Ketika Kritik Dianggap Mengusik

Oleh. Dwi Lis

(Komunitas Setajam Pena)

Dikutip dari republika.co.id (14/04/23), Bima Yudho Saputra, pemuda asal Lampung yang viral di media sosial lantaran video yang diunggahnya kini menuai kontroversi. Dalam unggahan video tersebut, ia mengatakan bahwa Provinsi Lampung “Dajjal” sebagai provinsi yang tertinggal dan tak maju-maju sebab banyaknya infrastruktur jalan yang rusak dan tidak layak. Jalan yang dipenuhi dengan tambal sulam serta pembangunan berbagai proyek yang berujung mangkrak.

Akibat kritikannya tersebut, kini Bima mengaku mendapat tekanan dan ancaman, pihak keluarganya pun terkena imbasnya. Tidak hanya itu, Bima juga dilaporkan ke pihak kepolisian oleh Ginda Anshori Wayka selaku pengacara Gubernur Lampung dengan tuduhan menyebar berita hoaks tentang Lampung. Ginda menyatakan alasan melaporkannya adalah penggunaan diksi “Dajjal”. “Silahkan kritik tapi pilihan katanya (diksinya) harus dipilih agar tidak salah,” ujarnya (republika.co.id, 12/04/23).

Hal ini pun sontak menimbulkan perhatian dan dukungan besar dari warganet untuk Bima. Warganet juga mendorong agar KPK ikut turun tangan untuk memeriksa para pejabat Kota Lampung. Karena, mereka sudah mulai geram dengan reaksi para pejabat yang saat ini menunjukkan sikap anti kritik.

Inilah wajah asli sistem demokrasi kapitalisme. Konon, sistem yang sangat menjunjung HAM dimana orang bebas melakukan apa saja termasuk dalam hal berpendapat. Namun faktanya, ketika ada masyarakat yang mengkritik, justru mereka menunjukkan sikap yang berbeda. Kerap kali mereka menggunakan UU ITE sebagai alat untuk membungkam si pengkritik meskipun apa yang disampaikan itu benar faktanya.

Hal ini semakin menunjukkan arogansi mereka sebagai penguasa, sebagaimana yang terjadi dalam kasusnya Bima. Ini hanyalah satu dari banyaknya pelanggaran HAM di dalam sistem Demokrasi itu sendiri. Slogan menjujung tinggi HAM tidak lebih hanya lip service belaka. Walaupun secara logika, kritik terhadap setiap kebijakan yang dibuat penguasa sangatlah diperlukan guna menunjang evaluasi kinerja mereka.

Hal ini sangat berbeda dengan sikap penguasa di dalam sistem Islam. Di mana masyarakat di dalamnya sudah terbiasa dengan aktivitas amar makruf nahi mungkar (saling menasehati). Sehingga, ketika ada masyarakat yang menasihati atau mengkritik penguasa, maka penguasa akan berlapang dada, tidak mudah marah, tersinggung atau sampai melakukan “intervensi negatif” terhadap si pengkritik.

Seperti pada masa Khalifah Umar bin Khatab, beliau pernah mengambil kebijakan untuk membatasi jumlah mahar dikarenakan mendapat aduan dari kalangan pemuda yang kesusahan untuk menikah akibat tingginya mahar yang ditentukan dari pihak wanita. Sontak saja kebijakan beliau mendapat kritisi dari seorang wanita, kemudian ia membacakan firman Allah Swt. dalam surah An-nisa ayat 20 yang artinya:

“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang ada.”

Mendengar hal ini, Khalifah Umar mengakui kekeliruannya dalam mengambil kebijakan. Maka, beliau dengan lapang dada membenarkan kritikan dari wanita tersebut dan membatalkan kebijakannya itu. Sesungguhnya, kritikan itu menyadarkan yang lalai, mengingatkan yang lupa, dan memperbaiki yang salah. Tak ayal, ketika menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim, maka pahala yang diperoleh setara dengan pahala jihad. Seperti di dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud No 4344, Tirmidzi No 2174, Ibnu Majah No 4011 yang artinya:

“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata baik) dihadapan penguasa yang dzalim.”

Sehingga, untuk menemukan sosok pemimpin seperti Khalifah Umar bin Khatab hanya akan ditemukan dalam sistem Islam, yakni dalam naungan institusi negara yang disebut Kh1l4f4h. Sedangkan Kh1l4f4h tidak mungkin ada di dalam sistem demokrasi kapitalis seperti saat ini. Maka, sudah saatnya kita sebagai umat muslim untuk berjuang demi kembalinya Kh1l4f4h ‘ala minhajin nubuwah.

Wallahu a’lam bishowab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi