KEBEBASAN BERPENDAPAT DAN ILUSI DEMOKRASI

Muhammad Ayyubi ( Mufakkirun Siyasiyyun Community )

Acara silaturahmi yang digelar oleh Forum Tanah Air (FTA) di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan dan dihadiri Din Syamsuddin pada Sabtu pagi, 28 September 2024, berujung ricuh. Dalam video yang beredar, terlihat sekelompok orang bertindak anarkis memporakparandakan panggung, menyobek backdrop, mematahkan tiang microphone, dan mengancam para peserta yang baru hadir.

Sekali lagi kita disuguhkan peristiwa yang menyedihkan. Bagaimana tidak, konon demokrasi yang mengedepankan kebebasan berpendapat tercoreng karena tindakan sebagian orang.

Secara historis, memang tidak ada kebebasan pendapat dalam demokrasi. Yang ada hanyalah lip service, demi mengelabuhi pemujanya.

Pada 21 Juni 1994, tepat 25 tahun yang lalu, pemerintahan Presiden Soeharto membredel majalah Tempo, Editor dan tabloid Detik.

Kasus pembunuhan aktivis HAM Munir pada September 2004 termasuk dalam kasus pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat.

Pemaksakan asas tunggal pancasila telah memakan korban. Betapa banyak aktivis yang dipenjara karena berbeda dengan pemerintah kala itu.

Di masa reformasi pun tidak kalah otoriternya, bagaimana Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan tanpa peradilan hanya karena terus berdakwah tentang kewajiban khilafah.

Terlalu banyak fakta untuk menunjukkan bahwa pembungkaman identik dengan demokrasi yang konon memuja kebebasan.

Jadi, sejatinya kebebasan dalam demokrasi hanyalah omong kosong yang tidak ada wujudnya dalam praktik pemerintahan manapun.

Walhasil jika hari ini kejadian itu berulang hal tersebut bukanlah yang pertama dan pasti bukan yang terakhir selama praktika demokrasi masih diterapkan di Indonesia.

Salah sasaran jika beberapa aktivis mengatakan bahwa demokrasi mati di tangan Jokowi. Karena sesungguhnya demokrasi tidak pernah hidup maka tidak ada istilah mati. Yang ada hanyalha ilusi demokrasi.

Kritik Dalam Islam.

Di dalam islam kritik bukan saja boleh tetapi sangat dianjurkan bahkan melabeli dengan afdhalul jihad atau sebaik baik jihad. Dan jika pelaku kritik tersebut mati karenanya maka digelari dengan sayyidus syuhada atau pemimpin para suhada.

Kritik dalam islam bagian yang tidak terpusahkan dalam syariah Islam yakni amar makruf nahi munkar. Maka selama syariah Islam diterapkan maka selama itu pula kritik akan selalu ada.

Tidak boleh ada pembungkaman kepada siapa saja walaupun kritiknya setajam pedang.

Begitulah yang telah dipraktikkan Khalifah Abu Bakar pada saat pelantikannya.[]

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi