Oleh. Ummu Hana
(Kontributor MazayaPost.com, Bogor)
Lagi-lagi, guru honorer dikriminalisasi. Seorang guru honorer bernama Supriyani di SDN 04 Baito Konawe selatan, Sulawesi, diseret ke meja hijau. Ia diduga menganiaya anak didiknya yang merupakan anak anggota kepolisian. Kasus ini mencuat di media sosial pada senin (21/10/2024).
Selain Supriyani, ada juga guru agama di Sumbawa, dituntut Rp50 juta, usai memberikan sanksi kepada muridnya yang tidak mau salat. Lalu kasus lainnya bulan Agustus 2023, di Rajang Lebong, Bengkulu, seorang guru olah raga di SMAN bernama Zaharman dianiaya orang tua salah satu siswa. Korban seorang guru menemukan muridnya merokok di lingkungan sekolah, oleh guru tersebut diberikan hukuman. Namun, dikarenakan orang tua murid tidak terima anaknya dihakimi guru tersebut, orang tua datang ke sekolah dan menapel korban hingga mengalami kebutaan permanen.
Menjadi guru tentu merupakan profesi yang mulia karena peranan yang sangat stategis untuk mencerdaskan anak bangsa. Sayangnya, profesi yang mulia ini tidak menjamin kehidupan guru nyaman dan sejahtera. Justru menjadi guru dalam sistem yang rusak seperti kapitalisme-sekularisme yang diterapkan di negeri ini harus siap dengan berbagai risiko dan potensi dikriminalisasi. Keberadaan guru dalam sistem yang rusak ini menghadapi dilema dalam mendidik siswa, pasalnya beberapa upaya dalam mendidik siswa disalah artikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak.
Kriminalisasi kepada guru merupakan malapetaka peradaban. Adab kepada guru salah satu kunci keberkahan ilmu. Apabila sampai terjadi kriminalisasi pada guru berarti adab kepada guru sudah hilang dari benak dan pikiran generasi. Hilangnya adab kepada guru merupakan bencana generasi, sebab ketiadaan adab pada guru membuat generasi akan hidup tanpa ilmu, dan menjadi generasi yang amoral, termasuk hilangnya ta’dzim (penghormatan) terhadap guru. Fakta ini menjadi bukti kegagalan sistem pendidikan saat ini, karena sistem yang diterapkan di negri ini yaitu sistem pendidikan yang dipengaruhi oleh ideologi kapitalisme.
Sedangkan kapitalisme sendiri berorientasi pada kepuasaan materi yakni berdiri di atas akidah sekularisme, yakni paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Yang membuat manusia dijauhkan dari fitrahnya sebagai hamba Allah, dan diarahkan untuk mengikuti aturan yang dibuat sesama manusia. Akibatnya, lembaga hanya mengajarkan agama sebagai ilmu, bukan sebagai tsaqofah yang berpengaruh dalam hidup.
Dalam Islam, penghormatan kepada guru merupakan bagian dari hukum syariat yang harus ditaati dan dijalani di dunia dan kelak akan diminta pertangung jawaban di akhirat. Tetapi kondisi saat ini pemikiran dan perasaan di tengah-tengah umat sudah hilang. Justru pemikiran dan perasaan yang semakin terbentuk kuat adalah egoisme pribadi, maka wajar nasihat guru tidak dianggap, omongan yang mengangu privasi, hingga berani seorang guru dikriminalisasi.
Hanya dengan diterapkan ideolgi Islamlah seorang guru akan dimuliakan karena ideologi Islam berdiri di atas akidah aqliyah shohih, yang meyakini bahwa manusia menjadi hamba Allah Swt. yang wajib terikat terhadap hukum syara. Keyakinan ini akan membawa keridhoaan manusia untuk mengatur sistem pendidikan mereka. Kemudian menjadikan identitas islam yang kuat, baik aspek, pola pikir atau aqliyah maupun pola sikap.
Maka dari itu, butuhnya penerapan sistem atau aturan hidup yang benar, karena jika mengikat antara akidah Islam dengan sistem pendidikan Islam, akan menghasilkan keperibadian Islam nan mulia. Tentu jika setiap anak didik memiliki akidah dan tsaqofah Islam juga pola sikap sesuai aturan Islam, tidak akan melakukan kriminalisasi kepada gurunya, karena mereka memahami rasa ta’dzim (hormat) kepada guru merupakan salah satu faktor keberkahan ilmu menjadi pribadi mulia. Wallahualam bisawab.