Oleh: Nur Aisyah, S.Pd.I
Ummu warabbatul bait, itulah sematan khas yang menunjukkan krusialnya posisi seorang ibu. Bermakna bahwa ibu adalah, pengurus rumah tangga sekaligus madrasah pertama bagi buah hatinya. Lantas bagaimana jadinya jika ibu jauh dari peran tersebut?
Seperti kasus yang baru-baru ini mengegerkan warga Subang. Yakni, seorang anak inisial MR (13) tewas dibunuh setelah dianiaya ibu kandungnya, Nurhani (43). Polisi telah menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus ini, yaitu ibu, paman, dan kakek korban. (news.detik.com, 11/10/2023).
Sungguh, ini satu dari beberapa kasus serupa yang membuat hati kita tersayat. Betapa tidak, ketika dimintai keterangan oleh pihak kepolisian pelaku mengatakan bahwa, ia telah membuang anaknya ke saluran irigasi masih dalam keadaan hidup.
Terlepas apapun motif dari pembunuhan tersebut, kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak bisa dibenarkan. Mirisnya, ini masih masih sering terjadi. Mulai dari suami menganiaya istri, anak menganiaya orang tua hingga sebaliknya. Orang tua menganiaya anaknya, sampai berujung pada kematian.
Kasus-kasus serupa sering kali terjadi bukan hanya di Indonesia, akan tetapi kasus serupa juga meningkat diberbagai negara. Berkaca pada hegemoni sistem hari ini yakni, sekularisme kapitalisme liberalis. Sebuah sistem hidup yang menafikan aturan agama dalam kehidupan, dengan para kapital yang menjadi pengandali kebijakan negara, serta kebebasan bertingkah laku diberi ruang bahkan dilabeli atas nama HAM. Model sistem inilah yang memicu munculnya kasus di atas, membuat beberapa hal ini juga terjadi:
Pertama, dominasi ekonomi. Membuat negara tidak punya kewajiban untuk memberikan lapangan kerja bagi rakyatnya, terutama laki-laki. Lapangan pekerjaan diserahkan sepenuhnya pada pasar atau perusahaan. Dan saat ini kalau kita lihat banyak perusahaan yang lebih memilih para pekerja wanita. Karena upahnya murah, mudah di atur, dan mudah juga di eksploitasi. Karenanya, banyak ditemukan kaum lelaki yang pengangguran.
Tidak tercukupinya nafkah dari para suami, menyebabkan banyak hak anak dan istri tidak tertunaikan. Tingginya biaya hidup seringkali membuat seorang ibu harus ikut turun tangan, menjadi tulang punggung keluarga.
Padahal, seorang ibu seharusnya hanya menjadi sandaran buah hatinya dan keluarga, tetapi peran itu kini nyaris hilang, Tenaga dan pikirannya sudah terkuras di dunia kerja sampai lupa tugas utamanya dalam keluarga.
Kedua, ketidak mampuan mengendalikan emosi. Karena menjalankan peran ganda yaitu mencari nafkah dan di tuntut pula mengatur rumah dan membimbing anak-anaknya, mengakibatkan gangguan psikis. Rasa lelah ketika selesai bekerja, berharap pulang bisa melepas kepenatan seringkali disuguhi pemandangan rumah yang berantakan, anak-anak merengek minta diperhatikan, dan keriuhan rumah lainnya.
Jika seorang ibu tidak bisa bijak mengelola kewarasannya, maka yang muncul adalah emosi. Dan hal tersebut bisa dilampiaskan dengan apa saja dan kepada siapa saja. Tak jarang pula lagi-lagi anak jadi korban kemarahan orang tua.
Ketiga, moral dan iman yang lemah. Ketika orang tua sibuk dengan urusannya masing-masing, maka banyak hak anak yang terabaikan. Orang tua yang biasanya menjadi sandaran, tempat berkeluh kesah sang anak, sekarang sudah kehabisan tidak ada. Wajar, jika anak-anak punya tabiat menyimpang.
Seharusnya, anak-anak mendapatkan pendidikan baik yang kuat dari kedua orang tuanya, jangan hanya memasrahkan pada dunia pendidikan. Harus ada sinergitas antara orang tua dan guru. Agar antara orang tua dan guru ada solusi kesepakatan positif memperlakukan anak, utamanya saat anak melanggar peraturan. Agar, tidak terjadi kasus guru agama yang dilaporkan orang tua murid karena, menghukum anaknya.
Akhlak yang baik anak-anak bermula dari teladan ortuanya. Saat anak-anaknya kehilangan contoh ini, wajar jika anak-anak memiliki perilaku menyimpang , seperti cenderung melawan aturan, egois, temperamen, nir empati bahkan sadis. Lemahnya pondasi akhlak yang baik inilah, menjadi pemicu berbagai tindakan menyimpang pada anak.
Namun, kasus di atas juga yang semisal itu, hanya mungkin terjadi dalam sistem sekuler kapitalisme liberal. Seperti hari ini.
Berbeda dengan Islam. Islam mempunyai solusi yang paripurna dalam mengatasi berbagai problema kehidupan. Misalnya, dalam masalah pemenuhan kesejahteraan rumah tangga. Bahwa, Islam menjamin pekerjaan kepada semua laki-laki yang menanggung nafkah keluarganya. Jikalau laki-laki tidak mampu untuk menafkai keluarga maka, sang istri boleh ikut membantu. Akan tetapi tidak boleh melalaikan tugas utamanya dalam keluarga. Apabila masih belum bisa memenuhi kenbutuhannya. Maka negara mempunyai tanggung jawab untuk menjaminnya.
Islam juga memahamkan para ibu untuk memprioritaskan kewajibannya di rumah, membesarkan, mengasuh, dan membimbing putra putrinya. selain itu juga, para ibu memahami bahwa ia adalah sosok utama pengatur rumah tangganya. Islam membolehkan ibu bekerja untuk mengaplikasikan ilmunya, bukan sebagai tulang punggung keluarga.
Pendidikan Islam mengedepankan akidah keimanan. Anak-anak dididik untuk taat pada hukum Allah disetiap perilakunya. Dalam Islam tidak ada kebebasan berperilaku. Semua berada pada koridor syariat Islam. Pendidikan Islam hanya menghasilkan seorang anak yang berakhlakul karimah (mulia).
Suasana keimanan dalam sistem Islam, menjadi faktor utama keberhasilan ibu menjadi sosok pengayom yang penuh kasih sayang bagi buah hatinya. Dalam dekapan ibu, anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi shalih yang cerdas, santun, sehat dan berakhlak terpuji. Semoga sistem Islam segera tegak, menghapus kan segala kerusakan dan kezaliman di seluruh penjuru bumi.
Wallahu a’lam.
.