste Hedi Santoso mengatakan, pada tahun 2030 masyarakat dunia akan menghadapi defisit air yang mencapai 40 persen dalam kondisi iklim yang sama atau bahkan lebih buruk daripada yang terjadi saat ini (kompas.com, 16/3/2021). Krisis air bersih disebabkan kombinasi dari tiga faktor, yaitu pertumbuhan populasi dan perubahan demografi, urbanisasi, serta perubahan iklim. Karena itu, kondisi ini menuntut pengelolaan air yang efisien dan andal untuk memastikan keberlanjutan ketersediaan air bersih untuk seluruh masyarakat dan makhluk di bumi.

Sementara itu, untuk Indonesia sendiri, menurut pimpinan Indonesia Water Institute (IWI) Firdaus Ali, tercatat penyediaan air perpipaan di Indonesia hanya mampu melayani sebesar 21,8 persen dari total populasi masyarakat Indonesia sebanyak 270,2 juta jiwa. Angka tersebut masih sangat rendah dan menjadi tantangan bersama untuk menambah stok penyediaan air dalam memenuhi kebutuhan masyarakat (kompas.com, 22/3/2022).

Realitas krisis air bersih tersebut tentu menambah rentetan panjang duka dan lara masyarakat negeri ini. Bukan hal yang berlebihan, namun sungguh sangat ironi ketika negeri maritim yang wilayahnya dikelilingi laut dan sumber mata air, harus mengalami kekurangan air bersih. Masalah besar yang juga sedang terjadi adalah, saat ini Kementerian PUPR sedang berupaya mendorong investor asing untuk berinvestasi pada Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Indonesia. Ini bertujuan demi mencapai target 10 juta SR air minum periode 2020-2024.

Mencermati hal ini, tampak jelas bahwa pengelolaan sumber daya air yang melibatkan swasta dan asing, akan berwujud bisnis. Dalam kacamata kapitalisme, air sebagai sumber daya vital tiap individu, tentu dipandang sebagai komoditas ekonomi. Tak jarang, para pemodal juga tak segan menempuh berbagai cara demi menguasai areal yang mengandung sumber daya komersial. Oleh kapitalisme, upaya ini juga seringkali ditempuh melalui berbagai kebijakan zalim. Sungguh ironis, karena krisis air ini terjadi di negeri maritim.

Krisis Air Bersih di Negeri Maritim

Kebutuhan air merupakan jumlah air yang cukup dibutuhkan untuk kebutuhan dasar manusia dan kegiatan lainnya yang memerlukan air. Sedangkan pemakaian air adalah jumlah yang digunakan dari sistem yang ada bagaimanapun keadaannya. Pemakaian air bersih menurut Departemen Pekerjaan Umum adalah sebagai berikut:

Keperluan Konsumsi (Liter/Orang/Hari):
Mandi, cuci, kakus 12,0
Minum 2,0
Cuci pakaian 10,7
Kebersihan rumah 31,4
Taman 11,8
Cuci kendaraan 21,1
Wudhu 16,2
Lain-lain 21,7
Jumlah 126,9
(Sumber: Slamet, 1994 dalam Rustan, dkk., 2019).

Pemerintah Indonesia sudah menetapkan Standar Air Bersih pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2017 Tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan Dan Persyaratan Kesehatan Air Untuk Keperluan Higiene Sanitasi, Kolam Renang, Solusi Per Aqua, Dan Pemandian Umum. Air yang sesuai untuk kebutuhan sanitasi yaitu air yang tidak berbau, tidak berasa, tidak keruh atau memiliki tingkat kekeruhan yang rendah. Selain itu, air tersebut juga tidak mengandung bakteri E. coli serta mengandung kadar kimiawi yang rendah, seperti PH, zat besi, deterjen, sianida, pestisida, timbal, seng, dan lain-lain.

Adapun standar air bersih untuk minum yaitu seharusnya terlindung dari sumber pencemaran, binatang yang membawa penyakit, dan tempat perkembangbiakan hewan atau bakteri. Secara fisik, air bersih untuk layak minum yaitu tidak berbau, warnanya jernih, rasanya tawar, dan tidak terpapar secara langsung dengan sinar matahari atau memiliki suhu sejuk sekitar 10–25 derajat Celcius, dan tidak memiliki endapan di bagian bawah air (Safitri, 2020).

Pengolahan air bersih adalah upaya teknis yang dilakukan untuk melindungi sumber daya air dengan meningkatkan kualitas mutu asal air sampai menjadi mutu yang diinginkan dengan tujuan agar lebih aman dipergunakan oleh masyarakat. Secara umum, proses pengolahan air lengkap dengan sumber air baku yang berasal dari air permukaan adalah sebagai berikut:

Bangunan Penangkap Air (Intake)
Intake merupakan tempat pengumpul air baku dari suatu sumber yang kemudian air tersebut dikumpulkan dalam suatu wadah untuk selanjutnya diolah.

Pra-sedimentasi
Bangunan prasedimentasi merupakan tempat penampungan air baku dari air permukaan yang bertujuan untuk menangkap benda kasar yang mudah mengendap yang terkandung dalam air baku seperti pasir atau partikel diskrit dan lainnya yang tidak tersaring pada screen.

Proses Koagulasi
Proses koagulasi merupakan proses destabilisasi partikel koloid. Pada pengolahan koagulasi terjadi pengadukan cepat (flash mixing) antara koagulan dan air dengan tujuan pencampuran tersebut dapat terjadi dengan sempurna dan merata.

Proses Flokulasi
Flokulasi adalah suatu proses aglomerasi (penggumpalan) partikel-partikel terdestabilisasi menjadi flok dengan ukuran yang memungkinkan dapat dipisahkan oleh sedimentasi dan filtrasi.

Proses Sedimentasi
Sedimentasi merupakan proses pengendapan massa flok yang telah terbentuk pada proses flokulasi.

Proses Filtrasi
Filtrasi dalam sistem pengolahan air bersih atau minum merupakan proses menghilangkan flok-flok halus yang lolos dari unit sedimentasi, dimana flok-flok tersebut akan tertahan pada media penyaring saat air melewati media tersebut.

Proses Desinfeksi
Desinfeksi air minum bertujuan untuk membunuh bakteri patogen yang terdapat di dalam air. Desinfektan air dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu pemanasan, penyinaran dengan sinar UV, ion-ion logam antara lain dengan copper dan silver, asam atau basa, senyawa-senyawa kimia, dan chlorinasi.

Reservoir
Reservoir merupakan tempat penampungan air minum sebelum dilakukan pendistribusian ke masyarakat yang terletak di atas permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah.

Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada 2019 mencatat bahwa 2,2 miliar orang atau seperempat populasi dunia masih kekurangan air minum yang aman dikonsumsi. Sementara itu, 4,2 miliar orang tidak memiliki layanan sanitasi yang aman dan 3 miliar tidak memiliki fasilitas cuci tangan dasar. Adapun menurut laporan Bappenas, ketersediaan air di sebagian besar wilayah pulau Jawa dan Bali saat ini sudah tergolong langka hingga kritis. Sementara itu, ketersediaan air di Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan diproyeksikan akan menjadi langka atau kritis pada tahun 2045. Kelangkaan air bersih juga berlaku untuk air minum. Menurut RPJMN 2020-2024, hanya 6,87 persen rumah tangga yang memiliki akses air minum aman. Adapun berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 dari BPS juga menunjukkan ada sebesar 90,21 persen rumah tangga yang memiliki akses air minum layak, meskipun distribusinya tidak merata (Iswara, 2021).

Menurut Bappenas, kerusakan hutan akan menjadi pemicu terjadinya kelangkaan air baku, terutama untuk pulau-pulau yang tutupan hutannya sangat rendah seperti Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Menurut Bappenas pula, tutupan hutan akan semakin berkurang, yakni dari sebanyak 50 persen dari luas lahan total Indonesia (188 juta hektar) di tahun 2017, menjadi hanya sekitar 38 persen di tahun 2045. Bertambahnya populasi di Indonesia juga menjadi beban baru dalam penyediaan air bagi masyarakat Tanah Air. Menurut Sensus Penduduk 2020 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk Indonesia berjumlah 270,21 juta jiwa. Jumlah ini bertambah sebanyak 32,56 juta jiwa dibandingkan dengan hasil sensus pada 2010 (Iswara, 2021). Penyebab krisis air lainnya yaitu pengambilan air tanah secara berlebihan, tingginya tingkat pencemaran terhadap sumber-sumber air, adanya konflik kepentingan ekonomi yang didukung oleh kebijakan yang kurang tepat, serta perusakan lingkungan dan sumber-sumber mata air.

Dalam upayanya untuk memenuhi kebutuhan air bersih, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membutuhkan anggaran senilai Rp108,9 triliun demi membangun 10 juta sambungan rumah (SR) untuk air minum periode lima tahun yakni, tahun 2020—2024. (kompas.com, 5/3/2021) Jumlah anggaran sebesar Rp108,9 triliun tersebut dibutuhkan karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk air minum hanya bisa memenuhi 26 persen dari total kebutuhan, yakni hanya sebesar Rp34,9 triliun. Pemerintah pun mencari pendanaan alternatif dengan skema Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) maupun business-to-business (B2B). Kedua skema tersebut berkontribusi untuk menyumbang kebutuhan anggaran senilai Rp30 triliun. Selain itu, dibutuhkan pola investasi lainnya seperti obligasi, hibah berbasis kinerja, dan corporate social responsibility (CSR). Lalu, pinjaman Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) pada perbankan, serta pinjaman Pemerintah Daerah (Pemda). Masalahnya, Kementerian PUPR pun berupaya mendorong investor luar negeri untuk berinvestasi pada Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Indonesia. Ini bertujuan demi mencapai target 10 juta SR air minum periode 2020-2024 tadi.

Dampak Negatif Krisis Air Bersih di Negeri Maritim

Krisis air merupakan puncak dari semua krisis sosial dan alam. Betapa tidak, air adalah hal yang paling utama bagi kehidupan manusia dibumi. “Ketersediaan air telah menurun secara drastis pada tingkat tidak berkesinambungan,” ujar Dirjen UNESCO, Koichiro Matsuura. Dua dekade mendatang, ketersediaan air akan menurun hingga sepertiga dari saat ini. Kerusakan lingkungan yang kian meluas membuat semua negara di dunia berada dalam ancaman. Tak akan ada bagian dari bumi ini yang terbebas dari krisis air. Ketahanan pangan dunia pun terancam, termasuk salah satunya Indonesia. Krisis air sudah sering melanda beberapa daerah, sehingga kebutuhan air penduduk untuk keperluan rumah tangga, pertanian dan kebutuhan dasar lainnya tidak tercukupi. Dampak langsung dari kurangnya kebutuhan air antara lain yaitu terjadinya gagal bercocok tanam dan panen yang menyebabkan terganggunya persediaan bahan pangan, sanitasi yang buruk dan kelaparan yang berdampak pada munculnya penyakit akibat kurang pangan dan gizi buruk. Erat kaitannya dengan krisis air dan pangan ini adalah sanitasi buruk yang juga menjadi masalah bagi sekitar 2,0 miliar penduduk dunia.

Banyak penyakit akibat krisis air dan sanitasi yang buruk, seperti penyakit akibat kelaparan, kekurangan gizi, kolera, tifus, dan disentri yang hingga saat ini masih merupakan ancaman bagi sebagian penduduk dunia. Berdasarkan laporan oleh FAO (2000), sekitar 2,0 juta orang yang kebanyakan adalah anak-anak yang berasal dari beberapa negara miskin dan berkembang, meninggal setiap tahunnya karena beberapa penyakit tersebut dan akibat kelangkaan air dan kelaparan. Krisis air juga dapat mengganggu perekonomian daerah maupun nasional.

Masalah krisis air bersih yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini sebenarnya tak bisa dilepaskan dari ulah tangan manusia, baik akibat pemanasan global, hilangnya daerah tangkapan air karena deforestasi (penghilangan hutan alam dengan cara penebangan hutan secara liar), pencemaran sungai dan danau, kapitalisasi sumber daya air oleh perusahaan air kemasan, dan lain sebagainya. Tangan manusia yang mengatasnamakan pemerintah atau penguasa telah melakukan upaya privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi terhadap air dengan dikeluarkannya undang-undang sumber daya alam (UU SDA) yang memberikan wewenang kepada pihak swasta, baik asing maupun lokal untuk mengelola sumber daya air, sehingga air yang merupakan kebutuhan pokok, harus dibeli dan tidak mudah didapatkan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 menunjukan industrialisasi air minum dalam kemasan pada lahan seluas 5,5 ha oleh 5 perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) telah menghilangkan wilayah tangkapan air (catchment area).

Selain itu, berdasarkan studi tentang sumber daya air tanah yang dilakukan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Departemen Energi dan Sumber daya Mineral pada tahun 1998, di Desa Caringin Sukabumi, menunjukkan terjadi eksploitasi air bersih secara besar-besaran. Debit sumber air yang dieksploitasi oleh salah satu perusahaan AMDK di desa Caringin tersebut, yaitu PT Ega Tirta Kalista mencapai 200 liter per detik. Kemungkinan 4 perusahaan AMDK yang lain juga memiliki debit yang hampir sama. Oleh karena itu secara total debit air yang dieksploitasi oleh semua perusahaan AMDK pasti sangat tinggi.

Berapa banyak air yang dieksploitasi? Fantastis, dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat. Pada tahun 2009 total produksi AMDK 12,8 miliar liter, pada tahun 2010 meningkat menjadi 13,7 miliar liter. Tahun 2016 seiring perluasan pabrik dan hadirnya pabrik-pabrik baru di tanah air, produksi mengalami peningkatan menjadi sebesar 26,90 miliar liter. Eksploitasi sumber daya air ini terjadi merata di seluruh wilayah Indonesia yang ada perusahaan air minum dalam kemasan.

Bila ditelaah lebih mendalam, jual beli sumber daya alam termasuk air adalah hal lumrah terjadi. Privatisasi, liberalisasi, dan swastanisasi memiliki lahan subur dan lapang dalam sistem kehidupan sekuler dengan konsep ekonomi kapitalis serta politik demokrasi. Sistem kapitalis yang berasaskan materi dan manfaat akan selalu berjalan dengan nama kepentingan untuk menghasilkan kekayaan. Hal sekecil apa pun akan dinilai materi dalam sistem kapitalis, namun hanya untuk para kapital saja, bukan untuk rakyat. Termasuk dengan mendorong eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran dan tidak segan-segan merusak kelestarian lingkungan hingga menghilangkan nyawa manusia.

Sistem kapitalis adalah akar dari segala permasalahan yang terjadi saat ini, baik dalam urusan kelangkaan air bersih ataupun masalah umat lainnya. Dalam sistem ini, negara tidak memiliki kewajiban memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok, termasuk air. Justru sebaliknya, model pemerintahan neoliberalisme rezim, sistem pemerintahan demokrasi justru menyokong upaya kapitalisasi sumber daya oleh asing dan aseng. Mereka enggan menghentikannya, bahkan menjadi fasilitator bagi kerusakan ini. Ujungnya, petaka lingkungan perubahan iklim.

Strategi Islam Menjaga dan Melestarikan Ketersediaan Air Bersih

Negara yang berasaskan Islam, punya solusi tuntas soal pengelolaan sumber daya alam. Bukan hanya asasnya saja yang jelas, fungsi dari negara yang telah ditetapkan dalam sistem Islam pun rinci dan meliputi pengurusan seluruh aspek kehidupan rakyat, salah satunya fungsi negara menjamin kepemilikan. Dalam Islam, jelas kepemilikan telah dibagi menjadi 3 bagian yakni kepemilikan individu, umum, dan negara. Nah, air adalah termasuk milik rakyat, sebagaimana hadist Rasulullah Saw,

“Manusia berserikat dalam tiga perkara; dalam hal air, padang dan api.”

Dari hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa air yang merupakan hajat hidup orang banyak tidak boleh diberikan hak pengelolaannya kepada swasta, baik asing maupun lokal. Kebijakan pemerintah menyerahkan hak pengelolaan air kepada pihak swasta yang dilindungi UU melalui UU SDA, tentu saja menyalahi aturan syara’. Alhasil, untuk mendapatkan air bersih, rakyat harus membeli, padahal tidak semua rakyat mampu membeli air. Agar semua rakyat dapat menikmati air bersih tanpa harus membayar, maka pengelolaannya harus dikembalikan kepada aturan Islam. Sebagaimana firman Allah:

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.“ (QS. Al-Maidah: 49)

Adapun secara teknis dalam menghadapi kondisi saat ini yang mana keberadaan air bersih masih banyak terjadi kelangkaan di berbagai wilayah, perlu kita sebagai masyarakat tidak membuang sampah di sumber mata air, aliran air, dan tampungan air yang dapat membuat air menjadi tercemar. Air yang tercemar akan mengakibatkan timbulnya penyakit bagi makhluk hidup, kepunahan spesies, maupun timbulnya berbagai macam bencana alam. Sehingga kehidupan ekosistem makhluk hidup di bumi menjadi terganggu dan rusak. Untuk itu, dibutuhkan salah satu penjagaan dan pengelolaan salah satu sumber daya alam air. Berikut beberapa upaya yang dapat dilakukan saat ini, untuk menjaga dan melestarikan ketersediaan air bersih:

1. Melaksanakan program hemat air di lingkungan sekitar agar penggunaan air tetap efisien dan menjaga ketersediaan sumber daya air.
2. Membuat penampungan air seperti waduk, dam, dan embung agar dapat menjaga keberadaan air untuk memenuhi kebutuhan hidup.
3. Menciptakan teknologi yang dapat mendaur ulang air.
4. Menampung dan mengelola limbah pabrik maupun domestik.
5. Tidak membuang sampah atau limbah di sungai.
6. Konservasi pada sumber mata air yaitu upaya mengelola sumber daya air yang dilakukan secara bijak dengan memperhatikan manfaat yang didapat serta mempertahankan komponen penyusunnya agar keberadaannya tetap ada yang dapat dinikmati di masa mendatang.

Potensi Sumber Daya Air Indonesia

Menurut Guru Besar Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor, Prof. Bonar Pasaribu, krisis air ini memburuk karena cadangan air minum dalam lapisan tanah (aquifer) mengalami penurunan. Penurunan cadangan air minum dalam lapisan aquifer terjadi karena meningkatnya eksploitasi terhadap sumber mata air aquifer tersebut. Sementara, pengisian kembali air tawar ke dalam lapisan aquifer menurun karena meningkatnya pembabatan hutan. Juga akibat konversi lahan produktif menjadi pemukiman dan industri, serta kondisi cuaca yang tidak menentu (kemarau yang berkepanjangan), pencemaran lingkungan, dan pemanasan global.

Menurut Prof. Bonar, sumber daya air minum dari lapisan aquifer merupakan sumber daya alam yang terbatas sehingga dalam suatu waktu sumber daya ini dapat habis. Sumber daya air minum dari badan air sungai juga merupakan sumber daya alam yang terbatas mengingat debit air sungai sangat dipengaruhi curah hujan, kondisi lahan di sekitarnya, dan tingkat pencemaran dari sekitarnya. Namun demikian, sejatinya Indonesia masih punya harapan.

Indonesia adalah negeri maritim, yang mana memiliki air laut sebesar 70 persen dari luas wilayahnya. Air laut merupakan sumber daya air minum yang tidak terbatas. Dengan demikian, untuk mengatasi krisis air minum sekarang dan di masa mendatang, pemanfaatan air laut menjadi air minum merupakan potensi yang penting untuk dieksplorasi. Konversi air laut menjadi air minum dilakukan melalui proses desalinasi yaitu proses pemisahan air tawar dan kandungan garam yang terdapat di dalam air laut melalui proses pemanasan. Air tawar hasil desalinasi ini kemudian diproses menjadi air minum. Desalinasi air laut dengan metode Reverse Osmosis (RO) adalah metode yang banyak dipakai. Metode ini digunakan untuk mereduksi senyawa terlarut dengan salinitas hingga 45.000 ppm TDS (total dissolved solids).

Pada proses pemanfaatan air laut dalam menjadi air minum melalui proses desalinasi, juga dihasilkan produk sampingan seperti garam berkualitas tinggi, air laut dalam (ALD) untuk industri kosmetika, industri makanan dan minuman, industri budi daya pertanian (sayur-sayuran, tomat, dan lain-lain). Berdasarkan hal ini, jelas bahwa salah satu langkah mengatasi krisis air di darat adalah dengan mengonversi air laut menjadi air minum. Namun tentu saja, riset dan teknologi ini dapat tertunaikan bagi sebaik-baik kebutuhan masyarakat jika pemerintah memikirkan dengan sungguh-sungguh mengurusi urusan publik, tanpa motif bisnis apa pun.

Islam Melarang Privatisasi Sumber Daya Air

Sebagai sumber daya milik umum, sejatinya air yang juga ciptaan Allah ini, haram untuk dikapitalisasi. Maka, upaya-upaya pembisnisan air minum memang tidak dibenarkan oleh Islam. Terlebih adanya rencana pemerintah untuk mengundang investor asing dalam pengelolaan sumber daya air bersih, sudah pasti berujung pada kapitalisasi sumber daya air, padahal semua upaya ini jelas diharamkan dalam Islam. Sumber daya alam tidak boleh dimiliki atau dikuasai individu, beberapa individu, ataupun negara sekalipun, alih-alih memprivatisasinya. Agar semua bisa mengakses dan mendapatkan manfaat dari sumber daya alam, negara dapat mewakili masyarakat untuk mengelola dan mengatur pemanfaatannya, agar masyarakat bisa mendapatkan manfaat secara adil dari harta-harta milik umum itu. Hal ini sebagaimana sabda beliau saw. yang lain,

“Imam/khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)

Inilah sebabnya, Indonesia harus bersegera menjadi negara ideologis, yakni negara yang mampu mencari solusi bagi problematika dalam negeri. Termasuk agar dapat lepas dari cengkeraman negara-negara kapitalis penjarah sumber daya alam, pun mampu memiliki posisi tawar yang seimbang demi melawan penjajahan dan kezaliman kapitalisme itu. Maka mutlak adanya, ideologi yang diambil haruslah Islam. Satu-satunya solusi mengatasi krisis air adalah dengan mengembalikan pengelolaannya berdasarkan aturan Sang Pencipta air itu sendiri, yakni Allah SWT.

 

Naskah ini adalah matakuliah di Uniol 4.0 Diponorogo pada Kamis, 19 Mei 2022

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi