Kesetaraan Gender Menjauhkan Perempuan dari Fitrahnya


Oleh. Yulweri Vovi Safitria

Dikutip dari Wikipedia, kesetaraan gender merupakan sebuah pandangan bahwa semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, tidak mengalami perlakuan diskriminatif berdasarkan gendernya. Dengan tujuan agar setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, memperoleh perlakuan yang sama dan adil di dalam masyarakat, baik dalam bidang politik, di tempat kerja, maupun bidang lainnya yang terkait dengan kebijakan.

Sekilas keseteraan gender tampak menarik, khususnya bagi para perempuan, karena mereka bisa mengeksplor diri, berkreativitas, berkarir, atau melakukan apa saja, yang bisa setara dengan kaum laki-laki, bahkan menjadi seorang pemimpin. Jika kita lihat saat ini, memang banyak persoalan yang menimpa kaum perempuan, namun persoalan tersebut juga menimpa manusia pada umumnya, bukan hanya perempuan saja. Sebagian orang mungkin ada yang berpendapat bahwa banyak kebijakan yang ada tidak pro terhadap perempuan, namun kita perlu pula menyadari bahwa di antara banyak kebijakan tersebut diduga pula menjadi sebab perempuan mengalami penderitaan.

Jika dicermati, ketimpangan ataupun penderitaan terhadap perempuan sejatinya karena aturan hidup manusia bukan lagi bersuber dari Al-Khalik, atau Sang Pencipta. Melainkan aturan yang dibuat sendiri berdasarkan keinginan dan kemauan manusia itu sendiri. Ibaratkan sebuah produk mesin cuci, maka aturan penggunaan mesinnya agar awet dan tidak rusak, tentunya berdasarkan petunjuk dari pembuat mesin cuci tersebut.

Begitu pula dengan manusia, apa yang terbaik untuk manusia, tentu saja lebih diketahui oleh Allah Azza wa Jalla, sebab Dia Maha Tahu segalanya. Jauh sebelum manusia diciptakan, Allah telah lebih dulu menetapkan seperangkat aturan yang pasti akan membawa kemaslahatan bagi seluruh umat manusia tanpa terkecuali, baik muslim maupun nonmuslim. Pun, terkait problem perempuan dan kesetaraan gender yang menjadi topik perbincangan.

Islam menempatkan laki-laki dan perempuan pada fitrahnya masing-masing. Seorang laki-laki memiliki peran menjadi pemimpin terhadap perempuan. Sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nisa: 34, yang artinya:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).” (QS An-Nisa: 34)

Sebagai pemimpin atas kaum wanita, Allah menjadikan laki-laki bertanggung jawab penuh terhadap nafkah keluarga, melindungi keluarga dari kepayahan dan kesusahan. Alhasil, kesejahteraan perempuan terjaga tanpa mewajibkan mereka untuk bekerja, berkarir, ataupun menjadi pemimpin atas kaum laki-laki.

Sementara para perempuan fokus pada kodratnya sebagai ibu (ummu warabbatul bayit), sebagai pendidik untuk anak-anaknya, sebagai sahabat untuk suaminya, sehingga kesetaraan sesungguhnya akan tercipta. Sebab laki-laki dan perempuan berjalan di atas fitrahnya masing-masing.

Meskipun perempuan tidak dibolehkan menjadi pemimpin, ataupun menjadi wanita karir sebagaimana mindset yang dibangun perempuan hari ini, namun Islam tetap membolehkan perempuan berkiprah secara nyata sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Yaitu dengan tidak tabarruj atau dandan berlebihan, tidak ikhtilat atau bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahramnya.

Dengan demikian, kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki bukan berarti menyamaratakan peran antara keduanya agar tercipta keadilan bagi perempuan. Akan tetapi, mengembalikan peran masing-masing sesuai dengan fitrah yang telah Allah anugerahkan kepada laki-laki maupun perempuan.

Oleh sebab itu, sudah sepatutnya kita paham bahwa, aturan dari Allah-lah yang akan memberikan keadilan dan perlakuan yang adil terhadap perempuan. Sebab Allah Subhanahu wa Taala yang menciptakan manusia, maka tentu Allah yang lebih tahu apa yang manusia butuhkan. Karena pengetahuan manusia itu terbatas. Sedangkan Ilmu Allah Azza wa Jalla tanpa batas.

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).

Wallahu a’lam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi