Kasus Nahel di Prancis, Hanya Secuil Bentuk Kemunafikan HAM

Oleh. Fatmawati

Saat ini, Prancis tengah menjadi perbincangan dunia. Pasalnya, rentetan peristiwa kerusuhan terjadi pasca penembakan Nahel, remaja berusia 17 tahun, oleh polisi hingga tewas (detik.com, 3/07/2023). Kabarnya, telah dikerahkan puluhan ribu petugas kepolisian untuk mengamankan kondisi.

Laporan Kementerian Dalam Negeri Prancis menyebutkan, sebanyak 994 orang telah ditangkap. Selain itu, berbagai kerusakan yang terjadi meliputi 1.350 kendaraan dan 234 bangunan dibakar. Lebih miris lagi, sebanyak 2.560 kebarakan terjadi di ruang publik (detik.com, 2/7/2023).

Merespons kerusuhan ini, presiden Prancis, Emmanuel Macron mengatakan bahwa bentrokan, pembakaran mobil, dan penyerangan terhadap kantor polisi tidak dibenarkan. Namun, sebuah kondisi yang terasa aneh justru tampak ketika krisis tengah terjadi di negara Macron ini. Seorang tokoh yang terkenal dengan ide sayap kanannya, Jean Messiha, justru menggalang dana untuk polisi penambak Nahel. Jumlah dana yang tergalang mencapai 853 ribu Euro dari 37.874 donatur. Angka ini setara dengan Rp. 13,9 miliar (kompas.com, 3/7/2023).

Penggalangan dana ini mendapatkan berbagai respons kontra dari beberapa politisi. Eric Bothorel mengatakan bahwa Jean Messiha sedang bermain api. Oliver Faure, Ketua Partai Sosialis juga memberikan responsnya dengan menulis pesan kepada Gofundme, situs online yang digunakan untuk penggalangan dana ini. Dia menyampaikan bahwa fasilitasi penggalangan dana yang dilakukan oleh Gofundme merupakan tindakan yang memalukan.

Mathilde Panot yang merupakan anggota parlemen senior sayap kiri juga memberikan sindiran yang cukup menohok dengan meng-highlight isu rasisme. Dia menyindir dengan pernyataannya bahwa membunuh seorang pemuda Afrika Utara, di Prancis pada tahun 2023, bisa memberi Anda banyak uang.

Fakta-fakta ini membelalakkan mata kita bahwa dunia hari ini sedang tidak baik-baik saja. Ketidakadilan sedang dipertontontokan. Hanya karena terindikasi melanggar peraturan lalulintas, nyawa seorang pemuda harus melayang. Lebih miris lagi, dukungan pun masih bisa didapatkan bagi pelaku penembakan. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa tidak semua anggota masyarakat memiliki nilai yang sama atas fakta sebuah pembunuhan. Apa yang terjadi dengan standar keadilan di tengah-tengah masyarakat hari ini?

Ke mana paham kebebasan yang selama ini digembar-gemborkan oleh pengusungnya? Jika memang paham kebebasan itu benar, tentu saja apa yang dilakukan pemuda yang telah dianggap dewasa itu seharusnya juga dibenarkan. Dia “hanya” menyetir ugal-ugalan di jalan kan? Mengapa tindakannya tiba-tiba menjadi masalah? Seharusnya, kebebasannya juga dijamin, tetapi nyatanya tidak. Apakah hanya karena dia berkulit hitam?

Sebagai manusia yang waras, kita tentu saja sepakat bahwa tindakan ugal-ugalan di jalan dan membahayakan orang lain adalah perbuatan salah dan harus dicegah. Namun, sekali lagi, dukungan sebagian masyarakat terhadap pelaku pembunuhan ini menjadikan seakan nilai kebenaran menjadi bias. Ini salah satu bukti kesalahan paham kebebasan.

Paham kebebasan yang selama ini digaung-gaungkan nyatanya tidak berpihak ke semua manusia. Artinya, dia bukan paham universal dan sesuai fitrah manusia. Paham ini memiliki tendensi kepada manusia-manusia tertentu. Pada kasus Nahel ini, tentu saja paham kebebasan tidak berlaku untuk mereka yang berkulit hitam. Pada banyak kasus, misalnya pembuatan karikatur Muhammad, Rasulullah, maupun pengibaran bendera pelangi, tentu saja jelas, paham kebebasan ini bukan untuk kaum muslim.

Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini dijunjung tinggi tidak lebih dari ide buruk yang merusak kehidupan manusia. HAM tidak memiliki standar yang jelas. Ketika berbagai perbuatan bebas dan brutal menyerang golongan tertentu, tiba-tiba ia menjadi benar. Namun, ketika ekspresi bebas ditampakkan oleh golongan yang tidak diinginkan oleh mereka yang berkuasa, ide kebebasan itu seakan tidak berlaku.

Bagaimanapun, ide kebebasan adalah hasil pemikiran manusia. Sedangkan manusia jelas memiliki banyak keterbatasan. Manusia diciptakan oleh Allah lengkap dengan berbagai potensi fitrah yang dia miliki, termasuk berbagai keinginan. Maka ketika dia membuat sebuah aturan, tentu saja akan mempertimbangkan kepentingannya dan kelompoknya. Tidak mungkin dia akan netral. Sekalipun dia merasa netral, dan tidak berpihak kepada golongan mana pun, namun sifat terbatasnya tidak memungkinkan untuk membuat peraturan yang adil bagi seluruh umat manusia apalagi alam semesta.

Allah, Zat Yang Maha Mengetahui seluruh kebaikan dan kelemahan ciptaan-Nya. Dia-lah yang berhak membuat aturan sebagai standar hidup bagi manusia dalam melakukan segala amalnya. Allah menetapkan Islam sebagai agama yang lengkap dengan aturan-aturan kehidupan, dan dengan fair menstandarisasi seluruh nilai bagi manusia. Islam dengan jelas mendefinisikan manusia terbaik adalah mereka yang paling bertakwa kepada Allah, bukan mereka yang cantik, tampan, berkulit putih, sawo matang, merah, ataupun hitam.

Zaid bin Tsabit, budak Rasulullah berkulit hitam legam, Allah jaminkan surga untuknya. Begitu pula untuk Mush’ab bin Umair, duta Rasulullah untuk Madinah, pemuda tampan, gagah, cakap berdiplomasi, Allah siapkan surga untuknya. Ukurannya jelas, takwa, bukan yang lain.

Dalam penegakan hukum di dunia, Rasulullah dengan tegas menyampaikan bahwa jika Fatimah binti Muhammad mencuri, beliau sendiri yang akan memotong tangannya. Inilah keadilan Islam. Hukum yang ditetapkan oleh Islam bukan berdasarkan kepentingan dan hawa nafsu manusia karena kesemuanya berasal dari Allah yang tidak memiliki kebutuhan dan kepentingan. Dia Pemilik segalanya dan tidak memiliki keterbatasan. Dia Maha Adil. Maka, hukum yang bersumber dari firman-Nya pasti benar.

Keadilan hukum Islam bahkan tidak hanya untuk kaum muslim. Rasulullah bahkan mengajarkan untuk menghormati agama lain dan mewujudkan toleransi yang terbatasi dengan hukum syariat. Di dalam kondisi perang, Rasulullah melarang para sahabat beliau untuk merusak rumah ibadah agama lain. Dalam kondisi normal, Rasulullah menyampaikan bahwa barang siapa menyakiti kafir dzimmi (orang kafir yang tunduk di bawah kekuasaan negara Islam), berarti telah menyakiti beliau.

Inilah keadilah Islam yang seharusnya kita perjuangkan dan diterapkan dalam bentuk negara. Islam yang akan melindungi manusia dari berbagai bentuk kerusakan sebagaimana yang terjadi hari ini.

Wallahu a’lam bishshawab.

Dibaca

 3 total views,  2 views today

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi