Oleh. Dzakiyah Kadziyah Al Khansa Wahdah, S.Pd., Gr.
(Guru dan Pemerhati Remaja)
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan alam melimpah. Baik kekayaan laut dan isinya, kesuburan tanahnya, dan gunung-gunung yang di dalamnya memiliki kandungan emas, nikel, dan lainnnya. Termasuk melimpahnya kandungan minyak di berbagai wilayah. Tak hanya di darat, tetapi juga ada yang dari air maupun udara.
Namun, di balik megahnya sumber daya alam yang bernilai 1778 triliun itu, belum juga mampu menyejahterakan rakyat. Kemiskinan merajalela dan setiap tahunnya angka kemiskinan semakin meningkat dari 200 ribu jiwa menjadi 26,36 juta jiwa pada akhir tahun 2022.
Dinas Sosial Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (Sultra) mencatat jumlah masyarakat yang masuk dalam kategori kemiskinan ekstrem sekitar 11.802 Kepala Keluarga (KK). Kemiskinan esktrim ini rata-rata perkapita pendapatannya di bawah Rp350.000. Pendapatannya sangat kecil sehingga tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya, membiayai kesehatannya, dan sulit melaksanakan fungsi sosial lainnya (rri.go.id, 30/1/2023).
Mandulnya Pengelolaan Sumberdaya
Peristiwa ini mengambarkan kegagalan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam. Padahal, jika sumber daya yang melimpah dikelola dengan baik dan hasilnya digunakan untuk menyejahterakan rakyat atau membuka lapangan pekerjaan ditambang-tambang minyak bumi dan lainnya, pasti akan menekan angka pengangguran.
Hasil tambang di Indonesia sangatlah beragam, mulai dari minyak dan gas bumi, batubara, pasir besi, timah, nikel, bauksit, tembaga, emas, perak, hingga mangan. Semua ini tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Jika semua tambang itu dikelola oleh negara, niscaya negara kita akan menjadi adi daya dengan angka kemiskinan paling sedikit. Pada tahun 2021, Indonesia mampu memproduksi 608,66 juta ton batubara, 26,67 ton emas dan 34.048,07 ton timah.
Penghasilan emas contohnya (ARCI) mencatat pendapatan pada kuartal I tahun 2022 sebesar USD80,1 juta atau setara Rp1,16 triliun (kurs Rp14.526,00). Bayangkan, itu baru emas dengan kuartal I, bagaimana dengan hasil tambang lainnya dan akumulasi keuntungan satu tahun? Sayangnya, semua keuntungan hasil tambang itu tidak sepenuhnya milik negara, tetapi dikelola oleh swasta. Negara hanya mendapat 1% saja dari perusahaan swasta.
Negara terlihat abai dengan kepentingan masyarakat. Rencana untuk menuntaskan kemiskinan tahun 2024 dinilai sulit atau mustahil. Padahal, jika negara mau serius menuntaskan kemiskinan itu tidaklah sulit. Dalam kehidupan negara kapitalisme, hal yang menjadi fokus bukanlah kesejahteraan rakyat, tapi memperoleh manfaat materi sebanyak-banyaknya, tidak pandang halal atau haram. Demi keuntungan pribadi dan golongan, pemerintah justru membuka lebar-lebar pintu untuk para investor dan melepas dengan mudah tambang-tambang negara agar dikelolah oleh sektor swasta.
Di lain sisi, korupsi yang terjadi di sektor SDA juga masih marak terjadi di sejumlah daerah. ICW bersama Koalisi Anti Mafia Hutan melakukan investigasi terhadap 5 kasus korupsi di SDA pada 3 provinsi yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan. Korupsi pada sektor sumber daya alam tesebut yang terbagi atas ; Dugaan Korupsi PTPN VII (cinta manis) di Sumatera Selatan; Dugaan korupsi Pemberian IUPHHK -HTI di kawasan Hutan Rawa Gambut Merang– Kepayang, Dugaan gratifikasi proses penerbitan izin usaha pertambangan di Kota Samarinda; Dugaan korupsi Alih Fungsi Kawasan Hutan Lindung menjadi Perkebunan Sawit Di Kabupaten Kapuas Hulu; dan Dugaan korupsi penerbitan izin IUPHHK-HTI PT di Kalimantan Barat.
Dari lima kasus tersebut, sekurangnya terjadi potensi kerugian negara mencapai Rp1.92 Triliun. Dari 5 kasus tersebut, ditemukan 1 kasus bermodus dugaan suap dengan besaran 4 miliar dan tercatat 16 aktor yang terindikasi terlibat dengan latar belakang sebagai berikut: Menteri/mantan menteri (3 orang), Kepala Daerah/mantan Kepala daerah (5 orang), pejabat kementrian (1 orang), pejabat dilingkungan Pemerintah Daerah (1 orang) dan direktur perusahaan (6 orang).
Tidak akan ditemukan kesejahteraan jika masih hidup dalam ideologi kapitalisme dengan akidah sekularisme. Sekularisme inilah yang memisahkan agama dari kehidupan hingga terjadilah korupsi di semua lini kehidupan.
Islam Solusi Paripurna
Islam hadir tentu tidak hanya sebagai agama ritual dan moral belaka. Islam juga merupakan sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan, termasuk dalam pengelolaan kekayaan alam.
Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing.
Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw., “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api.” (HR Ibnu Majah)
Kemudian, Rasul saw. juga bersabda, “Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api.” (HR Ibnu Majah)
Jadi, menurut aturan Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar, baik garam maupun selain garam seperti batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas dan sebagainya, semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum sebagaimana tercakup dalam pengertian hadis di atas.
Sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya, setiap muslim, termasuk para penguasanya, wajib terikat dengan seluruh aturan syariah Islam. Karena itu, semua perkara dan persoalan kehidupan, termasuk masalah pengelolaan sumberdaya alam, harus dikembalikan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Terbukti, di tengah berlimpahnya sumber daya alam kita, mayoritas rakyat negeri ini miskin. Pasalnya, sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama pihak asing, bukan oleh rakyat kebanyakan.
Wallâhu a’lam bish-shawâb wa shallallâhu ‘alâ nabiyyinâ Muhammad.