Oleh Shintami Wahyuningsih
Tak terasa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 akan segera dilaksanakan, yaitu untuk memilih Gubernur, Walikota, Bupati beserta para wakilnya. Pemilihan ini dilaksanakan secara serentak di sejumlah daerah yang ada di Indonesia. Termasuk di antaranya Sumatera Selatan (Sumsel. Propinsi Sumsel juga tengah melakukan berbagai persiapan dalam Pilkada 2024 ini.
Sejumlah bakal calon (balon) kepala daerah telah mendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi. Balon kepala daerah Kabupaten dan Kota di Sumsel sebanyak 46 orang. Mereka dinyatakan telah memenuhi syarat awal kelengkapan berkas.
Dari 46 calon tersebut, tercatat sebanyak 18 srikandi atau perempuan Sumsel telah ambil bagian pada kontestasi Pilkada tahun 2024 ini, jumlah tersebut mencapai 16,19% dari total kontestan baik calon Gubernur atau wakil Gubernur, Bupati atau wakil Bupati maupun calon Walikota atau Wakil Walikota yang telah mendaftar ke KPU (Sumsel.antaranews.com, 31/8).
Disebutkan juga bahwa dari pendaftaran peserta Pilkada serentak 2024 ke KPU Sumsel dan KPU Kabupaten atau Kota, tercatat sebanyak tiga pasangan mendaftar sebagai calon Gubernur (Pilgub) Sumsel dan 44 pasangan untuk pemilihan kepala daerah kabupaten dan kota. Sedangkan dua srikandi mendaftar di Pilkada Sumsel sebagai calon Wakil gubernur yakni RA Anita Noeringhari dan Riezky Amalia.
Sementara itu, ada tujuh srikandi Sumsel yang mendaftar menjadi calon kepala daerah atau Bupati atau Walikota di antaranya Lidyawati di Kabuapten Lahat, Lucyanti di Musi Banyuasin, Febrianti Agustinda di Kota Palembang, Heppy Sapriani di Kota Pagar Alam, Ngesti Rahayu di Kota Prabumulih.
Keterlibatan perempuan dalam kontestasi politik tahun ini bertambah banyak dari sebelumnya. Ada apa di balik semua ini? Bukankah secara fitrahnya seorang perempuan dipimipin bukan memimpin?
Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa dalam sistem demokrasi sekuler dan liberal yang diterapkan di negeri ini, akan banyak bermunculan aktivitas-aktivitas perempuan di ranah perpolitikan dan salah satunya menjadi kontestan dalam pemilihan penguasa. Sebagaimana di legislasi didorong hingga 30% perempuan, belum di eksekutif, dan fakta ini sudah berhasil diterapkan di pulau Jawa.
Hal ini menunjukkan bahwa, ide feminisme yang diusung Barat yaitu dengan melibatkan perempuan dalam kontestasi politik dan dipaksakan untuk diterapkan di negeri yang mayoritas muslim ini semakin kental bercokol di tengah-tengah masyarakat.
Tanpa disadari, umat telah kehilangan fungsi seorang lelaki sebagai qawwam (pemimpin). Padahal, Islam dengan tegas memposisikan laki-laki sebagai qowam yaitu pemimpin. Sebagaimana firman Allah Swt. yang artinya:
“Laki-laki (suami) itu pemimpin (qowwam) bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (suami) telah memberikan nafkah dan hartanya.” (QS An-Nisa [4]: 34)
Tidak sampai di situ Allah Swt. juga melaknat kepada suatu negeri yang dipimpin oleh seorang perempuan. Sebagaimana sabda Rasullulah Saw, yang artinya:
“Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita”.
Merujuk pada hadis ini, mayoritas ulama klasik seperti Imam Syafi’i, Imam Maliki, dan Imam Ahmad, berpendapat bahwa perempuan tidak berhak menjadi pemimpin atau hakim.
Memang, dalam sistem Islam perempuan tidak diperkenankan menduduki posisi sebagai pemimpin. Islam juga memiliki mekanisme tersendiri dalam memilih dan mengangkat seorang pemimpin daerah, yaitu dengan penunjukan oleh kepala negara yaitu, dilakukan oleh Khalifah.
Ini sekaligus membantah penerapan sistem demokrasi yang melakukan pemilihan pemimpin daerah secara langsung, yang akan mengakibatkan loyalitas rakyat tidak lagi kepada kepala negara. Terlebih lagi saat mereka terpilih dan menjabat, mereka menerapkan hukum yang bukan berasal dari Allah Swt. melainkan hukum kufur. Sehingga jelaslah keharamannya.
Oleh karena itu, selain kita harus mencampakkpp0an sistem hari ini juga, sudah saatnya memposisikan perempuan pada fitrahnya. Menjadi sosok ibu tangguh yang mendampingi tumbuh kembang buah hatinya. Kalaupun ingin mengaplikasikan ilmunya, dipastikan tidak bertentangan dengan fitrah keibuannya. Misalnya, ia boleh bekerja menjadi guru, perawat, dan lainnya, asal bukan sebagai pengambil kebijakan seperti menjadi kepala daerah.
Hanya dengan mengambil kembali sistem Islam
sebagai pedoman, perempuan terselamatkan dari arus hegemoni sekularisme dan liberalisasi. Tiga belas abad lebih, sistem Islam melalui institusinya (Khilafah) telah membuktikan.
Wallahu a’lam bis ash-shawab.