Yani,
Bogor
Pemerintah lewat Komenkominfo telah secara resmi menghentikan siaran televisi terestrial analog dan menggantinya dengan siaran digital untuk wilayah JABODETABEK per Kamis dini hari, 3 November 2022. Kebijakan ini pun menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, benarkah kebijakan ini memang untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat atau sebaliknya?
Di laman resmi Kemenkominfo, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) Usman Kansang mengatakan, pemerintah telah melaksanakan sosialisasi masif soal kebijakan mematikan televisi analog kepada masyarakat dan pemangku kepentingan (7/11/2022).
Menurutnya, migrasi sistem penyiaran televisi dari analog ke digital memiliki banyak manfaat bagi masyarakat, lembaga penyiaran maupun negara. Salah satunya, masyarakat akan menikmati siaran televisi yang lebih baik karena gambar lebih bersih, suara lebih jernih dengan teknologi yang canggih. Selain itu, konten siaran juga akan menjadi semakin banyak dan beragam jenis nya. Dan dapat dinikmati secara gratis serta dapat memberikan tambahan pemasukan APBN dari sektor penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Jabodetabek akan menjadi wilayah pertama yang migrasi ke siaran TV digital sepenuhnya mulai kamis 3 November 2022. Dengan demikian, masyarakat yang masih memiliki TV analog tidak bisa lagi menonton siaran TV. Sebagai gantinya masyarakat harus menggunakan Set Top Bok (STB) yaitu alat yang untuk mengonversi sinyal digital menjadi gambar dan suara agar dapat dtampilkan di TV analog. Kominfo mengklaim sudah mendistribusikan STB gratis hingga 98,44 persen dari rasio 359,617 unit. Di samping itu, untuk masyarakat non-miskin disarankan untuk segera memasang STB agar dapat menikmati siaran digital. Namun faktanya, terkait peralihan tv analog ke digital, masyarakat mengaku belum mendapatkan sosialisasi hingga kesulitan mendapatkan STB.
Inilah sebagian kecil atmosfer kehidupan dalam sistem kapitalisme, di mana pemilik teknologi adalah yang punya modal besar dan mayoritas mereka adalah swasta. Karena dalam sistem kapitalisme, teknologi adalah komoditas ekonomi dimana orang harus mengeluarkan sejumlah uang untuk menikmati teknologi tersebut. Sangat berbeda dengan siatem Khilafah dalam memandang urusan teknologi. Teknologi adalah instrumen pendukung kehidupan sehingga makin luas teknologi semestinya berbanding lurus dengan penyediaan lapangan kerja dan pengelolaan kehidupan yang membaik.
Sebab, keberadaan Khilafah adalah pelayan (raa’in) bagi warga negaranya. Dalam Islam sendiri, tidak pernah mengekang umatnya untuk modern, justru Islam sangat mendukung kemajuan teknologi dan menjadikan alat telekomunikasi sebagai infrastruktur. Seluruh sarana yang dapat dimanfaatkan di pedesaan, propinsi maupun yang dibuat negara selama sarana tersebut bermanfaat dan dapat membantu.
Seharusnya, perkembangan TV analog ke TV digital dan efisiensi penggunaan frekuensi semata-mata akan dikembangkan untuk memudahkan masyarakan bukan untuk kepentingan oligarki. Semua pembiayaan akan di tanggung oleh Khilafah dan bertanggung jawab penuh dalam menyediakan layanan publik telekomunikasi dan sosialisasi intensif pada masyarakat akan membuat masyarakat siap dengan berbagai transformasi teknologi. Sehingga, tidak ada yang menzalimi dan terzalimi dalam pelaksanaannya.