Oleh. Elfia Prihastuti
(Praktisi Pendidikan)
“Ketidakadilan,” bukanlah sesuatu yang langka di negeri ini. Sering kita jumpai fakta-fakta miris keberpihakan hukum yang timpang. Kadang dalam sebuah persidangan tidak terbukti bersalah, tapi vonis hukum tetap dijalankan. Ada juga yang benar diputus salah, justru dinyatakan tidak bersalah. Terkadanh keputusan yang berubah karena jadi sorotan publik. Kenyataan-kenyataan seperti ini kerap hadir di laman-laman berita.
Murtede alias Amaq Sinta (34 tahun) yang melakukan pembelaan dari begal yang akan merampas hartanya di Nusa Tenggara Barat (NTB), harus merasakan jadi tersangka. Buah dari pembelaan diri yang dilakukannya menewaskan dua orang yang akan membegalnya. Menurut Amaq Sinta, membunuh kawanan begal itu dalam keadaan terpaksa. Sebab, kalau tidak melawan, nyawanya akan melayang ketika diserang kawanan begal di jalan raya Desa Ganti (JPNN.com, 16/4/2022).
Kasus yang menimpa Amaq Sinta, tak pelak jadi sorotan. Bagaimana mungkin orang yang membela diri dari begal bisa menjadi tersangka? Hal ini menjadikan dilematis bagi orang-orang yang akan membela diri dari kejahatan yang menimpanya.
Dirkrimum Polda NTB Kombes Hari Brata, mengungkapkan bahwa pembelaan diri yang dilakukan oleh Amaq Sinta mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Menghilangkan nyawa orang lain tetap harus diproses hukum, meskipun ada upaya membela diri (Detik.com, 6/4/2022).
Dalam kasus ini, Amaq Sinta juga melakukan pembelaan diri dengan menggunakan senjata tajam miliknya bukan milik si begal. Kondisi tersebut juga menjadi salah satu sebab yang mengantarkan Amaq Sinta menjadi tersangka.
Ditetapkannya Amaq Sinta menjadi tersangka, menyebabkan kasus ini menjadi perbincangan publik dan akhirnya viral. Akibat kegaduhan yang muncul dari kasus Amaq Sinta ini, akhirnya perkara pun dihentikan oleh pihak kepolisian. Alasannya agar masyarakat tidak apatis, takut melawan kejahatan.
Apa yang menimpa Amaq Sinta memberi gambaran pada kita bahwa hukum yang ada di negeri ini yang notabene hukum demokrasi kapitalisme tidak sepenuhnya memberikan rasa keadilan. Sebab, hukum bisa berubah, tidak memiliki ketegasan mutlak.
Ketetapan hukum yang ada juga akan menimbulkan dilema. Bagi aparat hukum, sebenarnya merasa khawatir di satu sisi jika masyarakat apatis terhadap kejahatan, padahal kejahatan harus dilawan. Di sisi lain, ada kekhawatiran jika upaya main hakim sendiri merebak di masyarakat.
Keputusan hukum yang ada juga kerap kali tidak memuaskan banyak pihak karena ketidakadilan sering mewarnai ketukan palu hakim. Sehingga, hal itu memberi peluang untuk terjadi kegaduhan.
Sejatinya, kondisi-kondisi di atas wajar terjadi. Hukum yang digunakan adalah hukum buatan manusia. Secerdas apa pun si pembuat hukum, tidak lepas dari kelemahan dan keterbatasan. Karena, manusia tidak ada yang sempurna. Jadi bukan hal aneh jika hukum buatan manusia tidak mampu menyelesaikan masalah.
Sungguh berbeda jika pembuat hukum adalah Pencipta manusia. Sebab, Pencipta manusia tahu persis kondisi yang diciptakan-Nya. Dia juga tahu apa yang buruk dan baik bagi makhluk-Nya. Oleh karena itu, Dia membuat aturan-aturan yang baik untuk manusia. Aturan-aturan itu tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang diaplikasikan lewat institusi negara yang bernama Khilafah. Negara Khilafah adalah Negara Islam yang akan menerapkan hukum yang berasal dari Allah sebagai Pencipta manusia.
Sistem sanksi Islam akan memberikan rasa keadilan bagi siapa saja tanpa piliih kasih. Sebab, sumber kedaulatan hukum berasal dari Allah SWT sebagai Zat Mahaadil. Dalam Islam, tindakan Amaq Sinta tidak dipandang sebagai tindak kriminal atau main hakim sendiri menurut sistem hukum saat ini. Justru tindakan membela diri dan harta dari bahaya kejahatan begal adalah tindakan mulia.
Dari Abu Hurairah Ra, dia berkata bahwa ada seseorang yang menghadap Rasulullah Saw, dia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika ada orang yang mendatangiku dan ingin merampas hartaku?” Beliau bersabda: “Jangan kau beri padanya”. Dia bertanya lagi, “Bagaimana pendapatmu jika dia ingin membunuhku?” Beliau bersabda, “Bunuhlah dia.” “Bagaimana jika dia membunuhku?” Dia balik bertanya. “Engkau dicatat syahid,” jawab Nabi Saw. “Bagaimana jika aku yang membunuhnya?” Dia bertanya kembali. “Dia yang di neraka,” jawab Nabi Saw.” (HR Muslim No 140)
Memang benar hukum asal membunuh adalah haram. Namun, jika ada dalil yang menyatakan boleh membunuh sebagai upaya membela diri dan harta dari bahaya, maka keharaman tersebut menjadi kemubahan. Sedangkan sanksi bagi pembegal, Allah SWT. berfirman:
اِنَّمَا جَزٰۤؤُا الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَسْعَوْنَ فِى الْاَرْضِ فَسَادًا اَنْ يُّقَتَّلُوْٓا اَوْ يُصَلَّبُوْٓا اَوْ تُقَطَّعَ اَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ مِّنْ خِلَافٍ اَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْاَرْضِۗ ذٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
“Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.” (QS Al-Maidah: 33)
Ayat di atas bersifat umum. Bagi siapa saja yang melakukan pembegalan akan ditindak sama tanpa pandang bulu. Demikianlah hukum Islam bagi pembegal dan korban begal. Hal ini hanya bisa diterapkan dalam sistem sanksi Negara Khilafah.
Maka, tampak jelas bahwa hukum yang berasal dari Allah, sungguh amat tegas. Tidak mudah berubah. Memberikan efek jera dan sudah bisa dipastikan akan memberikan rasa keadilan. Karena Dialah yang Maha )adil dan Mahasempurna. Mengapa kita masih memilih sesuatu yang jauh dari sempurna? Hal yang tidak pernah mampu menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan masalah baru.
Wallahu a’lam bishawab.