Kebakaran Depo Pertamina Plumpang: Salah Siapa ?


Oleh. Rini Hapsa

Insiden kebakaran yang cukup hebat terjadi di Depo Pertamina Plumpang, Jalan Tanah Merah Bawah Kelurahan Rawa Badak Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Jumat (3/3/2023) pada pukul 20.11 WIB. Kebakaran ini cukup menjadikan suasana sekitaran depo pertamina menjadi sangat mencekam, pasalnya daerah sekitar depo pertamina yang terbakar adalah daerah permukiman padat penduduk dan berlokasi cukup dekat dengan sumber api.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mencatat hingga Kamis (16/3/2023) total korban meninggal akibat insiden kebakaran Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Plumpang menjadi 25 jiwa dari sebelumnya pada Sabtu (4/3/2023) korban meninggal tercatat 18 orang. Adapun warga yang mengalami dampak dari insiden Plumpang berjumlah 220 KK dengan total 2 RW yang rumahnya ludes terbakar. Direktur Pertamina pun berjanji akan terus melakukan pendampingan dan mengupayakan pemulihan korban (republika.co.id, 16/03/2023).

Diakui atau tidak, insiden kebakaran kilang minyak masih menjadi PR besar bagi Indonesia. Seperti diketahui kebakaran depo pertamina Plumpang bukanlah menjadi yang pertama. Depo pertamina Plumpang pernah mengalami kebakaran pada tanggal 18 januari 2009 silam dan menewaskan satu orang. Tak hanya di Depo Plumpang, kebakaran pun berulang kali terjadi di kilang minyak lainnya.

Kilang Cilacap telah terjadi tujuh kali kebakaran sejak 1995, yang mayoritas penyebabnya diklaim karena faktor alam. Kilang minyak di Balongan pernah berulang kali terbakar yakni pada 2007, 2019, dan 2021. Dan tentu saja kebakaran-kebakaran tak sedikit meninggalkan kerugian yang cukup banyak baik secara materil dan non materil (bbc.com, 6/03/2023).

Lantas apakah yang salah dan perlu dievaluasi dari banyaknya rentetan kebakaran kilang minyak ini? Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, kawasan depo Plumpang seharusnya dibenahi agar tak terjadi insiden serupa di masa depan. Produksi dan penyimpanan BBM tak semestinya berada di lingkungan padat penduduk dengan jarak aman puluhan hingga ratusan meter.

Depo Plumpang sebetulnya sudah dibangun sejak awal 1970-an kala tak banyak penduduk menghuni lingkungan tersebut. Lokasi itu baru dipadati penduduk seiring berkembangnya waktu. Hal penting lainnya, pertamina sendiri mestilah memastikan adanya buffer zone dari permukiman warga. Buffer zone sendiri adalah area kosong antara fasilitas dengan permukiman guna mencegah terjadinya musibah yang bisa merambat ke kawasan penduduk.

Soal buffer zone ini, Pertamina sudah mengkhawatirkan hal itu sejak 2016 dengan solusi pembebasan lahan guna memperluas buffer zone dan telah berkoordinasi dengan Pemda DKI Jakarta untuk menemukan solusinya. Namun, solusi ini belum terwujud karena faktanya lokasi fasilitas Depo Pertamina Plumpang dan pemukiman warga hanya dipisah oleh tembok tinggi dan satu ruas jalan dengan panjang sekitar 2 meter. Tangki-tangki besar milik Pertamina terlihat dengan jelas dari area pemukiman (cnnindonesia.com, 04/03/2023).

Negara sendiri telah menyampaikan dua opsi solusi atas insiden yang terjadi, yaitu pertama merelokasi Depo pertamina Plumpang atau yang kedua yaitu memindahkan warga dari Kawasan sekitar yang harusnya menjadi buffer zone (zona penyangga). Adanya wacana untuk relokasi ini membuat warga kebingunan pasalnya kehidupan warga telah bergantung sepenuhnya dengan daerah sekitaran depo pertamina Plumpang namun disatu sisi pula pemukiman yang terlalu berdekatan pun membuat was-was warga sekitar (bbc.com, 06/03/2023).

Oleh karena itu, ada beberapa poin yang mesti disoroti. Pertama, Pertamina sudah seharusnya melakukan evaluasi standar keamanan. Kebakaran yang berulang kali terjadi di fasilitas milik Pertamina, baik di Depo Plumpang maupun kilang minyak lainnya, membuktikan bahwa standar keamanan Pertamina “jauh dari ideal”. Sulit untuk tidak mengkaitkan antara banyaknya korban kebakaran depo Pertamina Plumpang dengan salah urus zona aman depo Plumpang.

Seandainya aturan tentang zona penyangga (buffer zone) ditegakkan, kebakaran di dalam depo seharusnya tidak membuat warga di sekitarnya ikut menjadi korban. Sebenarnya, peringatan adanya bahaya akibat diabaikannya buffer zone ini sudah mencuat pascakebakaran depo sebelumnya pada Januari 2009 dan satu orang pegawai Pertamina meninggal. Banyak yang mendesak untuk mensterilkan area sekitar Depo Pertamina namun lagi-lagi diabaikan. Sungguh ironis.

Kedua, simpangnya siur legalitas warga yang bermukim disekitar depo Pertamina. Meski bukan hal yang mudah, namun relokasi warga sekitar dari daerah depo pertamina menjadi hal yang masuk akal. Pihak Pertamina tidak akan perlu berfikir lagi tentang memindahkan depo Pertamina yang tentu saja membutuhkan dana yang besar atau tak perlu membayar ganti rugi lahan warga sebab pada dasarnya mereka secara legal menduduki lahan pertamina. Namun, hal ini berbeda cerita, aturan daerah setempat seakan tarik ulur akan legalitas warga.

Di masa Gubernur Fauzi Bowo, relokasi warga tak terlaksana. Demikian pula di masa gubernur setelahnya, Joko Widodo. Setahun menjelang pemilihan presiden 2014, Joko Widodo malah melegalkan permukiman di Tanah Merah dengan memberi status wilayah RT/RW dan membagikan kartu tanda penduduk untuk semua warga di sana.

Lebih jauh lagi, Gubernur DKI Anies Baswedan juga memberikan izin mendirikan bangunan (IMB) kawasan sementara untuk kampung tersebut. Alasan Anies, agar warga Tanah Merah bisa mendapatkan hak seperti warga Jakarta lainnya.

Berulangnya insiden kebakaran instalasi pertamina seharusnya tidaklah terjadi jika saja negara ini tidak cenderung abai akan keselamatan dan kenyaman warganya. Menaruh kesalahan hanya satu pihak saja adalah hal yang salah. Akan ada banyak yang bertanggungjawab penuh akan insiden ini. Pertamina yang merupakan BUMN strategis karena mengelola dan mendistribusikan bahan bakar minyak (BBM) sudah sepantasnya menjadi perhatian sentral karena menyangkut kelangsungan hidup masyarakat luas dan terlebih kepada stabilitas ekonomi negara.

Sudah saatnya negara untuk turun tangan, dengan memberikan kebijakan yang pasti tuntas. Jangan karena hanya untuk kesenangan sesaat namun mengabaikan keselamatan penuh warganya. Dalam hal ini memberikan zona nyaman bukan malah menghadirkan zona berbahaya.

Wallahu a’lam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi