Oleh. Asrofah
(Pemerhati Remaja)
Selama ini, banyak orang yang beranggapan bahwa ancaman terbesar bagi anak-anak adalah kekerasan yang dilakukan oleh orang asing atau individu yang tidak dikenal. Namun, asumsi ini ternyata jauh dari kenyataan. Berdasarkan data yang terlaporkan dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) hingga September 2024, pelaku kekerasan terhadap anak yang terlaporkan terbanyak justru adalah pacar atau teman anak itu sendiri. Orang tua, yang seharusnya menjadi pelindung pertama, menempati urutan kedua sebagai pelaku kekerasan terhadap anak. Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai kondisi sosial yang melingkupi anak-anak kita dan bagaimana mereka dapat terjebak dalam lingkaran kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat mereka.
Fenomena ini mengungkapkan sebuah realitas yang kurang mendapat perhatian, yakni bahwa kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi di luar rumah, melainkan sering kali dilakukan oleh individu yang seharusnya memberi mereka rasa aman dan kasih sayang. Pacar atau teman dekat, yang dalam kehidupan sosial anak-anak seharusnya menjadi tempat untuk berbagi dan mendukung, justru bisa menjadi pelaku kekerasan, baik fisik maupun psikologis. Ketergantungan emosional, tekanan dari hubungan yang tidak sehat, atau manipulasi yang sering terjadi dalam hubungan semacam ini seringkali membuat anak-anak merasa terperangkap, tanpa tahu kemana harus mencari bantuan.
Yang lebih mengejutkan, orang tua, yang merupakan pihak pertama yang bertanggung jawab atas perlindungan dan pendidikan anak, juga terlibat dalam kekerasan terhadap anak. Dalam banyak kasus, kekerasan ini berupa pemukulan, penganiayaan emosional, atau bahkan pengabaian terhadap kebutuhan dasar anak. Keadaan ini bisa terjadi dalam rumah tangga yang tertekan oleh berbagai faktor, seperti stres ekonomi, disfungsi keluarga, atau bahkan ketidakmampuan orang tua dalam mengelola emosi mereka sendiri. Banyak anak yang hidup dalam situasi ini merasa tak berdaya, takut, dan terisolasi, karena mereka tidak dapat mencari perlindungan di tempat yang seharusnya aman bagi mereka, yaitu di rumah.
Data yang makin meningkat mengenai kekerasan terhadap anak ini menggambarkan bahwa ini adalah masalah sistemik yang lebih besar, yang terkait dengan struktur kehidupan sosial dan sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat. Dalam sistem kehidupan yang sekuler, yang lebih fokus pada pencapaian materi dan kebebasan individual, nilai-nilai moral dan kemanusiaan sering kali terabaikan. Dalam kondisi ini, banyak orang tua yang lebih memprioritaskan pekerjaan, status sosial, atau keberhasilan ekonomi, sementara pengasuhan anak dan pembangunan karakter seringkali dikesampingkan. Pendidikan yang seharusnya memberi bekal bagi anak-anak untuk mengenal nilai-nilai kemanusiaan, kasih sayang, dan perlindungan, malah lebih banyak berfokus pada pencapaian akademis atau prestasi duniawi.
Krisis ini bukan hanya persoalan individu, tetapi juga menggambarkan kegagalan sistem sosial dalam menciptakan lingkungan yang aman dan penuh kasih bagi anak-anak. Di banyak tempat, sistem pendidikan dan sosial belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan emosional dan psikologis anak, yang justru menjadi bagian penting dalam proses tumbuh kembang mereka. Kekerasan terhadap anak, baik yang dilakukan oleh orang tua maupun teman, mencerminkan kurangnya perhatian terhadap pentingnya membangun hubungan yang sehat dan saling menghormati dalam keluarga maupun masyarakat.
Pemerintah, melalui layanan hotline SAPA 129, memang telah mencoba untuk memberikan solusi terhadap kekerasan yang terjadi dengan menyediakan jalur pengaduan bagi korban kekerasan. Namun, meskipun layanan ini sangat penting untuk memberikan pertolongan darurat, solusi semacam ini lebih bersifat teknis dan tidak menyentuh akar permasalahan yang lebih mendalam. Kekerasan terhadap anak bukan hanya masalah yang bisa diatasi dengan menyediakan layanan pengaduan atau penyelesaian kasus secara cepat. Masalah ini juga mencakuppendidikan, kesadaran sosial, serta pembentukan karakter yang harus dimulai dari rumah, sekolah, dan lingkungan sosial di sekitar anak.
Pencegahan terhadap kekerasan pada anak membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif dan sistemik. Upaya untuk mengurangi kekerasan pada anak harus melibatkan pendidikan karakter yang lebih mendalam di sekolah dan dalam keluarga. Orang tua harus diberikan pelatihan mengenai cara-cara pengasuhan yang sehat dan positif, yang menekankan pentingnya kasih sayang, penghargaan terhadap hak anak, serta pembentukan hubungan yang penuh pengertian dan komunikasi terbuka. Di sisi lain, masyarakat juga perlu didorong untuk lebih peka terhadap tanda-tanda kekerasan terhadap anak dan tidak mengabaikan kondisi sosial yang mempengaruhi perkembangan anak-anak.
Kasus kekerasan terhadap anak yang melibatkan pelaku dari kalangan terdekat, seperti pacar, teman, atau orang tua, menggambarkan bahwa masalah ini lebih dari sekadar tindakan individu yang salah. Ini adalah sebuah refleksi dari kegagalan sistem sosial yang tidak memberikan perlindungan yang cukup bagi anak-anak. Dengan demikian, penyelesaian masalah ini tidak hanya bergantung pada intervensi teknis semata, tetapi harus melibatkan perubahan yang lebih fundamental dalam sistem kehidupan kita, termasuk dalam hal pendidikan, keluarga, dan nilai-nilai sosial yang kita anut.
Jika kita ingin mencegah semakin banyaknya korban kekerasan di kalangan anak-anak, maka kita harus kembali mengedepankan pentingnya perlindungan, kasih sayang, dan pendidikan moral yang baik. Tanpa itu, upaya untuk mengurangi kekerasan hanya akan menjadi solusi sementara yang tidak mengatasi akar masalah yang sesungguhnya.