Oleh. Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Ummat)
Konstelasi perpolitikan internasional begitu dinamis. Aneka konflik di tiap kawasan tak lepas dari siapa yang menyetir kawasan tersebut. Perang ideologi di dunia ini muncul sejak Perang Dunia I. Perebutan posisi politik internasioanal terus berkembang hingga saat ini, termasuk saat Ukraina diserang oleh Rusia.
Menelaah Konflik Ukraina
Hubungan Ukraina dan Rusia menjadi tegang sejak runtuhnya Uni Soviet yang menggawangi ideologi sosialisme. Negara-negara pecahan Uni Soviet, termasuk Ukraina memutuskan untuk menjadi negara yang merdeka. Namun, Rusia sebagai negara yang pernah menjadi pusat aktivitas politik Uni Soviet merasa menjadi pewaris Soviet. Sehingga, Rusia berusaha menarik seluruh negara pecahan itu ke dalam pengaruhnya, termasuk Ukraina.
Namun, kecenderungan Ukraina pada cenderung pada Uni Eropa dan bahkan terikat dengan Amerika dan NATO. Pada 2014, Presiden Ukraina Viktor Yanucovych yang pro-Rusia digulingkan oposan Pro-Barat. Pelengseran Yanukovych menyebabkan konflik dalam pemerintahan Ukraina. Pemerintahan terbagi menjadi dua kubu, yakni pendukung Uni Eropa dan pendukung Rusia (kompas.com, 25/2/2022).
Apabila ditelaah lebih dalam, Ukraina tampak menjadi lahan konflik antarnegara besar dan adidaya. Kecenderungan Ukraina untuk bergabung dengan NATO membuat Rusia murka. Pelukan hangat Uni Eropa dan campur tangan Amerika di sana semakin menambah murka itu. Cina yang menjadi sekutu politik dan ekonomi Rusia turut menabur kepentingan di Ukraina.
Letak geostrategis Ukraina di Eropa Timur menjadi benteng bagi Rusia dari Uni Eropa dan NATO. Apalagi saat masih dalam pangkuan Uni Soviet, Ukraina menjadi gudang penyimpanan nuklir terbesar setelah Rusia. Posisinya ada di Eropa Timur bagian tengan, bersisian dengan Laut Hitam dan beberapa Negara Eropa Timur lainnya. Wilayahnya menjadi wilayah terbesar kedua di Eropa setelah Rusia.
Sementara sisi ekonomi, Ukraina memiliki kekayaan alam yang melimpah dan menjadi jalur pipa gas ke Eropa. Wajar jika Rusia sangat berambisi mencengkeram Ukraina dengan pengaruhnya. Wajar pula jika Ukraina menjadi incaran para pesaing politik Rusia, terutama Amerika yang masih menjadi adidaya dalam konstelasi perpolitikan internasional.
Ideologi kapitalisme yang diemban Amerika mampu menerjang Ukraina dengan segala bantuan ekonomi dan militer guna memarik negara tersebut dalam hegemoni AS.
Jika mereview sedikit kitab Mafahim Siyasi karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, ada sebuah gambaran yang sangat jelas tentang hubungan yang terbangun antara dua blok utama perang dingin. Pada Khithah dan Uslub Politik dalam kitab tersebut, Syekh Taqiyuddin menjabafkan tentang khittah (rencana strategis) AS terhadap Rusia adalah untuk membelenggu, mengunci, dan menjadikan Rusia sebagai negara yang tidak memiliki pengaruh dalam konstelasi perpolitika, bahkan dalam skala regional. Dengan khitthah tersebut, Amerika bergerak cepat dengan membangun berbagai perjanjian dan kerja sama dengan negara-negara di Eropa dan Asia Tengah, termasuk dengan menggabungkan berbagai negara pecahan soviet di Eropa Timur ke dalam NATO, aliansi militer yang digawangi Amerika.
Rusia seakan ada di titik jenuh yang teramat setelah manuver politiknya tak berhasil mengambalikan Ukraina ke pangkuan Rusia. Akhirnya, serangan Rusia ke Ukraina pada 24 Februari lalu terjadi tanpa berpikir bahwa posisi tawar konstalasi perpolitikannya telah lemah, lebih tepatnya dilemahkan oleh AS. Bahkan, serangan brutal Rusia hingga 2 Maret 2022 ini terus terjadi. Rusia terus membombardir Kharkiv dengan rudal pada Rabu (2/3). Salah satu rudal dilaporkan menghantam gedung dewan kota di timur Ukraina tersebut (CNNIndonesia.com, 2/3/2022).
Situasi yang memanas ini bukan tidak mungkin ditunggangi Amerika. Mudah bagi AS untuk memanfaatkan situasi ini dengan menekan Rusia yang dianggap dunia sebagai pembuat kekacauan dan konflik di Ukraina. Perilaku negara adidaya demikian adanya. Kerakusan ideologi kapitalisme membuatnya melakukan apa saja demi mempertahankan predikat adidaya. Mereka terus berkonflik demi berebut posisi negara pertama atau menjarah dan mengeksploitasi kekayaan alam di negeri-negeri lainnya.
Penderitaan Dunia Tanpa Khilafah
Konflik Ukraina bukanlah yang pertama terjadi. Konflik di kawasan lainnya, seperti konflik Timur Tengah, Anak Benua India, Asia Tengah, Timir Jauh selalu melibatkan negara adidaya meski aktornya berbeda di tiap kawasan. Penderitaan tak berkesudahan di dunia ini tersebab konflik yang dirancang sedemikian rupa.
Pasca-PD II, Amerika berhasil menggeser Inggris dan Negara Eropa lainnya. AS bersama Soviet menjadi aktor yang saling berseberangan dalam dua blok. Perang Dingin berkobar membuat dunia amat mencekam. Namun, setelah runtuhnya Soviet, AS menjadi pemain tunggal dalam konstelasi perpolitikan internasional. Sementara Rusia tetap bertahan dalam upaya membangun pengaruh di bekas negara pecahan Soviet.
Penderitaan yang menimpa dunia tersebab dari hegemoni dan cengkeraman jahat adidaya. Motif dan modus kerja sama bidang militer, ekonomi, maupun politik mampu memperdaya negara lemah namun kaya akan sumber daya alam. Sehingga, negara lemah itu menjadi budak adidaya. Terkadang, konflik yang tercipta adalah serangan ataupun perang yang meneror dunia dalam ketakutan. Lembar penderitaan dunia tak berkesudaha tersebab jamahan berdarah dari tangan adidaya.
Peradaban Baru yang Diharapkan
Peradaban yang diliputi penderitaan dunia ini tak lepas dari ideologi kapitalisme ataupun sosialisme yang menjadikan aturan di tangan manusia. Tentu, peradaban baru yang diharapkan jauh dari kenyataan yang ada saat ini, jauh dari konflik kemanusiaan ataupun peperangan seperti yang terjadi di Ukraina. Peradaban baru ini tentu aturannya bukan dari manusia, melainkan aturan yang dibuat oleh Sang Pencipta manusia.
Peradaban baru yang diharapkan akan menghapus penderitaan dunia dan aturan manusia. Yakni, dengan tatanan kehidupan yang bersumber dari wahyu, syariat Islam. Islam memiliki sistem pemerintahan yang apik. Bahkan, telah terbukti lebih dari 13 abad mampu memimpin dunia. Itulah peradaban dalam Negara Islam (Khilafah). Ideologi dalam Khilafah hanyalah ideologi Islam yang mampu menjaga keamanan rakyat dari ancaman negara kafir.
Politik luar negeri Khilafah dengan dakwah dan jihad. Jihad di sini adalah perang di jalan Allah. Namun, haram hukumnya jihad jika tidak ada aktivitas dakwah terlebih dahulu. Khalifah akan berdakwah melalui para utusan ataupun langsung pada pemimpin kafir agar menerapkan syariat Islam di negerinya meski mereka tetap dengan keyakinannya. Dakwah yang diemban negara adalah dakwah politis yang mengarahkan penguasa kafir tunduk pada ideologi Islam tanpa keluar dari agama atau keyakinannya.
Di dalam negeri, khalifah akan mengurusi urusan rakyat. Khalifah menjamin segala kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar tiap individu rakyat. Pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan semua dijamin oleh khalifah. Sehingga, kesejahteraan dan ketenteraman rakyat menjadi prioritas utama khalifah.
Maka, peradaban baru yang diharapkan sebenarnya ada di muka bumi ini. Yakni, kembali pada tatanan Islam yang diterapkan selama 13 abad lebih dalam naungan Khilafah. Dengan Khilafah, konflik Ukraina dan seluruh kawasan di muka bumi ini akan terhapuskan. Sejatinya, konflik yang terjadi di dunia sejak lemahnya Khilafah dan menjadi malapetaka sejak Khilafah runtuh di Turki pada 3 Maret 1924 M. Oleh karena itu, penting menegakkan kembali Khilafah untuk mewujudkan keberkahan dari langit dan bumi.
Wallahu a’lam