Kasus Kematian Gajah Berulang, Pedulikah Negara?

Oleh. Hesti Nur Laili, S.Psi.
(Kontributor MazayaPost.com)

Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) binaan Balai Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan ditemukan tewas mengenaskan dengan kondisi gading kiri sudah terpotong pada Rabu, 10 Januari 2024 lalu. Pihak kepolisian sudah berupaya melakukan penyelidikan, namun hingga dua bulan berlalu kasus tersebut belum juga terdapat titik terang (riau.antaranews.com, 18/3/2024).

Dari hasil neukropsi (semacam autopsi untuk hewan), gajah bernama Rahman yang berusia 46 tahun itu tewas akibat diracun sebelum akhirnya kehilangan gading kirinya oleh oknum yang tidak bertanggung jawab (riau.antaranews.com, 17/3/2024). Ternyata gajah rahman bukanlah satu-satunya kasus kematian misterius yang terjadi di Indonesia, utamanya di wilayah Sumatra. Pada tahun 2023 lalu, di Kabupaten Pelalawan juga ditemukan 2 kasus serupa, yakni kematian misterius pada gajah dengan kondisi gading kiri sudah terpotong. Pertama, adalah gajah jantan yang mati akibat diracun dengan umpan gula merah pada 11 Juli 2023. Kemudian kedua, gajah kecil yang mati terkena jerat pada 12 November 2023.

Setidaknya sepanjang tahun 2023, kasus kematian misterius gajah terjadi hingga 4 kali sebelum kasus kematian gajah di Kabupaten Pelalawan. Salah satunya kematian gajah yang terjadi di Bengkulu dengan kondisi sepasang gigi yang menonjol pada gajah betina yang hilang (kompas.id, 11/1/2024).

Fenomena di atas hanya sebagian kecil saja yang tampak dari banyaknya kasus pembunuhan terhadap hewan yang dilakukan oleh manusia. Sering kali kasus pembunuhan terhadap hewan ini dilakukan lantaran faktor ekonomi. Perburuan liar dilakukan sebagian manusia picik untuk mendapatkan kulit, gading, gigi, tanduk, dan sebagainya demi meraup materi.

Demi keuntungan besar, manusia rela melakukan perbuatan keji. Tak hanya pada sesama manusia, juga dilakukan terhadap satwa yang dilindungi negara. Semua tidak lain akibat dampak dari sistem kapitalisme yang berasaskan sekularisme. Meniadakan agama dalam kehidupan sehari-hari dengan menggeser halal-haram menjadi untung-rugi, membuat manusia yang hidup dalam sistem ini menjadi memandang segala sesuatu, termasuk melakukan perbuatan apapun hanya akan sesuai dengan keinginannya saja.

Termasuk seperti pada kasus di atas. Banyaknya kematian gajah akibat diracuni, dijerat, atau apa pun, lalu mengambil gadingnya untuk kemudian menukarnya dengan pundi-pundi uang yang nilainya fantastis. Pada akhirnya, membutakan mata hati manusia hingga tega melakukan perilaku kejam tersebut.

Tentu saja apa yang dilakukan oleh pelaku pembunuhan terhadap gajah tadi merupakan representasi dari cara pandangnya terhadap untung-rugi atau manfaat-mudharat baginya. Menganggap gajah hanyalah hewan liar yang tak berarti jika harus dihilangkan nyawanya, kemudian mengambil keuntungan dari gading yang diambilnya paksa demi keuntungan materi.

Meskipun ada hukuman dari negara atas pembunuhan terhadap satwa liar ini, yakni adanya UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam, “Setiap pelaku pembunuhan satwa liar diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak 100 juta rupiah” (smartlegal.id, 30/11/2018).

Namun, tetap saja hukuman yang diberikan seringnya dirasa tidak setimpal, cenderung ringan dan berkurang masa hukumannya pada saat putusan sidang, serta belum lagi ditambah adanya suap dalam pekara hukum, membuat pelaku tidak memiliki rasa jera. Bahkan akan terus mengulangi lagi dan lagi perbuatan tersebut.

Inilah akibatnya jika negara hanya sebatas pembuat aturan tetapi memiliki landasan kapitalisme, sekulerisme, dan bukan islam. Sehingga tidak salah jika individu-individu yang hidup di bawah naungan sistem ini akan terus berbuat semaunya, sekehendak hati, asalkan itu baginya bermanfaat untuk dirinya dan tidak memiliki rasa takut sedikitpun atas konsekuensi yang akan ia dapat setelah membunuh satwa liar. Berbeda jika landasan yang digunakan dalam bernegara adalah sistem Islam. Negara tidak hanya berperan sebagai pembuat aturan saja yang tentunya bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah terkait halal-haram, tetapi juga berkewajiban menjaga akidah dari masyarakat yang berada di bawah naungan sistem ini.

Sistem Islam tak hanya mengatur urusan manusia, tetapi juga makhluk hidup lain yang berada dalam naungannya, termasuk terhadap satwa liar. Adapun salah satu contoh yang pernah terjadi pada masa sistem Islam diterapkan, yakni di masa Khalifah Umar bin Khattab yang tidak sengaja membuat burung pipit mati dipatuk ular. Atas kesalahan itu, beliau rela menerima hukuman membayar diat sebesar satu ekor kambing.

Selain itu, sebagai seorang khalifah, Umar bin Khattab pun sadar akan berat dan besarnya tanggung jawab yang ia emban, sampai-sampai ia pun berkata, “Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad niscaya Umar akan diminta pertanggungjawabannya (oleh Allah), seraya ditanya: Mengapa tidak meratakan jalan untuknya?”

Atau kisah lain dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Meski hanya memimpin Dinasti Umayah dari tahun 717 M-720 M, dalam waktu singkat Khalifah Umar bin Abdul Aziz mampu menyejahterahkan tak hanya masyarakat tetapi juga memberi perhatian kepada hewan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah memberikan surat kepada pemilik kereta unta yang berisi: “Janganlah menaikkan seseorang dengan beban yang berat, jangan memaksa unta dengan cemeti yang berujung besi.”

Di kisah kain, Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga pernah menulis surat untuk Hayyan di Mesir, “Telah sampai kepadaku bahwa di Mesir ada unta pengangkut barang yang dimuati seribu rithl (kurang lebih 400 kg). Jika datang suratku ini, aku ingin satu unta tidak dimuati beban lebih dari enam ratus rithl.”

Dua kisah di atas menggambarkan betapa Islam memuliakan tak hanya manusia tetapi juga seluruh makhluk hidup. Islam hanya menganjurkan membunuh hewan tertentu dengan tujuan untuk dikonsumsi maupun karena sifat hewan tersebut yang dinilai membahayakan, memberikan dampak buruk dan kerugian bagi kehidupan masyarakat, maupun sebagai bentuk pertahanan diri apabila mendapatkan serangan dari hewan buas atau satwa liar.

Selebihnya, membunuh hewan sembarangan, lebih-lebih hanya bertujuan untuk keuntungan materi, hal ini hukumnya haram. Selain penanaman akidah yang kuat dan pemahaman halal-haram untuk masyarakat, hukuman yang diberikan terhadap pelanggaran syariat juga tidak main-main. Tidak ada suap dalam hukum atau hukuman yang dikurangi atas tindak kejahatan pelanggaran syariat. Sehingga ada efek jera bagi pelaku maupun masyarakat lain.

Rasulullah shallallahu alayhi wasallam dalam sabdanya berikut ini menempatkan pembunuhan satwa yang tidak disertai alasan kuat sebagai perbuatan dosa besar:

“Hindari tujuh hal yang sangat diharamkan (sangat berdosa): menyekutukan Allah; klenik; membunuh makhluk yang bernapas, dilarang oleh Allah kecuali dengan alasan yang masuk akal.”

“Hal-hal yang sangat berdosa adalah: menyekutukan Allah, durhaka pada kedua orang tua; membunuh makhluk yang bernapas.”

Dan banyak lagi hadis yang melarang perburuan satwa liar sebagai target tembak yang bertujuan untuk bersenang-senang saja. Wallahu a’lam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi