Kejahatan Anak Makin Marak, Dampak dari Sistem yang Rusak

Oleh. Rindang Ayu

Sungguh memprihatinkan, itulah kesan yang menggambarkan keadaan anak-anak zaman sekarang. Di tengah semakin baiknya kemajuan teknologi dan informasi, kondisi mereka ternyata tidaklah baik-baik saja. Adik-adik, murid-murid, atau bisa jadi anak-anak kita sendiri saat ini berada di tengah ancaman tindak kejahatan dan kriminalitas. Yang menyedihkan, mereka bukan lagi ‘hanya’ sebagai korban, tapi mereka juga terancam sebagai pelakunya. Jenis kasus kejahatannya pun makin sadis, seiring dengan jumlah kasusnya yang meningkat drastis.

Di sepanjang tahun 2022 lalu saja,  tercatat oleh KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) ada 54 anak yang berhadapan dengan hukum dikarenakan berbagai kasus kejahatan dan kriminalitas yang mereka lakukan (Republika, 28/2/2023). Ibarat fenomena gunung es, kasus kejahatan oleh anak yang tidak tercatat, tentunya jauh lebih besar dikarenakan anggapan masyarakat bahwa anak-anak dibawah umur adalah bagian dari masyarakat yang kebal hukum.

Demikian juga dengan jenis kasusnya yang makin brutal dan sadis. Mulai dari perundungan (bullying) antar teman sebaya, hingga pembunuhan anak pada keluarga atau orangtua nya sendiri. Korbannya tidak hanya terluka, bahkan tidak jarang yang sampai meninggal dunia.
Berita viral terbaru adalah tewasnya bocah laki-laki kelas dua SD di Sukabumi yang diduga akibat dikeroyok kakak kelasnya (Tribun Tangerang, 21/05/2023).

Fakta ini menambah daftar panjang kasus kejahatan yang dilakukan anak-anak. Tentu saja, berulangnya kasus kejahatan anak dari hari ke hari ini mengundang tanya, mengapa sangat sulit dibendung? Jika kepribadian anak-anak generasi muda ini sedemikian buruknya, bagaimana nasib bangsa ini ke depannya?

Ada banyak faktor penyebab terjadinya kekerasan oleh anak-anak. Menurut Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Cabang Sumenep Kiai Zamzami Sabiq Hamid mengatakan, perilaku kekerasan atau agresivitas yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja disebabkan oleh kondisi yang kompleks.

“Di samping lemahnya kontrol sosial yang menjadi faktor lingkungan, konten negatif di internet menjadi faktor pemicunya. Dari hal tersebut menjadikan diri pelaku terpengaruh. Hal ini akhirnya menghilangkan nilai kemanusiaan pada diri seseorang,” ( NU Online, Jumat (13-1-2023).

Kontrol sosial dan lingkungan yang lemah ini bisa disebabkan oleh faktor kurikulum pendidikan, pola asuh dalam keluarga, dan kebiasaan masyarakat. Ditambah lagi tontonan yang sering dikonsumsi anak-anak dari berbagai media.

Kurikulum pendidikan saat ini hanya berorientasi pada pencapaian akademik. Nilai-nilai agama yang seharusnya ditanamkan, justru tidak diutamakan. Begitu juga di dalam keluarga. Sebagian orang tua tidak mau mendidik anak-anaknya dengan standar agama. Sehingga anak tumbuh dengan jiwa antisosial, pemarah, tidak mau kalah dan miskin empati. Negara juga tak berkutik dengan lingkungan sosial remaja yang makin hedonis. Tontonan yang berpotensi menjadi inspirasi  kekerasan sangat mudah diakses dan tersebar luas tanpa ada pengawasan dari negara. Kehidupan yang tidak sehat inilah yang menyebabkan kasus kejahatan di kalangan anak-anak makin marak dan makin sadis.

Berbagai faktor penyebab kejahatan oleh anak-anak tersebut tidaklah muncul begitu saja. Sistem kehidupan masyarakat saat ini yang berasaskan pemisahan agama dari kehidupan atau sistem sekularisme adalah akar masalahnya. Asas ini melahirkan paham liberalisme yang mengagung-agungkan kebebasan, baik kebebasan berakidah, berpendapat, berkepemilikan dan bertingkah laku hingga aturan-aturan agama pun makin dipinggirkan. Tidaklah heran jika dari sistem yang rusak ini melahirkan generasi-generasi yang juga rusak. Generasi yang menghalalkan segala cara, termasuk cara kekerasan, untuk mencapai sebuah tujuan dengan alasan prinsip kebebasan.

Berbeda dengan sistem sekuler kapitalisme, sistem Islam menjadikan akidah Islam sebagai asas, wahyu Allah sebagai pijakannya, serta memiliki aturan yang sangat rinci dan sempurna.

Islam mengatur bahwa upaya pencegahan terjadinya tindak kejahatan oleh anak-anak hanya terwujud oleh 3 (tiga) pilar, yaitu; ketakwaan individu dan keluarga, kontrol masyarakat, dan jaminan oleh negara.

Ketakwaan individu dan keluarga akan senantiasa mendorong pelakunya untuk senantiasa terikat pada aturan Islam secara keseluruhan. Aturan inilah yang akan membentengi individu umat dari melakukan kemaksiatan maupun kejahatan. Ketaqwaan individu dan keluarga ini kemudian akan dikuatkan oleh kontrol di masyarakat berupa kebiasaan beramar ma’ruf nahi munkar dan menjauhi segala bentuk kemungkaran yang dapat memicu terjadinya tindak kejahatan.

Kedua pilar tersebut akan lebih sempurna lagi fungsinya jika ada kekuatan sebuah negara yang menjamin diterapkannya aturan Islam secara keseluruhan. Karena negaralah yang berkuasa menentukan sistem pendidikan, sistem hukum, sistem ekonomi, dan sistem politik yang saling berkaitan erat dalam upaya mencegah rusaknya generasi.

Pemerintahan Islam atau Kh1l4f4h wajib menyelenggarakan sistem pendidikan Islam dengan kurikulum yang mampu menghasilkan anak didik yang memiliki kepribadian Islam yang andal sehingga terhindar dari berbagai perilaku maksiat. Negara pun menjamin terpenuhi pendidikan yang memadai bagi rakyatnya dengan pendidikan berkualitas dan cuma-cuma. Dengan sistem politik-ekonominya, negara yang menerapkan Islam kaffah akan menjamin setiap warganya agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu sandang, papan dan pangan.

Dengan terpenuhinya kebutuhan hidup rakyatnya, maka akan terhindar dari berbagai tindak kejahatan.
Selain itu, negara akan menjaga agama dan moral, serta menghilangkan setiap hal yang dapat merusak dan melemahkan akidah dan kepribadian kaum muslimin, seperti peredaran minuman keras, narkoba, pornografi, termasuk berbagai tayangan yang merusak, seperti yang ada di media sosial . Ini karena dalam Islam, negaralah satu-satunya institusi yang dapat menjamin perlindungan anak dan yang mampu mengatasi persoalan kejahatan anak ini secara sempurna.

Demikianlah, sudah seharusnya negara dan masyarakat ini belajar, terus berulangnya kasus serupa membuktikan bahwa sistem kehidupan yang saat ini diterapkan, yakni sekuler kapitalisme adalah sistem rusak yang telah gagal membentuk generasi berkepribadian mulia. Sudah saatnya sistem ini dicampakkan, diganti dengan sistem yang telah terbukti menghasilkan generasi berkualitas, yakni sistem Islam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi