Koalisi Makin Ngegas, demi Ambisi Kemenangan Selintas

Oleh: Elfia Prihastuti
Praktisi Pendidikan

Pemilu akan berlangsung dua tahun lagi. Tampaknya persiapan partai politik yang akan ikut ambil bagian dalam pemilu 2024 sudah mulai menggeliat. Partai-partai politik di negeri ini sudah pasang ancang-ancang agar dapat menjadi pemenang. Aksi lamar-melamar dan membentuk koalisi mulai dipersiapkan.

Tensi politik pun kian memanas saat Ketua DPP Partai Golkar mengumumkan adanya koalisi yang digagas oleh tiga partai. Namanya adalah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Partai-partai yang berada dalam koalisi tersebut yaitu, Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Pembangunan Persatuan (Detik.com 14/5/2022).

Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang selama ini dikenal sebagai partai Islam tak mau ketinggalan. Ketika diajak bergabung oleh KIB, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKS Aboe Bakar Alhabsyi menegaskan, PKS saat ini tidak mau dikunci soal koalisi. Dalam Pemilu 2024 mendatang, PKS akan mengusung pasangan capres-cawapres yang potensial menang. Hal ini karena PKS ingin agar periode berikutnya berada di dalam pemerintahan (Beritasatu.com, 20/5/2022).

Pertemuan-pertemuan juga digelar oleh elite politik untuk mencapai kesepakatan berkoalisi. Terbaru, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menemui Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh di markas NasDem kawasan Gondangdia, Jakarta. Pertemuan ‘Gondangdia’ itu disebut-sebut sebagai awal koalisi NasDem dengan Gerindra di Pilpres 2024 (Tribunnews.com, 1/6/2022).

Koalisi, Kesepakatan yang Absurd

Dalam sistem demokrasi, pembentukan koalisi partai politik merupakan hal yang lazim ditemui menjelang pemilihan umum dan pemilihan presiden. Sebagaimana kita ketahui bahwa sistem pemerintahan demokrasi, dalam pelaksanaannya terdapat dua model pemerintahan yaitu sistem parlementer dan sistem presidensil.

Koalisi partai dalam sistem presidensil, merupakan hal yang salah kaprah. Sebab sejatinya, koalisi dan oposisi partai akan berjalan efektif hanya dalam sistem parlementer. Partai koalisi dan oposisi memiliki peran yang subtansial terhadap jalannya pemerintahan. Yaitu menjalankan fungsi pengawasan dan penyeimbangan atau check and balances.

Koalisi merupakan mayoritas atau kelompok parlemen yang anggotanya terdiri dari 50%+1 dari total keseluruhan anggota parlemen. Hal ini membuat koalisi memiliki wewenang untuk membentuk kabinet yang menjalankan pemerintahan.

Sementara itu, oposisi berwenang untuk mengawasi pemerintahan yang dijalankan oleh kabinet bentukan koalisi. Apabila kabinet tersebut dianggap gagal, oposisi dapat melemparkan mosi tidak percaya dan membentuk kabinet bayangan untuk menggantikan kabinet koalisi.

Sedangkan dalam sistem presidensil fungsi check and balances ini dijalankan oleh lembaga legislatif dan eksekutif, yakni parlemen dan kabinet. Seluruh anggota parlemen beroposisi terhadap eksekutif dan juga sebaliknya. Sehingga koalisi dan oposisi tidak berpengaruh terhadap jalannya pemerintahan. Namun, hanya berfungsi pada saat sebelum dan sedang berlangsungnya pemilu.

Dilihat dari dinamika koalisi yang menghangat saat ini, dapat kita tengarai bahwa sejatinya tujuan partai dalam membentuk koalisi adalah mencari posisi agar partai berada pada pihak yang menang. Maka, aksi pinang meminang tokoh dan mencari partai yang akan dijadikan mitra koalisi adalah tokoh dan koalisi yang diprediksi bisa membawa kemenangan dalam pemilu.

Hal ini seringkali membuat partai mengabaikan idealismenya untuk memenangkan pemilu. Seiring berjalannya waktu dan kondisi, jika koalisi tidak lagi bisa mengakomodir kepentingan partai, maka hengkang dan memilih berkoalisi dengan yang lain merupakan tindakan yang sering dilakukan. Kondisi seperti ini jamak terjadi dalam sistem demokrasi yang cenderung fragmatis.

Fatalnya, di lembaga legislatif koalisi partai dimanfaatkan untuk menerbitkan undang-undang yang bisa memberikan keuntungan bagi partai. Jumlah suara besar bisa memberikan legislasi pada undang-undang yang melanggengkan kekuasaan mereka.

Dengan demikian dapat kita lihat, partai politik sibuk berkoalisi, ternyata hanya mencari celah agar kelak setelah pemilu kekuasaannya tetap langgeng sampai pemilu berikutnya. Tidak terbersit sedikit pun tentang bagaimana urusan-urusan rakyat bisa terlayani dengan baik. Rakyat hanyalah alat yang akan mengantarkan mereka di kursi kekuasaan. Maka, tak heran jika terlontar janji-janji manis sebagai cara untuk mendulang suara.

Parpol dalam Sistem Politik Islam

Dalam sistem politik Islam, tidak dikenal adanya pemisahan maupun pembagian kekuasaan negara menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sebab dalam Islam, kepemimpinan bersifat tunggal (fardhiyah), bukan kolektif. Oleh karena itu, tak ada masalah perimbangan kekuasaan dan tak muncul istilah diktator.

Syaikh Taqiyuddin An Nabhaniy dalam kitabnya Mafahim as Siyaasiyah menyebutkan definisi politik (siyasah) dalam pandangan Islam adalah ri’aayatu as syu’uuni Al ummah atau pemeliharaan urusan-urusan umat di dalam negeri maupun di luar negeri. Pemeliharaan urusan di dalam negeri dilakukan dengan cara menerapkan ideologi Islam. Sedangkan pemeliharaan urusan di luar negeri dilakukan dengan cara membentuk hubungan dengan negara-negara lain dan menyebarkan ideologi Islam ke seluruh dunia.

Pemeliharaan urusan umat tersebut secara praktis dilakukan oleh negara. Sedangkan umat berfungsi melakukan muhasabah yakni aktivitas menasehati, mengritik, dan meluruskan penguasa. Aktivitas ini bisa dilakukan siapa saja termasuk partai politik. Bahkan dalam pandangan Islam dikategorikan sebagai kegiatan amar ma’ruf nahi munkar paling besar dan pelakunya bisa mendapat gelar sayyidus syuhadaa’ (pimpinan para syuhadaa’).

Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

دُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَرَجُلٌ قَالَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ

“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang melawan penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.” (HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 4079)

Muhasabah adalah fungsi utama parpol dalam sistem Islam, disamping beramar ma’ruf nahi munkar dan menyampaikan dakwah Islam. Sebagimana firman Allah SWT:

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

Artinya:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Keberadaan partai politik Islam di tengah-tengah masyarakat Islam sangat penting. Sebab, selain melaksanakan fungsi-fungsi tadi, parpol juga berperan melakukan edukasi untuk meningkatkan kesadaran politik, kesadaran hukum, dan kualitas berpikir umat dengan pembinaan dan tabligh-tabligh.

Sungguh, parpol dalam sistem demokrasi dan parpol sistem Islam tampak mencolok perbedaan aktivitasnya. Parpol dalam sistem demokrasi tindakannya hanya dilandasi nafsu untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Sedangkan parpol dalam Islam bertindak atas dasar akidah Islam yang mengharuskan tunduk pada aturan-aturan Islam. Orientasinya sangat jelas, semua dilakukan agar rakyat mendapat pelayanan urusan-urusannya secara maksimal oleh negara.

Wallahu a’lam bishawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi