Korupsi Tuntas dengan Islam


Oleh. Ulfah Sari Sakti, S.Pi.
(Jurnalis Muslimah Kendari)

Kasus korupsi di Indonesia telah menjalar ke semua lini kehidupan. Hal ini tampak nyata dengan berbagai temuan kasus korupsi dan taraf hidup masyarakat yang kebanyakan masih jauh dari sejahtera. Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Utama (Dirut) PT Waskita Karya Destiawan Soewardjono (DES) sebagai tersangka dugaan korupsi penggunaan fasilitas pembiayaan bank PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dan PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP).

Tim Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), pun melakukan penahanan terhadap DES yang baru terpilih kembali sebagai Dirut di perusahaan konstruksi milik negara tersebut. DES menjadi Dirut WSKT dua periode setelah ditunjuk pada medio Februari 2023.

Menurut Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana, tersangka DES adalah pihak yang memerintahkan dan menyetujui pencairan dana supplay chain financing (SCF). Dari penyidikan terungkap dokumen dalam pencairan SCF tersebut palsu. Menurutnya, pencairan SCF untuk pembayaran utang perusahaan. Semua utang perusahaan tersebut terjadi karena adanya proyek-proyek pembangunan dan pengerjaan fiktif yang dilakukan PT Waskita Karya dan PT Waskita Beton Precast atas permintaan tersangka DES.

Akar Masalah Korupsi

Banyak faktor yang menyebabkan korupsi. Faktor yang paling mendasar adalah lemahnya ketakwaan karena agama dipisahkan dari kehidupan (sekuler). Selain itu, prioritas kehidupan masyarakat yaitu mendapatkan materi (kapitalis). Tidak heran, segala cara dilakukan untuk mendapatkan materi, termasuk mempertahankan jabatan dan kekuasaan demi kelanggengan kepentingan kelompoknya.

Kalau sudah begini, janji kesejahteraan masyarakat hanya isapan jempol saja. Sebaliknya, korupsi semakin tumbuh subur. Mirisnya, korupsi dilakukan melalui jalan kebijakan yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat.

Di sisi lain, lemahnya penegakkan hukum, bagaikan pupuk yang semakin menyuburkan tindakan korupsi. Apalagi sanksi yang diterapkan tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Sehingga, sanksi tersebut terkesan hanya untuk masyarakat lemah. Apalagi lembaga pemasyarakatan yang idealnya sebagai tempat penyadaran atas tindakan kejahatan korupsi yang dilakukan, dilengkapi dengan fasilitas mewah.

Selain faktor lemahnya ketakwaan, ongkos politik menjadi pemimpin pada sistem kapitalis-sekuler sangat tinggi (high cost), sehingga tatkala seseorang memenangkan pemilu/pemilukada, maka dirinya haruslah mengembalikan modal dari pemodal. Dana untuk pengembalian modal tersebut antara lain diperoleh dari fee proyek melalui berbagai kebijakan yang dibuat. Yang mana kebijakan tersebut tentunya menguntungkan pemodal dan kelompoknya.

Korupsi Tuntas dengan Islam

Berbeda dengan itu, jika pemerintah menggunakan sistem pemerintahan Islam, maka otomatis ketakwaan akan terwujud mulai dari jenjang keluarga, masyarakat, dan negara. Dengan kata lain, masyarakat dan pemerintah sama-sama takwa. Sehingga, masyarakat menaati kebijakan pemerintah yang sesuai syariat dan pemerintah pun menjalankan pemerintahan untuk mengharap ridha Allah Swt. yang berarti berujung kemaslahatan masyarakat.

Dalam Islam, menjadi pemimpin haruslah amanah karena berkonsekuensi pertanggungjawaban dunia dan akhirat. Selain itu, metode pemilihan kepala negara bukan melalui pemilu yang membutuhkan biaya besar, tetapi melalui pembaiatan setelah memenuhi syarat-syarat sesuai syariat.

Sanksi yang diberikan pun berefek jera, mulai dari ta’zir berupa pengumuman di media massa, penyitaan harta, kurungan, hingga hukuman mati. Karena itu, umat sangat merindukan kembali tegaknya sistem Islam. Semoga saja kerinduan umat terwujud.

Wallahu a’lam bishowab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi