Keran Impor Merajalela, Ulah Sistem yang Menggila dan Tanggung Jawab Siapa?

Oleh. Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Ummat)

Impor lagi, impor lagi, padahal negeri ini terkenal dengan julukan gemah ripah loh djinawi. Entah apa yang terbersit dalam benak pemangku kebijakan. Kenapa keran impor dibuka sementara lahan pertanian yang ada siap dikelola dengan optimal.

Tak dimungkiri, kondisi saat ini amatlah terimpit. Di mana harga kebutuhan bahan-bahan pokok merangkak naik sejak sebelum Ramadan dan mungkin hingga menjelang Hari Raya Idulfitri. Namun, rakyat Indonesia dihujani gula dan beras impor. Sebagaimana dilansir dari detikFinance (25/3/2023), Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) menugaskan kepada BUMN Pangan dalam hal ini ID FOOD dan PTPN Holding untuk mengimpor gula konsumsi. Secara total impor gula untuk tahun ini 215.000 ton. Sebanyak 99.000 ton akan didatangkan selama Ramadan.

Selain gula, keran impor beras juga tampaknya menggila. Bahkan, impor beras ini sepertinya dilakukan periodik. Akhir tahun lalu, impor beras dilakukan, kini ada wacana akan dilakukan kembali.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Senin 27 Maret menyatakan bahwa stok beras dalam negeri saat ini relatif ‘aman’ yaitu tahun 2023 potensi luas panen selama Januari hingga April sebanyak 4,51 juta hektare, mengalami peningkatan 2,13% dibanding periode yang sama tahun 2022. Apa yang disampaikan Mentan ini mengundang pertanyaan dari salah seorang anggota DPR, Sutrisno yang merasa heran karena beredar surat tugas untuk mengimpor beras dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) kepada Perum Bulog sebanyak 2 juta ton untuk tahun 2023 ini, di mana 500 ribu ton harus didatangkan segera (CNBC Indonesia, 27/3/2023).

Keran impor kian hari kian merajalela. Apalagi impor gula, sungguh menggila. Alasan keran impor gula dibuka karena adanya kekurangan stok untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Berdasarkan Prognosa Neraca Pangan yang disusun Bapanas, stok awal gula nasional di Januari 2023 sebesar 1,1 juta ton. Adapun kebutuhan gula nasional per bulan tercatat sebesar 283 ribu ton. Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi beralasan saat hari raya kerap terjadi lonjakan permintaan dan konsumsi, sementara musim giling tebu baru akan mulai sekitar bulan Mei.

Terlebih memang gula konsumsi merupakan salah satu komoditas pangan strategis yang ketersediaannya masih harus ditunjang pasokan dari luar. Hal itu mengingat produksi dalam negeri belum bisa menutupi kebutuhan nasional. Berdasarkan Prognosa Neraca Pangan Nasional Januari-Desember 2023, diperkirakan pada tahun ini produksi gula dalam negeri sekitar 2,6 juta ton. Sementara angka kebutuhan gula nasional 2023 sekitar 3,4 juta ton (katadata, 25/3/2023).

Sungguh sayang, di wilayah subur ini, di mana tebu dan padi bisa tumbuh tiada henti, justru pemerintah tidak mampu memenuhi kebutuhan gula dan beras untuk konsumsi. Padahal, khalayak tahu bahwa beras dan gula adalah kebutuhan pokok startegis di negeri agraris ini. Ketahanan pangan yang digalakkan seakan belum menemui hasil sehingga keran impor menjadi jalan pilihan lezat yang tak bisa terhindarkan.

Impor Merajalela, Ulah Sistem yang Menggila

Sistem ekonomi kapitalisme sudah populer di kalangan masyarakat. Sistem ekonomi kapitalisme inilah yang diterapkan oleh bangsa dan dibanggakan oleh dunia. Padahal, sistem ini jelas tidak mampu mewujudkan ketahanan pangan yang dikampanyekan dan digalakkan. Hal yang sering melintasi ruang berita dan kehidupan nyata adalah, beras dan gula yang merupakan komoditas pangan strategis selalu kurang memadai ketersediaannya. Sehingga, jalan keluar andalan sistem ekonomi kapitalisme adalah impor.

Derasnya kucuran impor bahan pangan bukanlah hal yang aneh di sistem menggila ini. Sebab, pemangku kebijakan di sistem kapitalisme sudah kecanduan impor. Ketika ketersediaan kebutuhan pangan surplus sekalipun, keran impor komoditas pangan kerap dilakukan, apakah itu beras, garam, daging, sayur, singkong, gula, atau komoditas pangan lain.

Sistem ekonomi kapitalisme dengan ganas meniadakan wujud lahan yang begitu luas dan subur. Walhasil, tata kelola ketahanan pangan sangat sulit diwujudkan. Dukungan penuh kepada petani seakan dilenyapkan sehingga tak dapat dirasakan, belum lagi harga pupuk, bibit, bahan bakar terus menjulang tinggi. Hal itu semakim mendukung matinya produktivitas petani dan berhentinya kegiatan pertanian di negeri agraris ini.

Keran Impor Merajalela, Tanggung Jawab Siapa

Tak ada asap jika tak ada api. Tentu, Kebiasaan impor yang kian merajalela tak melulu karena tabiat buruk penguasa di sistem kapitalisme. Keran impor juga perlu dibuka karena adanya tuntutan kapitalisme global bagi negara mana pun yang ekonominya tersandera. Beginilah tabiat sistem kapitalisme yang menggila, keuntungan materi alias banyaknya harya menjadi tujuan dan asasnya dalam bernegara.

Kebiasaan dan ketergantungan impor kebutuhan pangan sejatinya tidak akan dapat menyelesaikan permasalahan secara fundamental. Justru rajin impor akan mempersulit upaya menciptakan ketahanan pangan dan semakin menumbuhkan sikap ketergantungan. Jika demikian, akan semakin sulit negeri ini mandiri dalam upaya ketahanan pangan. Tragisnya, produk dalam negeri akan kalah saing dengan produk impor yang sering kali harganya lebih murah dan lebih banyak ketersediaan stoknya.

Sehingga, perekonomian bangsa akan semakin tersandera dan tak akan pernah bangkit. Ketahanan pangan yang dikampanyekan pun hanya akan menjadi lips service semata. Lantas tanggung jawab siapa impor yang merajalela? Jelas, akar masalahnya adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme oleh negara. Maka, negaralah yang paling bertanggung jawab atas merajalelanya impor bahan pangan strategis.

Solusi Islam Atasi Stok Ketersediaan Pangan

Syahdan, sistem kapitalisme sudah menjerumuskan berbagai negara dalam pusaran penderitaan dan kesulitan ekonomi, salah satunya keran impor. Hal ini harusnya menjadi titik tolak bagi kaum muslim, terutama penguasa muslim untuk menanggalkan dan meninggalkan sistem ini dengan rasa jijik dan muak. Asas manfaat yang menjadikan harta sebagai sumber kebahagiaan harusnya diinsyafi karena akan membawa kehidupan bernegara pada jurang kehancuran dan kezaliman. Sebab, aturan suka-suka manusia akan terus disandarkan pada kepentingan, termasuk perkara impor.

Seharusnya, penguasa muslim mencari dan mengubah sistem di negeri ini dengan sistem yang baik, yakni sistem yang bersumber dari Zat Yang Maha Baik, syariat Islam. Sungguh, sistem kapitalisme bertolak belakang dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, impor bukanlah satu-satunya jalan keluar atas ketersediaan stok kebutuhan pangan strategis. Impor hanya akan dilakukan di saat produksi dalam negeri benar-benar tidak mampu memenuhi kebutuhan barang dan jasa tersebut. Artinya, benar-benar tidak terpenuhi barang dan jasa tersebut apabila tidak impor.

Startegi Islam dalam menyelesaikan stok ktersediaan pangan adalah menggalakkan produktivitas areal pertanian di setiap wilayah. Islam akan mendorong negara untuk memajukan industrialisasi pertanian dengan berbagai upaya, antara lain:

Pertama, Islam mengharamkan kepemilikan umum seperti padang rumput, air, dan api diprivatiasi oleh individu, sawasta, apalagi asing. Sehingga, para petani akan jauh dari campur tangan atau intervensi kelompok pemilik modal (korporasi).

Kedua, Islam mewajibkan negara memenuhi fasilitas pertanian seperti alat-alat pertanian, bibit, pupuk, pengairan, dan lainnya yang menunjang pertanian. Sehingga para petani akan mudah bertani dan biaya bertani tidak akan terlalu tinggi, bahkan bisa gratis bagi warga negara yang memang membutuhkan karena akan dibiayai sepenuhnya oleh negara.

Ketiga, negara akan menelola lahan yang dimilikanya semaksimal mungkin untuk ketersediaan kebutuhan pangan strategis. Negara akan memberdayakan warga negara yang mumpuni dan amanah untuk mengelola lahan tersebut sehingga bisa benar-benar menopang ketersediaan pangan bahkan bisa surplus. Selain itu, negara akan menyiapkan para khubaro di tiap wilayah untuk menghitung kebutuhan tiap individu rakyat sehingga dapat memprediksi jumlah produksi yang dibutuhkan.

Keempat, negara akan memperhatikan kondisi wilayahnya. Sehingga, negara akan mengatur lahan sedemikian rupa, mana lahan untuk pemukiman, pertanian, dan industri.

Kelima, negara akan mengelola kekayaan dengan tuntunan syariat Islam. Pos pemasukan dan pengeluaran haruslah tepat. Sehingga, negara memiliki kemampuan finansial untuk menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya secara universal. Artinya, negara bisa memenuhi ketersediaan stok kebutuhan pangan seluruh rakyat di semua wilayahnya.

Apabila ada wilayah yang kekurangan stok pangan karena musim paceklik, bencana alam, atau cuaca ekstrem, maka lumbung pangan baitul mal bisa segera mendistribusikannya. Jika di baitul mal sudah habis, maka negara akan mendatangkannya dari wilayah lain yang stoknya berlimpah. Apabila tetap tidak memenuhi kebutuhan tersebut, maka negara akan melakukan impor hanya bahan yang diperlukan dan kepada negara muahid (negara yang mengadakan perjanjian damai dengan negara Islam) saja.

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab pernah terjadi kekeringan di Semenanjung Arab, Makkah dan Madinah mengalami paceklik, beliau mengirim surat kepada jenderalnya di Mesir, Amr bin Ash untuk mengirimkan makanan untuk membantu warga di Hijaz yang kelaparan. Serta merta, Amru bin Ash mengirimkan kebutuhan pangan tersebut.

Seluruh aspek industri, terutama di bidang pangan, dibangun dengan paradigma kemandirian. Negara tidak akan pernah tergantung kepada pihak asing, apalagi kafir harbi fi’lan, baik dari sisi teknologi, ekonomi, maupun politik. Rasulullah saw. bersabda:

“Imam (khalifah) adalah ra’in (pemimpin) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya.” (HR Muslim dan Ahmad)

Sehingga, pemimpin dalam suatu negara memiliki fungsi sebagai pelayan rakyat atau pemelihara urusan rakyat. Para pemimpinlah yang bertanggung jawab penuh untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Maka, Islam menetapkan negaralah yang wajib menentukan arah politik pangan dan menjalankannya dalam bentuk kebijakan praktis sesuai tuntunan syariat.

Seluruh lembaga pemerintahan pun wajib menjalankan fungsi negara sebagai ra’in alias pemelihara urusan rakyat dan junnah atau perisai tanpa terkecuali. Oleh karenanya, haram bagi lembaga negara yang mengurusi kebutuhan pkkok strategis pangan (semisal Bulog) membisniskan layanan kepada rakyat. Sehingga, tidak akan terjadi pengendalian kebijakan negara oleh pihak lain, termasuk korporasi bahkan pihak asing.

Tentu saja, untuk mewujudkan cita-cita ini, butuh kepemimpinan ideologis agar seluruh pola pikir dan pola sikap masyarakat, terutama pemimpin muslim berubah. Ketika ideologi Islam diemban oleh sebuah negara, maka seluruh aspek kebijakan, termasuk politik dan industri pangan akan dilaksanakan berdasarkan asas ideologi ini. Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Beliau berdakwah ideologis hingga mampu menundukkan para petinggi negara adikuasa di zaman beliau hingga mampu mendirikan Daulah Islam atas pertolongan Allah. Saatnya, kaum muslim bangkit dengan mengembalikan kehidupan Islam dalam kehidupan bernegara.

Wallahu a’lam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi