Korupsi Minyak Goreng, Bukti Berkuasanya Oligarki

Oleh. Arsanti Rachmayanti
(Pegiat Literasi)

Di awal tahun 2022 yang lalu, di seluruh Indonesia, terjadi kelangkaan minyak goreng (Migor). Ternyata kisruh ini berlanjut di tahun 2023 dengan ditetapkannya tiga perusahaan sawit sebagai tersangka perkara tindak pidana korupsi minyak goreng, dengan dugaan pelanggaran dalam memperoleh izin ekspor pada saat pengiriman dibatasi. Ketiga perusahaan besar tersebut adalah Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group yang membuat rugi negara sebesar Rp6,47 Trilyun.

Menyusul pula telah ditetapkannya lima terdakwa perkara tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO/ minyak sawit mentah) dan turunannya, pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2022. Penyelidikan dilakukan setelah Mahkamah Agung (MA) menguatkan pengadilan yang lebih rendah untuk memenjarakan para eksekutif di perusahaan-perusahaan tersebut karena memanipulasi dokumen atau mengirim data-data palsu untuk mendapatkan izin ekspor. Seorang pejabat senior kementerian perdagangan juga telah dipenjarakan dalam kasus penyalahgunaan kekuasaan ini.

Indonesia menyumbang sekitar 60 persen dari pasokan minyak sawit dunia, memberlakukan langkah-langkah pengetatan ekspor tahun lalu, termasuk larangan pengiriman selama tiga minggu, untuk mencoba mengamankan pasokan domestik guna mengendalikan harga minyak goreng lokal yang melonjak. Untuk mempertahankan daya beli masyarakat atas minyak goreng, negara terpaksa menggelontorkan dana kepada masyarakat dalam bentuk bantuan langsung tunai sebesar Rp6,19 triliun.

Kapitalisme Menyuburkan Korupsi Oligarki

Dari fakta di atas, kita ketahui bahwa negeri ini tidak bisa terlepas dari praktik korporatokrasi, yaitu kerja sama antara korporasi dan birokrasi. Walhasil, walaupun ada aturan larangan ekspor hingga memenuhi kuota domestik, dengan bantuan birokrasi, ekspor CPO illegal tidak bisa dicegah.

Selain itu, selama harga CPO dunia lebih tinggi dari domestik (salah satunya karena kebijakan DPO), perusahaan akan mencari celah untuk menambah volume ekspor. Tertangkapnya Dirjen PLN Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana atas tuduhan korupsi ekspor minyak goreng menjadi bukti bahwa mafia migor itu nyata dan pemerintah kerap menjadi pelayan korporasi.

Adanya kebijakan DMO dan DPO tidak akan efektif menyelesaikan problem kelangkaan dan harga. Serupa dengan kebijakan lainnya seperti subsidi, HET, hingga larangan ekspor, semua mandul dalam menyelesaikan permasalahan Migor karena kendali Migor bukan berada pada negara, melainkan swasta.

Seluruh kebijakan pemerintah atas Migor tidak hanya berputar pada otak-atik pengaturan pola distribusinya saja, tetapi tetap dalam kerangka besar, yaitu pengurusan berada di tangan swasta. Ini jelas tidak akan menyentuh aspek mendasarnya, yaitu soal pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya.

Persoalan utama Migor bukan pada kelangkaan akibat tingginya ekspor Migor, sebab produksi CPO Indonesia jauh di atas kebutuhan domestik dan ekspor. Begitu pun keberadaan mafia Migor, bukan persoalan utama. Jika kita analisis lebih dalam, keberadaan mafia Migor merupakan konsekuensi logis dari adanya negara korporatokrasi.

Korporatokrasi merupakan model negara “ideal” dalam sistem negara Kapitalisme-Demokrasi. Sistem negara korporatokrasi menyerahkan seluruh urusan rakyatnya pada swasta, baik produksi dan distribusinya. Jadilah penguasaan korporasi Migor berlangsung dari hulu hingga hilir.

Makin miris jika melihat realitas bahwa yang menguasai pasar Migor di Indonesia hanya empat perusahaan. Itu artinya, pasar Migor berbentuk Oligopoli. Inilah yang menyebabkan harga dikuasai korporasi.

Lihat saja ketakberdayaan pemerintah menghadapi mafia Migor. Saat subsidi dan harga eceran tertinggi (HET) ditetapkan dengan tujuan agar Migor terjangkau, yang terjadi Migor malah mengalami kelangkaan. Namun, saat kebijakan tersebut dihapus, dengan serentak Migor membanjiri pasar.

Berdasarkan hal itu, problem mendasar ihwal Migor ini adalah distribusi yang diserahkan pada swasta sehingga kebijakan apa pun tidak dapat menyelesaikan persoalan umat. Penguasaan korporasi dari hulu ke hilir menjadikan kebutuhan rakyat tidak terpenuhi secara merata, hanya yang memiliki akses (uang) sajalah yang terpenuhi kebutuhannya.

Adanya liberalisasi kepemilikan dana penyerahan total distribusi pada swasta, tentu mengantarkan pada problem Migor. Bagaimanapun, korporasi adalah lembaga yang berorientasikan profit, bukan sosial. Pemenuhan kebutuhan rakyat jelas tidak akan menyelesaikan masalah.

Persoalan Migor tidak akan selesai selama masih menggunakan sistem ekonomi kapitalisme. Problem mendasarnya, yaitu distribusi diserahkan pada swasta, adalah harga mati bagi sistem ini. Orientasi swasta adalah pada profit, wajar saja persoalan tidak selesai. Butuh kebijakan yang pro umat dan bebas dari kepentingan asing dan oligarki, yaitu kebijakan ekonomi Islam dalam bingkai syariah Islam.

Wallahu a’lam Bishowwab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi