Kekerasan Seksual Anak Kian Marak, Butuh Solusi Hakiki

Oleh. Emil Apriani, S.Kom
(Pemerhati Sosial dan Generasi)

Akhir-akhir ini banyak sekali pemberitaan terkait anak menjadi korban kekerasan seksual. Bahkan, angka kekerasan terhadap anak terutama kekerasan seksual makin hari makin meresahkan dan terus meningkat secara singnifikan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan, Indonesia saat ini darurat kekerasan seksual terhadap anak. Di mana jumlah kasus kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan yang signifikan pada 2022.

Berdasarkan catatan data Sistem Informasi Online dan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Simfoni Kementerian PPPA), jumlah kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2022 mencapai 16.106 kasus. Jumlah itu mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2019 sebanyak 6.454 kasus, tahun 2020 sebanyak 6.980 kasus, dan 2021 sebanyak 8.703 kasus. Dari sejumlah kasus tersebut, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus pada 2022. Jumlah itu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yakni 4.162 kasus (Kompas.com, 27/1/2023).

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mengungkapkan sebanyak 4.683 aduan masuk sepanjang 2022, bersumber dari pengaduan langsung, pengaduan tidak langsung (surat dan email), daring dan media massa. Pengaduan paling tinggi adalah klaster Perlindungan Khusus Anak (PKA) sebanyak 2.133 kasus. Kasus tertinggi adalah jenis kasus anak menjadi korban kejahatan seksual dengan jumlah 834 kasus (Republika.co.id, 22/1/2023).

Akar Permasalahan Kekerasan Seksual Anak

Kasus kekerasan terhadap anak ibarat fenomena gunung es, yakni yang muncul di permukaan hanya sebagian. Apalagi kekerasan seksual kerap terjadi di ranah domestic (privat) yang pelakunya datang dari orang terdekat sehingga tidak semua orang berani melapor, apalagi sampai membawa ke ranah hukum.

Hari ini, tidak ada satu tempat yang aman dari terjadinya tindak kekerasan seksual terhadap anak. Yang mengerikan, rumah bukan lagi tempat yang aman untuk anak-anak berlindung dari kejahatan seksual. Pelakunya bisa saja orang yang paling dekat dan dihormati. Orang yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi pelaku kejahatan.

Hal tersebut dipicu karena lemahnya akidah dan moral akibat dari pola asuh yang salah dalam keluarga, faktor ekonomi, lingkungan pergaulan yang buruk dan masyarakat yang cuek. Sehingga hilangnya kepeduliaan, rasa kemanusiaan dan penghormatan terhadap sesama manusia, bahkan perlindungan terhadap anak-anak di bawah umur. Belum lagi pendidikan sekolah yang tidak ideal, ditambah dengan peran media sosial yang banyak merangsang pemenuhan naluri seksual secara liar.

Tampak jelas, bahwa saat ini sudah terjadi kerusakan parah tatanan kehidupan di tengah masyarakat. Semua itu dikarenakan penerapan sistem kehidupan saat ini yang berasaskan sekularisme, menjauhkan agama dari kehidupan. Sehingga, sistem ini telah mengikis ketakwaan individu dan masyarakat.

Ancaman sanksi berat bagi pelaku berupa hukuman penjara dan denda dalam UU terkait perlindungan anak pun tidak mampu mencegah dan tidak memberikan efek jera. Aturan yang ada saat ini, yang lahir dari akal manusia yang lemah dan terbatas pun terbukti tidak mampu memberantas tuntas tindak kekerasan seksual anak secara komprehensif.

Islam Solusi Hakiki

Berbeda dengan Islam, di mana perlindungan anak akan terwujud dalam naungan Islam. Karena Islam memiliki mekanisme berlapis dalam menjaga keselamatan anak dan memberi perlindungan secara nyata pada anak. Islam tegak di atas tiga pilar, yakni ketakwaan individu, masyarakat yang kental dengan tradisi amar makruf nahi mungkar, serta penegakkan syari’at Islam secara kaffah oleh negara.

Ketakwaan individu, dibangun dengan menjadikan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, sebagai perisai yang dimulai dari keluarga. Dalam pemenuhan hak anak, dengan mengasuh dan mendidiknya dengan memberikan pendidikan terbaik berbasis akidah Islam. Penanaman akidah Islam dari sejak dini, akan membentuk akidah yang kuat dan mendorong setiap individu untuk taat kepada Allah dalam menjalankan syariat Islam serta takut melakukan kemaksiatan.

Kontrol masyarakat, berjalan dengan pembiasaan untuk saling peduli, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar makruf nahi mungkar). Dengan aktivitas ini, angka kriminalitas dan kekerasan terhadap anak bisa diminimalisir bahkan dihilangkan dengan pengawasan, kepedulian masyarakat serta sistem sanksi yang tegas.

Negara, akan mengatur dan mengawasi media massa dan online. Media massa dilarang untuk menyebarkan konten yang mengandung unsur pornografi dan akan ditindak tegas jika terjadi pelanggaran. Tujuannya adalah agar semua sarana itu tidak menjadi wahana penyebar luasan dan pembentukan opini umum yang dapat merusak pola pikir dan pola sikap generasi Islam.

Negara juga akan menerapkan aturan yang menyeluruh untuk mencegah terjadinya kekerasan dan akan memberi sanksi tegas, menghukum pelaku dengan hukuman setimpal sesuai syariat Islam. Tujuannya agar pelaku kekerasan jera dan tidak akan mengulangi kemaksiatannya lagi.

Dalam Islam, pemenuhan dan perlindungan terhadap anak adalah tanggung jawab bersama dan negara sebagai penanggung jawab utama. Solusi hakiki dari sistem yang terintegrasi ini, hanya bisa diterapkan secara ideal dalam institusi pemerintahan Islam.

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96)

Wallahu’alam bishshowab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi