Oleh. Sri Wahyuni
(Aktivis Muslimah dan Pemerhati Masyarakat)
Bak cendawan di musim hujan. Mungkin itu bisa diibaratkan untuk banyaknya kasus korupsi yang seakan tak pernah habis pemberitaannya di negeri ini. Bahkan, sepertinya korupsi sudah menjadi hal yang biasa dilakukan mulai dari rakyat biasa sampai anggota dewan dan para pejabat sekali pun. Hampir di semua lini kehidupan wabah korupsi menjangkiti.
Seperti yang dilansir oleh media online Pikiran Rakyat.com pada tanggal 1 Februari 2022 lalu, seorang oknum anggota DPRD Kabupaten Probolinggo yang berinisial A terlibat korupsi bantuan dari Kementerian Pertanian. Dia telah merugikan negara sebesar Rp110 juta.
Berita ini melengkapi deretan berita-berita korupsi lainnya. Sebelumnya, Kabupaten Probolinggo telah gempar dengan pemberitaan yang sama. Bahkan lebih heboh karena terbongkarnya kasus korupsi dinasti.
Kasus-kasus korupsi di negeri ini seakan semakin meluas dan juga sistematis. Hampir di semua instansi publik ada kasus korupsi. Baik itu berupa penggelapan dana maupun kasus suap bahkan jual beli jabatan.
Ongkos Mahal
Penyebab merebaknya kasus korupsi salah satunya adalah karena mahalnya ongkos untuk bisa menjabat. Dalam sistem demokrasi, untuk menjabat sebagai wakil rakyat butuh biaya yang tidak sedikit. Pada tahun 2013 saja, biaya yang harus disiapkan sekitar Rp200 juta sampai Rp800 juta per orang. Pada tahun 2019 naik beberapa kali lipat. Bahkan ada yang menghabiskan dana sekitar Rp 2M (Detik.com, 3/10/2019).
Biaya mahal itu adalah modal awal jika seseorang ingin menduduki kursi DPR di daerah. Bagaimana dengan biaya untuk duduk di kursi DPR Pusat? Tentu saja biayanya lebih besar lagi.
Biaya kampanye yang mahal dan ditambah dengan masa kampanye yang panjang juga akan semakin menambah besar dana yang dikeluarkan. Semakin besar dananya, kemungkinan menang akan semakin besar. Sudah menjadi hal yang lumrah di negeri ini yang namanya money politic.
Dengan modal yang sangat besar itu, tentu para caleg ketika menjabat nanti harus bisa balik modal. Jika berharap pada gaji pokok saja, tentu mustahil. Maka, berbagai cara dilakukan agar bisa balik modal, kalau bisa dapat untung juga. Sudah menjadi rahasia umum di masyarakat bahwa tujuan menjadi wakil rakyat agar bisa meningkatkan taraf ekonomi dan juga prestise kekuasaan. Apalagi ditunjang dengan fasilitas hidup yang menggiurkan, maka wajar banyak orang yang ingin menjadi anggota parlemen.
Demokrasi Menyuburkan Korupsi
Menjamurnya korupsi bukanlah tanpa sebab. Di samping karena faktor dalam diri pelakunya yang tipis keimanannya kepada Allah dan tidak takut dosa, korupsi juga bisa terjadi dan meluas karena ditunjang oleh sistem yang menaunginya. Sistem demokrasi kapitalis memang lahir dari asas sekularisme, hal itu sangat menunjang penyimpangan perilaku ini. Sekularisme adalah paham yang mengingkari peran agama dalam kehidupan duniawi. Agama tidak boleh campur tangan mengatasi permasalahan kehidupan manusia. Sehingga, wajar urusan korupsi pun di dalam sekularisme adalah perilaku yang bebas nilai. Tidak heran jika pada akhirnya banyak pejabat dan wakil rakyat yang kebetulan tipis imannya begitu mudah melakukan korupsi dan menggarong uang rakyat. Begitulah, sekularisme telah berhasil menancap kuat dalam pemikiran masyarakat.
Sistem Islam Murah dan Praktis
Islam bukan hanya agama ritual, tetapi sebuah sistem kehidupan yang berasal Allah. Islam dengan hukumnya yang tegas mampu mencegah segala tindakan pelanggaran terhadap syariat, termasuk tindakan korupsi. Sistem yang diterapkan itu bisa membentuk perilaku yang baik bagi individu rakyat, sedangkan kapitalisme demokrasi telah membentuk pribadi individu yang sekuler.
Sistem Islam jika diterapkan sebagai sistem bernegara akan membentuk pribadi rakyat yang beriman dan bertakwa. Sebab, asas bagi sistem Islam adalah keimanan dan ketakwaan kepada Allah Sang Pencipta dan Pengatur. Dalam sistem Islam, negara akan membina rakyat untuk selalu terikat dengan aturan Allah. Dengan keimanan dan ketakwaan individu, maka otomatis akan membentuk masyarakat yang beriman dan bertakwa pula. Iman dan takwa inilah yang akan mencegah seseorang korupsi.
Memilih penguasa dan wakil rakyat dalam Islam tidak butuh biaya yang besar. Masa kampanye dalam Islam tidaklah lama, hanya tiga hari saja. Anggota wakil rakyat dipilih untuk mengontrol dan mengoreksi para penguasa. Anggotanya merupakan representasi dari rakyat. Yaitu tokoh-tokoh rakyat yang bisa mewakili suara rakyat.
Dengan pemilihan yang berbiaya murah, maka para wakil rakyat ini tidak mungkin berpikir akan mengembalikan modal. Kinerjanya pun akan fokus pada kepentingan rakyat.
Korupsi di negeri ini juga disebabkan oleh lemahnya sistem sanksi bagi pelakunya. Pelaku korupsi hanya diberi sanksi yang tidak membuatnya jera. Sanksi bagi kasus korupsi di negeri ini pun bisa dibeli. Mereka bisa membeli hukum di pengadilan. Jika memang harus dipenjara, penjaranya pun diistimewakan. Fasilitas di penjara bisa disamakan dengan hotel berbintang. Maka, ini tidak akan pernah membuat jera bagi pelakunya.
Dalam sistem Islam, pelaku korupsi akan di sanksi dengan sanksi yang tegas. Pelakunya akan disamakan dengan sanksi pencurian. Bahkan, jika yang dikorupsi sudah mencapai batas yang ditentukan syara’, maka bisa jadi hukum potong tangan akan diberlakukan. Dengan hukuman yang tegas ini, seseorang akan berpikir ribuan kali untuk korupsi.
Dengan demikian, hanya dengan penerapan sistem Islam kaffah saja kasus korupsi akan berakhir dan tentu tidak akan berulang terjadi. Sehingga, akan tercipta keadilan dan kesejahteraan di masyarakat.
Wallahu a’lam.