Kekerasan dalan Rumah Tangga karena Kesetaraan Gender?


Oleh: Titin Kartini

Heboh seorang suami membunuh putri kandungnya sendiri dan menganiaya sang istri. Baru saja lepas dari berita viral seorang artis yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kita dihebohkan kembali dengan peristiwa serupa yang lebih sadis karena berujung kematian sang anak menjadi korban pertengkaran kedua orang tuanya.

Peristiwa tragis ini tepatnya terjadi di kota Depok , Jawa Barat. Hal ini mengundang Komnas Perempuan berbicara melalui anggotanya yang bernama Rainy Hutabarat. Dalam pandangannya Komnas Perempuan mengatakan bahwa ini kekerasan berbasis gender yang ekstrim karena menyebabkan kematian anak . Dan ini merupakan puncak dari kekerasan dalam rumah tangga.

Lebih lanjut Komnas Perempuan mengatakan pelaku harus dihukum berat dengan dua (2) pemberatan karena;

Pertama, mengandung aspek anak. Dimana diatur dalam UU perlindungan anak yakni seorang anak berhak atas perlindungan dari orang tuanya dan berhak bebas dari penyiksaan.

Kedua, berbasis gender. Pelaku juga melakukan kekerasan fisik artinya bentuk kekerasan fisik yang sadis terhadap istrinya.

Komnas Perempuan menegaskan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak boleh dibiarkan terjadi berulang dan berakibat pada penyiksaan yang mengancam nyawa bahkan kematian. Komnas Perempuan juga menekankan pentingnya memulihkan kondisi fisik dan psikis korban agar dapat kembali hidup normal (Republika.co.id
6/10/2022).

Kekerasan dalam rumah tangga seakan tak ada habisnya, tak ada penyelesaian secara tuntas.Namun rasanya tidak tepat jika hal ini terjadi karena kesetaraan gender. Padahal pada kenyataannya ada pula kekerasan dengan korban yang sama gendernya.

Tuduhan ini tidak terbukti, asal bunyi saja tanpa penelusuran yang hakiki. Dalam sistem demokrasi kapitalisme penyelesaian setiap masalah tidak pernah tuntas karena asas dasar perbuatan dalam sistem ini hanyalah manfaat.

Sang qowwam (kepala rumah tangga) seharusnya merupakan sosok yang melindungi, namun berubah menjadi singa yang siap menerkam kapan saja.

Menuduh adanya kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri dan anak sebagai kekerasan gender ekstrem adalah salah arah. Faktanya banyak juga terjadi kekerasan dengan korban yang sama gendernya, bahkan mengalami nasib yang lebih mengenaskan.

Sejatinya, tuduhan ini telah mengaburkan penyebab kekerasan rumah tangga yang sebenarnya, tentunya termasuk secara sistemik menjadi salah satu penyebabnya. Para penggiat kesetaraan gender selalu berupaya untuk menipu umat agar mendukung kesetaraan gender sebagai solusi atas persoalan perempuan dan anak. Padahal kenyataannya kesetaraan gender hanyalah ilusi belaka.

Padahal, yang dibutuhkan untuk kasus ini adalah mengubah sistem demokrasi kapitalisme yang telah nyata merusak tatanan kehidupan. Sistem cacat buatan manusia ini telah menghancurkan hakikat hidup yang sebenarnya, semua berbuat karena logika manusia saja dimana salah dan benar menurut hawa nafsu manusia yang lemah dan terbatas.

Islam telah mengatur hak dan kewajiban peran masing-masing sesuai fitrahnya. Suami dan istri juga anak ada aturannya dalam sistem Islam. Semua diatur dengan indah dalam kitab panduan hidup yaitu, Al Qur’an dan Sunnah.

Para feminis lebih suka berkiblat pada pernyataan-pernyataan kosong para filsuf, mereka mengingkari apa yang telah tercantum dalam Al Qur’an dan Sunah. Mereka menginginkan wanita muslimah bergaya hidup bebas layaknya kehidupan wanita Barat.

Dalam Islam, wanita mempunyai kedudukan yang istimewa Rasulullah Saw. bersabda

“Dunia itu perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim).

“Siapa saja yang telah dikaruniai Allah wanita salihah, berarti Dia telah menolongnya dalam satu bagian agamanya. Oleh karena itu, hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam sebagian yang kedua.” (HR. al-Hakim).

Begitu istimewanya wanita dalam Islam, diibaratkan sebagai perhiasan dan jika memiliki wanita salihah maka, telah menolong sebagian agamanya.

Hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam Islam sudah jelas. Istri atau ibu sebagai madrasah pertama yang akan mendidik anak-anak, mengurus semua urusan rumah tangga, seorang manajemen ulung yang akan mencetak generasi peradaban selanjutnya.

Istri menghormati dan menghargai suaminya, mentaati setiap perintahnya selama tidak bertentangan dengan hukum syara. Menjaga kehormatan diri dan keluarganya. Sedangkan suami bertugas untuk mengayomi, membimbing keluarganya, mencari nafkah, menjadi imam bagi istri dan anak-anaknya.

Pernikahan dalam Islam adalah ibadah terpanjang yang akan dilalui dua insan berbeda jenis, akan ada manis dan pahit di dalam mengarungi samudera kehidupan bernama Rumah Tangga.

Kehidupan suami istri dalam Islam bagaikan dua orang sahabat yang saling mengisi, menyayangi, memberi dan menerima sesuai hak dan kewajibannya. Istri mentaati suaminya, memberinya makan, memberi kenyamanan bagi kehidupannya, bukanlah suatu penindasan melainkan suatu kehormatan. Karena dengan seperti itu ia mendapatkan rida dan pahala dari penciptanya.

Begitupun dengan suami, memenuhi semua kewajibannya dengan memberi nafkah untuk keluarga, bermusyawarah dengan istri dalam berbagai urusan, dan memperhatikan kesejahteraan fisik dan emosi istrinya.

Rasulullah Saw. bersabda “Demi zat yang jiwaku ada ditangan-Nya, seorang wanita dipandang belum menunaikan hak Tuhannya sebelum ia menunaikan hak suaminya.” (HR. Ibnu Hibban).

Dan ini tidak didapatkan dalam sistem rusak kapitalisme saat ini, faktor ekonomi masih menjadi salah satu akar penyebab kekerasan dalam rumah tangga. Dunia terbalik, dimana si istri banting tulang mencari nafkah sedangkan si suami tidak bekerja, entah karena malas atau sulitnya mencari pekerjaan.

Ekonomi inilah yang menjadikan wanita berontak. Karena fisiknya yang teramat lelah hingga berfikir untuk mengakhiri pernikahannya. Ada pula faktor suami yang kurang bersyukur, ketika ia punya segalanya ia bisa semena-mena terhadap istrinya.

Pemahaman sekular telah merasuki kehidupan rumah tangga, bukan lagi menggapai rida-Nya tetapi mengejar kesenangan dunia saja dan ketika mereka kecewa jalan satu-satunya adalah menyakiti salah satu pasangannya dan yang pasti anak menjadi korbannya.

Saatnya kita bangkit, cukup sudah sistem ini memporak porandakan dan menghancurkan institusi terkecil kehidupan yaitu keluarga, tempat cikal bakal lahir dan tumbuhnya generasi bangsa calon pemimpin peradaban manusia.

Dengan sistem Islam, negara akan menanamkan aqidah yang kuat, sehingga setiap warganya hidup berjalan sesuai aturan aqidah. Ketakwaan individu akan terjaga dengan peran negara yang mengayomi dan memberikan edukasi.

Kesejahteraan masyarakat menjadi hal utama yang harus diperhatikan dan diutamakan, serta selalu mengajak masyarakat pada ketaatan untuk sama-sama meraih rida-Nya.

Hanya dengan sistem Islam semua akan terwujud. Sudah saatnya, menyelamatkan keluarga muslim dengan syariat yang tegak dalam sistem negaranya yakni, Daulah Khilafah. Wallahu a’lam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi