Korupsi Semakin Melekat Hanya Islamlah Solusi Tepat

Oleh. Japti Ardiani

Berita yang membuat gaduh akhir-akhir ini adalah ternyata para kepala desa tak hanya menuntut perpanjangan masa jabatan, para kepala desa juga meminta alokasi dana desa sebesar 10% terhadap APBN atau mencapai Rp300 triliun dari total APBN 2023 yang mencapai Rp3.061,2 triliun. Permintaan tersebut tiga kali dari alokasi dalam APBN 2022 sebesar Rp68 triliun.

Sejak berlaku pada 2015, anggaran dana desa sebetulnya terus mengalami peningkatan. Total penyaluran dana desa hingga 2022 mencapai Rp468,9 triliun.  Menurut data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), terdapat 74.960 desa penerima dana desa pada 2022. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan 74.093 desa pada 2015.  Rata-rata setiap desa memperoleh anggaran sebesar Rp907,1 juta pada 2022. Angka ini mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan 2015, yang hanya Rp280,3 juta (kata-kata.co.id, 8/4/2023).

Selain bertujuan meningkatkan pelayanan publik di desa, memajukan perekonomian desa, mengentaskan kemiskinan, dan mengatasi kesenjangan pembangunan antardesa. Tetapi pemberian dana desa juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan.

Terlepas dari berbagai capaian tersebut, dana desa rawan diselewengkan. Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), kasus korupsi di sektor desa paling banyak ditangani oleh aparat penegak hukum pada 2022. ICW juga mencatat sejak terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, ada kenaikan kasus korupsi di desa yang konsisten. Undang-undang tersebut merupakan dasar penyelenggaraan dana desa. Dari 155 kasus korupsi desa pada 2022, secara rinci 133 kasus berkaitan dengan dana desa, sementara 22 kasus berkaitan dengan penerimaan desa. Akibat korupsi terhadap dana desa tersebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp381 miliar.

Belum lagi kasus korupsi bansos yang lagi-lagi terulang. Kerugian negara dalam kasus ini juga cukup besar. Tentu masih banyak kasus korupsi lain. Sebagian telah terbukti. Sebagian lagi merupakan dugaan kuat. Ambil contoh kasus proyek foodestate yang mangkrak, dengan anggaran triliunan rupiah. Proyek ini pun secara nyata telah merusak lingkungan. Pasalnya, ribuan hektar hutan telah terlanjur dibabat habis. Contoh lain, yang juga mangkrak dan terus mengalami pembengkakan biaya, adalah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Tentu masih banyak kasus-kasus dugaan korupsi lainnya.

Sejak era Reformasi, di antara ratusan kasus korupsi yang terjadi, ada puluhan kasus korupsi yang terbilang sangat besar. Di antaranya: kasus penyerobotan lahan seluas 37.095 hektar di Riau yang menyeret PT Duta Palma Group, yang merugikan negara mencapai Rp 78 triliun; kasus korupsi yang menyeret PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) dengan kerugian negara mencapai 2,7 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp37,8 triliun; kasus korupsi PT Asabri yang menyebabkan negara harus merugi Rp 22,7 triliun; kasus korupsi PT Jiwasraya yang menjadikan negara mengalami kerugian sebesar Rp 16,8 triliun; dll. (Lihat: Kompas.com, 15/1/2023)

Semua kasus korupsi di atas terjadi dalam sistem demokrasi saat ini.Tentu tidak mudah memberantas korupsi di atas dalam sistem demokrasi. Pasalnya, demokrasi, yang secara teoretis mengklaim kedaulatan rakyat, dalam tataran faktual tidaklah demikian. Dalam praktiknya, kedaulatan rakyat sebagai ‘ruh’ demokrasi selalu dibajak oleh segelintir para pemilik modal atau oleh elit penguasa yang didukung oleh para pemodal. Inilah yang terjadi di banyak negara yang menerapkan demokrasi, termasuk di negeri ini.

Alhasil, negara yang menerapkan demokrasi, dalam praktiknya tak lebih merupakan negara ‘kleptokrasi’; negara yang dikuasai ‘para maling’. Pasalnya, di negara-negara demokrasi, yang selalu memiliki kuasa adalah segelintir orang yang ‘bermental maling’. Merekalah yang telah ‘mencuri’ atau ‘merampas’ kedaulatan rakyat dan mengubahnya menjadi kedaulatan elit wakil rakyat, elit politik dan elit para pemilik modal.

Dengan realitas sistem demokrasi semacam ini, jelas korupsi tak akan pernah berhenti, bahkan bisa makin menjadi-jadi, sebagaimana saat ini.

Karena itu, solusi mendasarnya adalah dengan mencampakkan sistem demokrasi saat ini lalu diganti dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawabnya tak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah Swt. di akhirat kelak.

Dalan Islam, ada sejumlah langkah dalam memberantas bahkan mencegah korupsi, antara lain: Pertama, penerapan ideologi Islam, yang meniscayakan penerapan syariah Islam secara kâffah dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal kepemimpinan. Dalam Islam, pemimpin negara (khalifah), misalnya, diangkat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan al-Qur’an dan ças-Sunnah. Begitu pun pejabat lainnya.

Kedua, pemilihan penguasa dan para pejabat yang bertakwa dan zuhud. Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Ketakwaan akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah SWT.

Ketiga, pelaksanaan politik secara syar’i. Dalam Islam, politik itu intinya adalah ri’âyah syar’iyyah, yakni bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariah Islam. Bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit rakus.

Keempat, penerapan sanksi tegas yang berefek jera. Dalam Islam, hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

Inilah beberapa cara Islam untuk menyelesaikan kasus korupsi yang melanda dan semoga Sistem yang rusak saat ini yaitu Sistem Sekularisme segera musnah dan digantikan dengan Sistem Islam dimana membawa keberkahan untuk seluruh umat.

Wallahu a’lam bi ash-shawâb.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi