Oleh. Afiyah Rasyad
(Tim MazayaPost.com)
Baru-baru ini, santer berita tentang KDRT selebgram CIN. Kasus KDRT itu beredar dari video unggahan selebgram tersebut. CIN menganggap video rekaman aksi KDRT sang suami (AT). Warganet pun geger dan polisi menangkap sang suami dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara. Sementara CIN sendiri mengalami trauma dan sang anak juga takut berjumpa dengan laki-laki (Okezone.com, 15/8/2024).
Buah Sistem Rusak
Apa yang menimpa selebgram CIN, bukanlah kasus KDRT pertama. Kasus KDRT ini sangatlah marak. Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Andy, menyatakan bahwa sebanyak 34.682 perempuan menjadi korban tindak kekerasan sepanjang 2024. Andy menjelaskan bahwa kekerasan yang dominan masih terjadi di ranah personal. Kekerasan tertinggi dialami oleh korban adalah kekerasan seksual dengan 15.621 kasus, diikuti oleh kekerasan psikis sebanyak 12.878 kasus, dan kekerasan fisik sebanyak 11.099 kasus. Jenis kekerasan lainnya tercatat sebanyak 6.897 kasus (kompas.com, 13/8/2024).
Padahal, UU PKDRT telah lama disahkan. Dua dekade bukanlah waktu yang sebentar, tetapi UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) seakan tak mampu membendung atau menghentikan kasus KDRT itu sendiri. Realitas ini tak lepas dari akar masalahnya. Hadirnya UU PKDRT nyatanya memberikan penyelesaian yang seakan menenangkan dengan sebuah pandangan pemerintah akan kesetaraan relasi antara suami istri yang di antara wujudnya adalah kemandirian finansial. Dengan kemandirian finansial, maka perempuan tak perlu bersandar pada suami.
Sejatinya, KDRT tak selalu disebabkan oleh faktor ekonomi. Banyak faktor lain yang menimpa istri dengan kasus KDRT ini. Akar permasalahan kasus KDRT yang marak adalah sistem rusak buatan manusia, yakni sistem kapitalisme. Sistem ini meniscayakan setiap individu rakyat, termasuk individu dalam rumah tangga untuk mandiri dalam segala hal, terutama ekonomi. Sebab, negara berlepas tangan dalam urusan memelihara dan menjamin kebutuhan asasi rakyat.
Selain itu, sistem kapitalisme juga merusak tatanan pergaulan di tengah masyarakat. Sistem ini membawa gaya hidup bebas (liberalisme). Akidah sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan menyeret hubungan manusia bebas tanpa aturan. Perselingkuhan bahkan perzinaan kerap melatari kasus KDRT. Hedonisme turut mewarnai gaya hidup rumah tangga yang hanya mengejar kesenangan duniawi dan pemuasan hawa nafsu semata. Bangunan rumah tangga tidak dibangun dengan fondasi keimanan. Hakikat pernikahan juga tak mampu dipahami dengan benar.
Sistem kapitalisme berhasil menjadikan suami yang seharusnya menjadi pemimpin (qawam) istri dan anaknya, kini kehilangan fungsi kepemimpinannya (qawamah). Suami yang seharusnya melindungi istri dan anaknya justru melakukan kekerasan, bahkan kadang sampai menghilangkan nyawa. Dengan demikian, selama sistem kapitalisme yang rusak dan merusak masih diterapkan di negeri ini, akar masalah KDRT akan tetap bercokol dan faktor-faktor pemicu KDRT akan terus berhamburan dan kian marak.
Islam, Solusi Tuntas Atasi KDRT
Islam bukan sebatas agama ritual, tetapi aturan komprehensif yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Islam mewajibkan negara untuk memelihara setiap urusan rakyatnya. Mulai dari membangun akidah Islam dengan pembinaan secara langsung kepada umat hingga penyelesaian seluruh persoalan kehidupan yang membelit umat, wajib ditegakkan oleh negara. Sungguh, Islam adalah solusi tuntas atasi KDRT saat diterapkan oleh institusi negara. Sehingga, sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah akan menempuh beberapa mekanisme agar KDRT tak memiliki celah dalam rumah tangga, antara lain:
Pertama, Khilafah akan menegakkan sistem pendidikan Islam yang berasaskan akidah Islam. Suasana keimanan akan dibangun dalam sistem pendidikan ini. Sistem pendidikan Islam akan membekali individu dengan keimanan dan ketakwaan yang kukuh sehingga tidak melakukan kemaksiatan secara personal ataupun komunal, terutama saat berumah tangga.
Kedua, Khilafah akan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan sehingga rakyat merasakan kesejahteraan. Suami maupun istri merasa tenteram karena kebutuhan pokoknya terjamin. Adapun lapangan kerja, maka Khilafah akan memantau dan mendorong para laki-laki untuk mencari nafkah. Khilafah akan membuka lapangan kerja seluas-luasnya agar laki-laki bisa memenuhi nafkah istri dan istri fokus dengan kewajibannya menjadi ummu warobbatul bayt.
Ketiga, mewujudkan sistem pergaulan yang islami, yaitu terpisahnya kehidupan laki-laki dan perempuan. Keduanya berinteraksi sebatas kebutuhan syar’i seperti dalam hal pendidikan, pengobatan, dan muamalah. Khilafah melarang terjadinya khalwat (laki-laki dan perempuan nonmahram berdua-duaan) dan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan). Hal ini mencegah terjadinya perselingkuhan dan perzinaan. Dalam hubungan suami istri, Khilafah akan memberikan pemahaman bahwa hubungan keduanya adalah hubungan persahabatan. Hubungan keduanya bukan kemitraan (perseroan). Satu sama lain merupakan sahabat sejati dalam segala hal, yaitu persahabatan yang memberikan kedamaian dan ketenteraman satu sama lain.
Allah Swt. berfirman di dalam QS Ar-Rum: 21 yang artinya, “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.”
Keempat, Khilafah menyuguhkan menejemen konflik rumah tangga secara syar’i. Jika ada konflik antara suami istri, Allah Swt. memberikan hak kepada suami untuk mendidik istrinya dengan cara: menasihati, memisahkan dari tempat tidur, dan memukul. Jika istri taat pada suami, suami tidak boleh mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Apabila terpaksa memukul, maka suami boleh memukul dengan pukulan hang sangat ringan dan tidak melukai fisiknya. Apabila tidak jua terselesaikan, maka keduanya boleh menunjuk penengah untuk turut menyelesaikan konflik rumah tangganya. Bercerai diperkenankan jika dianggap jalan terbaik. Namun demikian, istri boleh melaporkan suami jika memang melakukan kekerasan yang melukai. Apabila terbukti suami bersalah, hakim akan menjatuhkan sanksi bagi suami berupa hukuman takzir yang jenis dan kadarnya didasarkan pada ijtihad khalifah atau yang mewakilinya (hakim).
Demikianlah mekanisme Islam dalam menyelesaikan KDRT. Dengan mekanisme yang komprehensif,tak ada celah bagi kasus KDRT untuk eksis. Saatnya kaum muslim kembali menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam isntitusi negara. Wallahualam.