Kekerasan dan Perundungan di Dunia Anak dan Remaja: Tanggung Jawab Siapa?

Oleh. Tri Widodo bukan Joko & A. M. Pamboedi

Baru-baru ini, media sosial dan media massa di Indonesia ramai membicarakan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy (20 tahun) terhadap David Latumahina (17 tahun) dengan menyerang bagian tubuh yang vital sehingga mengakibatkan korban jatuh dalam kondisi koma. Selain menyerang bagian kepala, Mario juga menyerang bagian vital lain seperti tengkuk leher. Selain itu, Mario melakukan kekerasan terhadap David saat korban sudah tidak mampu membela diri. Sampai saat ini, selama dua minggu berlalu, David masih belum sadar dan sedang menjalani perawatan di RS Mayapada, Kuningan, Jakarta Selatan.

AGH (15), kekasih Dandy meskipun tidak terlibat dalam kekerasan yang dilakukan terhadap David, juga terseret dalam kasus ini. Banyak pihak yang menganggap bahwa AG ikut bertanggung jawab sebagai dalang dari terjadinya kekerasan tersebut. Polisi pun menetapkan AGH sebagai tersangka karena diduga berperan sebagai provokator dalam penganiayaan terhadap David. Sebagai akibatnya, AGH dianggap sebagai anak yang berhadapan dengan hukum.

Belum hilang keprihatinan masyarakat atas tindak kekerasan yang melibatkan anak dan remaja, publik kembali dikejutkan dengan peristiwa seorang siswa usia 11 tahun yang bersekolah di SD di Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi melakukan tindakan bunuh diri dengan cara gantung diri menggunakan tali tambang di rumahnya pada Senin sore (27/2/2023). Menurut pihak kepolisian, motif bunuh diri tersebut diduga karena korban mengalami depresi akibat tindakan perundungan atau bullying. Korban diduga mengalami depresi akibat sering dirundung oleh teman-teman sebayanya yang mengolok-olok keadaan korban sebagai anak yatim yang tidak memiliki ayah.

WHO menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh remaja merupakan masalah global dalam bidang kesehatan masyarakat. Kekerasan ini mencakup berbagai tindakan, mulai dari intimidasi, perkelahian fisik, serangan fisik dan seksual yang parah, hingga tindakan pembunuhan. Setiap tahun, sekitar 200.000 kasus pembunuhan melibatkan remaja berusia 10-29 tahun terjadi di seluruh dunia, yang merupakan 42% dari total jumlah pembunuhan global. Kematian akibat pembunuhan adalah penyebab kematian keempat terbanyak pada usia 10-29 tahun, dengan 84% korban adalah laki-laki. Kekerasan remaja yang tidak fatal juga dapat memberikan dampak serius, bahkan seumur hidup, pada fungsi fisik, psikologis, dan sosial seseorang.

Jumlah kasus perundungan yang terjadi di Indonesia tiap tahun juga semakin meningkat. Data dari KPAI pada tahun 2015 mengungkapkan bahwa hampir seluruh siswa di Indonesia pernah mengalami perundungan di sekolah. Walaupun terjadi penurunan dalam tingkat kekerasan pada anak pada tahun 2015, namun jumlah perilaku perundungan di sekolah yang dilakukan oleh siswa terhadap sesamanya justru meningkat. Data KPAI pada tahun 2022 menunjukkan terdapat 226 kasus kekerasan fisik, psikis, dan perundungan (Kompas.com, 24/7/2022). Jumlah tersebut cukup besar dan perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak yang terkait.

Bullying atau perundungan dan tindakan kekerasan sering kali menjadi topik yang dibicarakan dan ditampilkan di media massa, baik itu berita maupun sinetron. Hal ini dapat berdampak negatif pada masyarakat, terutama anak-anak dan remaja, karena bisa memberikan pandangan bahwa hal itu adalah hal yang umum dan tidak salah sehingga mudah untuk ditiru. Lalu banyaknya kekerasan dan perundungan di dunia anak dan remaja menjadi tanggung jawab siapa?

Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dan Perundungan di Dunia Anak dan Remaja Kerap Terjadi

Sebagian dari kita tentunya sudah tidak asing lagi dengan yang namanya perundungan. Baik menjadi pelakunya secara sadar maupun tidak ataupun justru pernah menjadi korbannya.

Ironisnya, tindakan perundungan (bullying) tersebut justru kerap terjadi dan telah menjadi tradisi dalam dunia pendidikan di Indonesia khususnya pada saat penerimaan siswa atau mahasiswa baru baik di tingkat sekolah maupun perguruan tinggi. Proses orientasi sekolah atau kampus kepada pelajar baru selalu “dibumbui” dengan tindakan kekerasan (premanisme) dengan dalih untuk menegakkan kedisiplinan, membentuk karakter dan mendekatkan hubungan antara pelajar senior dengan pelajar junior. Namun, hal yang terbentuk justru sebaliknya, hubungan antara pelajar senior dan junior sangat berjarak dan tidak harmonis. Kekerasan, permusuhan, kebencian, dan dendam menjadi tradisi dan warisan pada setiap generasi berikutnya.

Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sejak tahun 2011 sampai dengan 2014, jumlah kasus perundungan sebanyak 369 kasus. Namun, pada tahun 2015, kasus perundungan naik menjadi 478 kasus. Pada tahun 2016, jumlah kasus perundungan berkurang menjadi 328 kasus. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia kala itu, Anies Baswedan menyebutkan bahwa 84% anak-anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan, namun sebanyak 70% anak-anak di Indonesia pernah menjadi pelaku kekerasan di sekolah.

Tinggi jumlah kasus buli sudah pada tahap memprihatinkan. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan, berubah menjadi tempat yang mengerikan (school phobia), bahkan dapat membahayakan nyawa pelajar. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk mencari kawan dan sahabat berubah menjadi tempat permusuhan. Perundungan dapat merubah keadaan yang awalnya menyenangkan menjadi tidak menyenangkan bahkan dapat menjadi “mimpi buruk” bagi pelajar.

Pada kedua peristiwa perundungan tersebut, perbuatan amoral itu terjadi oleh oknum-oknum yang sama-sama sedang belajar, pelajar yang menempuh pendidikan. Yang satu masih pada tahap memulai belajar membentuk karakternya- berpredikat sebagai ‘siswa’, yang satu lainnya sudah berpredikat sebagai ‘siswa yang maha’.

Menyandang gelar mahasiswa merupakan suatu kebanggaan sekaligus tantangan. Betapa tidak, ekspektasi dan tanggung jawab yang diemban oleh mahasiswa begitu besar. Pengertian mahasiswa tidak bisa diartikan kata per kata, Mahasiswa adalah Seorang agen pembawa perubahan ( agent of change). Menjadi seorang yang dapat memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh suatu masyarakat, bahkan suatu bangsa di berbagai belahan dunia.

Ada 3 peran dan fungsi yang sangat penting bagi mahasiswa, yaitu :

Pertama, peranan moral, dunia kampus merupakan dunia di mana setiap mahasiswa dengan bebas memilih kehidupan yang mereka mau. Disinilah dituntut suatu tanggung jawab moral terhadap diri masing-masing sebagai individu untuk dapat menjalankan kehidupan yang bertanggung jawab dan sesuai dengan moral yang hidup dalam masyarakat.

Kedua, adalah peranan sosial. Selain tanggung jawab individu, mahasiswa juga memiliki peranan sosial, yaitu bahwa keberadaan dan segala perbuatannya tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri tetapi juga harus membawa manfaat bagi lingkungan sekitarnya.

Ketiga, adalah peranan intelektual. Mahasiswa sebagai orang yang disebut-sebut sebagai insan intelek haruslah dapat mewujudkan status tersebut dalam ranah kehidupan nyata. Dalam arti menyadari betul bahwa fungsi dasar mahasiswa adalah bergelut dengan ilmu pengetahuan dan memberikan perubahan yang lebih baik dengan intelektualitas yang ia miliki selama menjalani pendidikan.

Ketika berbicara tentang ospek, tentunya menjadi bertanya-tanya siapa pencetusnya terdahulu. Memang tidak ada buku yang menegaskan kapan ospek pertama kali muncul. Namun, Nur Kholis Madjid memaparkan tradisi ini (perpeloncoan) bermula dari Universitas Cambridge di Inggris.

Mahasiswa di kampus ini mayoritas berasal dari anak bangsawan Inggris yang borjuis. Karena berasal dari strata sosial yang tinggi dan terhormat, mereka terkenal liar, nakal, dan tidak mengindahkan segala bentuk peraturan. Melihat kondisi seperti ini, pihak pengelola universitas mengadakan perombakan. Setiap mahasiswa yang masuk harus melewati tahap perpeloncoan terlebih dahulu. Menurut sebagian orang, dari sinilah awal mula tradisi perpeloncoan.

Selain itu, menurut Susan Lipskins (2006:5) perpeloncoan tercatat di Amerika Serikat sejak tahun 1600-an, ketika para mahasiswa Oxford University mengunjungi Harvard dan memperkenalkan fagging (murid muda harus melayani murid yang lebih tua atau senior) serta aksi-aksi perpeloncoan lainnya.

Pada tahun 1700-an, perpeloncoan siswa telah menjadi bagian yang diterima di lingkungan Harvard. Mahasiswa tingkat kedualah yang menyebarkan kebiasaan-kebiasaan perpeloncoan dan menimpakan kepada mahasiswa tingkat pertama.

Lalu, kapankah tradisi ini masuk ke Indonesia? Menurut Rina Bachtiar dalam Kompas (2003:11) mengemukakan bahwa data yang valid memang tidak ada, tetapi tradisi ini berkembang di kampus-kampus Indonesia sekitar tahun 1950-an. Ketika itu sudah muncul berbagai protes menentang perpeloncoan yang tidak manusiawi.

Gejala ini menunjukan bahwa tidak hanya sekarang saja terdapat perpeloncoan di kampus. Menurut SK Mentri P&K No. 043/1971 yang isinya antara lain menghapus nama Mapram diganti menjadi Pekan Orientasi Studi (POS). Tepatnya setelah terjadi penyiraman soda api terhadap 19 dari 424 mahasiswa baru di ITS Surabaya. Meskipun demikian kekerasan tetap terjadi, POS diganti OS, dan terakhir sejak tahun 1990-an ada nama baru yaitu Ospek.

Kembali pada persoalan, mengapa kekerasan dan perundungan di dunia anak dan remaja masih sering terjadi? Setidaknya ada dua faktor penyebab terjadinya, yaitu faktor internal dan eksternal. Sebagai faktor internal adalah:

(a) karakteristik kepribadian individu itu sendiri,

(b) kekerasan yang dilakukan sebagai pelampiasan atau balas dendam atas pengalaman masa lalu,

(c) sikap keluarga yang memanjakan anak sehingga tidak membentuk kepribadian yang elok dan matang.

Faktor eksternal yang menyebabkan kekerasan adalah:

(a) lingkungan pergaulan,

(b) kurangnya pengajaran nilai agama sekaligus gagalnya pendidikan karakter Pancasila pada generasi muda, dan

(c) budaya (Hoover, et al., 1998).

Teori Bandura mengatakan bahwa perilaku manusia sebagian besar merupakan perilaku yang dipelajari. Demikian halnya dengan perilaku kekerasan. Teori belajar sosial yang dipelopori oleh Bandura menyatakan bahwa perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari dari pengalaman masa lalu, apakah melalui pengamatan langsung (imitasi), pengukuh positif, dan karena stimulus diskriminatif. Perilaku kekerasan sering diasosiasikan dengan teori belajar sosial. Dinyatakan bahwa mekanisme penting bagi perilaku kekerasan pada anak-anak adalah adanya proses belajar melalui pengamatan langsung. Pengamatan pada orang di sekelilingnya yang berperilaku kekerasan atau mungkin mengontrol perilaku kekerasan dan kemudian menirukannya. Secara eksternal korban kekerasan pada umumnya berasal dari keluarga yang sangat protektif (Boeree, 2006; Rigby & Slee, 1999b).

Dampak Kekerasan dan Perundungan di Dunia Anak dan Remaja

Perundungan atau istilah asingnya bullying, lebih populer dipergunakan oleh masyarakat akhir-akhir ini. Sedangkan istilah yang populer dahulu, adalah perploncoan.

Dikutip dari laman wikipedia, perpeloncoan adalah praktik ritual dan aktivitas lain yang melibatkan pelecehan, penyiksaan, atau penghinaan saat proses penyambutan seseorang ke dalam suatu kelompok. Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, aktivitas memelonco adalah menjadikan seseorang tabah dan terlatih serta mengenal dan menghayati situasi di lingkungan baru dengan penggemblengan.

Perpeloncoan telah banyak dijumpai di berbagai jenis kelompok sosial, termasuk geng, tim olahraga, sekolah, perguruan tinggi, satuan militer, dan kelompok persaudaraan. Di Amerika Serikat dan Kanada, perpeloncoan sering dikaitkan dengan organisasi Yunani. Perpeloncoan biasanya mencakup penyiksaan fisik dan psikologis. Perpeloncoan pada tingkat ekstrem melibatkan penelanjangan tubuh, pelecehan seksual, dan sadisme. Saat ini, sudah banyak negara yang melarang kegiatan perpeloncoan, termasuk di Indonesia.

Sedangkan, bullying (perundungan) sendiri dari terjemahan google, mempunyai arti intimidasi/ancam. Sementara dikutip dari laman wikipedia, perundungan (bahasa Inggris: bullying) adalah penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain. Perilaku ini dapat menjadi suatu kebiasaan dan melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan sosial atau fisik. Hal ini dapat mencakup pelecehan secara lisan atau ancaman, kekerasan fisik atau paksaan dan dapat diarahkan berulang kali terhadap korban tertentu; mungkin atas dasar ras, agama, gender, orientasi seksual, atau kemampuan.

Pemahaman mahasiswa tentang bullying cukup beragam. Wawancara mendalam kepada mahasiswa khususnya pelaku bullying dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka memahami bullying sebagai suatu tindakan yang merugikan bagi pelaku maupun korban.

Para korban mengatakan bahwa bullying adalah suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Menurut Smith et al. (2003), bullying adalah suatu aksi negatif yang secara intens bertujuan untuk mengintimidasi serta menyakiti orang lain.

Bullying juga didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan. Bullying dilakukan oleh seseorang maupun sekelompok anak muda pada orang yang lebih lemah. Jadi, bukan bullying jika kedua orang yang sama kuatnya sedang bersitegang atau berkelahi.

Sementara itu, faktor penyebab bullying itu sendiri karena perbedaan etnis, resistensi terhadap tekanan kelompok, perbedaan keadaan fisik, masuk di sekolah yang baru, orientasi seksual serta latar belakang sosial ekonomi, dll.

Terdapat tiga kategori praktek kekerasan (bullying), yaitu:

(a) bullying fisik, bentuk bullying fisik adalah jenis bullying yang kasat mata. Contoh bullying fisik antara lain: menampar, menimpuk, menjegal, menginjak kaki, meludahi, memalak, melempar dengan barang, menghukum dengan cara push up.

(b) bullying nonfisik/verbal, bentuk bullying verbal adalah jenis bullying yang juga bisa terdeteksi karena dapat tertangkap oleh indra pendengaran orang. Contoh bullying verbal antara lain: memaki, menjuluki, menghina, meneriaki, mempermalukan di hadapan umum, menuduh, menyoraki, menebar gosip, serta memfitnah.

(c) bullying mental atau psikologis, jenis bullying yang paling berbahaya adalah bullying mental atau psikologis, hal tersebut terjadi secara diam-diam dan di luar pemantauan orang. Contohnya adalah: memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan di hadapan umum, mendiamkan, mengucilkan, mempermalukan, meneror melalui pesan pendek telepon genggam atau email, memelototi, serta mencibir (Sejiwa, 2008).

Pada akhirnya, dampak bullying dapat mengakibatkan korbannya menjadi putus asa, menyendiri, tidak mau bergaul, tidak bersemangat, bahkan berhalusinasi. Meskipun ejekan, cemoohan, olok-olok mungkin terkesan sepele dan terlihat wajar, namun pada kenyataan hal itu tidak sepenuhnya benar. Hal-hal tersebut dapat menjadi senjata tak kenal ampun yang secara perlahan namun pasti dapat menghancurkan seseorang.

Aksi-aksi negatif dari perilaku bullying dapat mengancam segala aspek kehidupan para korbannya. Apalagi jika perilaku bullying mengarah pada aksi kekerasan fisik.

Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti lain menunjukkan persamaan yaitu bahwa korban bullying akan cenderung mengalami berbagai gangguan. Gangguan tersebut meliputi penyesuaian sosial yang buruk juga gangguan psikologis (Riauskina, dkk, 2005).

Berbeda halnya dengan pelaku, melalui ungkapan yang terekam menunjukkan bahwa ia merasa semakin memiliki ‘wibawa’. Demi menjaga ‘wibawa’ diantara teman-temannya, pelaku melakukan bullying. Pelaku juga mendapatkan kepuasan setelah melakukan tindakan tersebut.

Kendati demikian, setengah dari subjek penelitian yang merupakan pelaku bullying mengaku ada akibat lain yang dirasakan setelah melakukan perbuatannya, yaitu rasa malu dan minder. Ungkapan ini menunjukkan bahwa lingkungan sosial menjadikan ia merasa terhukum atas perbuatannya. Hal tersebut membuat pelaku malu atas perbuatan buruk atau negatif yang pernah dilakukannya tersebut.

Strategi Islam dalam Menghilangkan Kekerasan dan Perundungan di Kalangan Anak dan Remaja

Banyaknya kasus kekerasan dan perundungan yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa sistem pembangunan sumber daya manusia yang berbasis sekularisme telah gagal dalam menghasilkan anak dan remaja yang berkepribadian baik. Mereka hanya difokuskan pada prestasi akademik, tetapi minim penanaman nilai moral dan agama. Selain itu, masalah ini juga disebabkan oleh kegagalan sistemis yang melibatkan orang tua, masyarakat, sekolah, dan negara dalam memberantas perilaku kekerasan dan perundungan. Untuk mengatasi kasus kekerasan dan perundungan, diperlukan solusi yang holistik dan kerja sama dari semua pihak.

Tanggung jawab untuk mencegah dan mengurangi kekerasan dan perundungan di kalangan anak dan remaja harus ditanggung bersama oleh semua pihak terkait, yaitu individu termasuk keluarga dan sekolah, masyarakat dan negara. Islam berusaha untuk menjaga generasinya agar menjadi generasi cemerlang dengan memiliki ilmu dan tsaqofah islam, serta hidup di lingkungan keluarga, masyarakat, dan negara yang taat syariat.

Ada beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kekerasan dan perundungan di kalangan anak dan remaja antara lain:

Pertama, setiap orang harus berperan aktif dalam mengedukasi dan membimbing anak-anak dan remaja untuk memahami bahwa kekerasan dan perundungan adalah tindakan yang salah dan tidak dapat diterima.

Pelaku kekerasan yang masih remaja menunjukkan bahwa mereka telah kehilangan jati diri dan jauh dari nilai-nilai Islam. Mereka hidup tanpa pedoman syariat dan mengikuti ajaran yang bukan dari Islam, sehingga hanya fokus pada tujuan hidup duniawi semata. Generasi saat ini cenderung jauh dari agama karena menganut sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan.

Orang tua memegang peran penting sebagai guru pertama bagi anak-anak mereka, agar anak-anak tidak terpengaruh oleh kekerasan dan perundungan. Mengajarkan agama dan penanaman nilai-nilai agama sejak usia dini sangat penting dalam membentuk karakter generasi yang baik. Namun, kenyataannya di tengah masyarakat sekuler banyak orang tua yang lupa akan peran penting mereka dalam mendidik anak-anak mereka.

Sistem kapitalisme dengan prinsip-prinsip sekuler telah menghapuskan peran agama dari kehidupan, terutama dalam dunia pendidikan. Agama hanya dipelajari sebagai hafalan tanpa mampu membentuk kepribadian Islam pada anak-anak. Oleh karena itu, ketakwaan hilang dari diri anak-anak, sehingga mereka tidak lagi memperhatikan kehalalan dalam melakukan segala aktivitas. Mereka akan melakukan apa pun yang disukai, bahkan jika bertentangan dengan ajaran Islam.

Kedua, pentingnya peran masyarakat dalam menjaga perilaku anak dan remaja yang baik

Lingkungan sekitar juga mempengaruhi perilaku anak dan remaja, sehingga diperlukan tindakan pengawasan dan pencegahan perilaku buruk dalam masyarakat. Saling menasihati dalam kebaikan perlu diterapkan. Namun, di dalam masyarakat yang sekuler ini, semakin banyak orang yang bersifat individualis dan tidak peduli terhadap sesama. Karena kurangnya pencegahan dan pengawasan dari masyarakat, hal ini ikut membentuk karakter generasi yang rusak.

Semua pihak harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak-anak dan remaja, serta memberikan perhatian dan dukungan bagi korban kekerasan dan perundungan. Masyarakat mempunyai peran penting dalam membentuk generasi muda yang baik. Mereka memiliki tanggung jawab untuk memberikan kontrol sosial, seperti menasihati yang benar dan mencegah hal-hal yang buruk, dalam rangka membentuk tatanan masyarakat yang baik.

Ketiga, adanya sistem yang jelas dan efektif dalam menangani kasus-kasus kekerasan dan perundungan.

Implementasi hukum-hukum Islam membawa manfaat keselamatan hidup di dunia dan akhirat, karena islam merupakan agama rahmatan lil alamin. Implementasi hukum Islam tentu disertai tindakan preventif dan restoratif oleh negara.

Negara akan mengembangkan suatu sistem pendidikan yang menggunakan akidah Islam sebagai landasan dalam membentuk karakter anak-anak. Selain itu, negara juga akan menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai dan mempersiapkan guru-guru yang kompeten di bidangnya serta berakhlak mulia sehingga dapat menjadi panutan bagi siswa-siswa.

Negara juga akan melakukan pengawasan, pengontrolan, dan implementasi berbagai peraturan bagi media yang beredar di masyarakat, termasuk media cetak, elektronik, dan media sosial. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa media tersebut tidak melanggar aturan dan menutup situs-situs yang berpotensi merusak generasi, seperti situs porno, situs kekerasan, game online, dan lain-lain. Negara juga akan memberikan sanksi yang tegas untuk memastikan efek jera bagi siapa saja yang melanggar aturan tersebut.

Dengan demikian, Islam memiliki upaya dalam menjaga generasi, terutama melalui kesadaran akan fenomena kekerasan dan perundungan di kalangan anak dan remaja. Hal ini seharusnya mempertegas kegagalan sistem kapitalisme dalam membangun sumber daya manusia. Oleh karena itu, kita perlu meninggalkan sistem yang gagal ini dan beralih ke sistem Islam yang sempurna untuk menghasilkan generasi muda yang cemerlang

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi