Oleh. Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Umat)
“Judi (judi) Menjanjikan kemenangan
Judi (judi) Menjanjikan kekayaan
Bohong (bohong) Kalaupun kaumenang
Itu awal dari kekalahan
Bohong (bohong) Kalaupun kaukaya
Itu awal dari kemiskinan”
Lagu lawas H. Rhoma Irama ini menunjukkan betapa judi sejak dahulu sudah marak. Terlebih di era digital ini, judi seakan bermetamorfosis. Judi online kini menjadi aplikasi yang digemari orang-orang yang ingin mendapatkan kekayaan secara instan.
Kapitalisme Suburkan Judi
Gadget ataupun handphone yang sejatinya sebagai alat komunikasi, kini memiliki beragam fungsi. Berbagai figur aplikasi ada di dalamnya, dunia hiburan bahkan sampai meraup kekayaan lewat judi online dan pinjaman online juga marak. Fenomena judi online dewasa ini amat meresahkan. Sejak Juli hingga Oktober, Kominfo telah melakukan upaya pemblokiran. Sebanyak 400 ribu konten judi online tersebar di ranah digital diblokir.
Tak hanya pemblokiran, Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika (Ditjen Aptika) Kominfo juga membuat satgas khusus bekerja 24 jam dengan tiga sif untuk mengontrol dan memberantas situs-situs judi online. Kominfor bekerja sama dengan Kepolisian. Dari sisi aliran dana, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki kewenangan untuk memblokir rekening terkait dengan judi online. Namun, untuk urusan ini memang belum ada satgas khusus di OJK. Hal itu disampaikan Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Perlindungan Konsumen Friderica Widyasari Dewi dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner Senin 30 Oktober 2023 (cnbcindonesia.com, 30/10/2023).
Kecanggihan teknologi tentu memiliki beragam dampak, positif ataupun negatif. Namun, jika kemajuan dan kecanggihan teknologi tidak diimbangi kontrol dan pengaturan yang tepat dari negara, maka dampak negatif akan mendominasi. Dampak negatif ini akan menimpa siapa saja penggunana HP atau gadget, termasuk anak-anak usia prabalig. Apalagi kalau judi online dikemas dalam bentuk game. Dunia anak saat ini sudah dekat gaya hidup hedonisme. Kegemerlapan menjadikan dunia anak dan milenial membutuhkan banyak uang. Untuk eksistensi diri ala kapitalisme, judi akhirnya jadi pilihan untuk mengumpulkan uang.
Negara memang sudah melakukan upaya pemblokiran dan peretasan ratusan situs judi online. Namun, pertumbuhan aplikasi sejenis tetap eksis. Hal itu tidak lepas dari jaringan judi internasional. Sebatas pemblokiran tidaklah cukup. Negara seharusnya menegakkan edukasi secara berkala dan intens terkait haramnya judi ataupun judi online. Selain edukasi, penutupan akses secara permanen bagi situs pembuat judi online harus ditegakkan.
Hanya saja, edukasi dan regulasi ini sepertinya amat lemah. Apalagi negara masih berkiblat pada sistem kapitalisme. Asas manfaat alias keuntungan materi sangat mendominasi dalam menentukan sikap. Sehingga negara terkesan separuh hati dalam memberantas judi online. Pembinaan bahaya dan haramnya judi tidak diterima masyarakat, terutama anak.
Peran negara hanya terlihat seperti regulator. Jaminan pendidikan dan penjagaan harta belum tampak optimal. Tentu saja itu juga dipengaruhi sistem kapitalisme yang meniadakan tanggung jawab negara atas pemeliharaan urusan rakyat.
Judi Haram
Kapitalisme tak peduli dengan cara apa mencari harta. Sementara Islam jelas mengharamkan judi. Sebagaimana firman Allah Swt.,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90)