Oleh. Hamsia
(Pegiat Literasi)
Lagi-lagi, fenomena ibu menjual bayinya kembali terjadi. Kali ini terjadi di Kota Medan. Seorang ibu rumah tangga berinisial SS (27) ditangkap oleh kepolisian karena menjual bayinya seharga Rp20 juta melalui perantara di Jalan Kuningan, Kecamatan Medan Area, Kota Medan, Sumatera Utara. Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Besar Medan AKP Madya Yustadi mengatakan, awalnya petugas mendapatkan informasi dari warga, bahwa akan ada transaksi jual beli bayi di rumah sakit daerah Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.
“Pelaku SS baru saja melahirkan dan infonya ia akan melakukan transaksi di rumah sakit. Kejadian tersebut berlangsung pada Selasa (6/8). Dikabarkan SS menjual bayinya seharga Rp20 juta dan alasannya karena SS kesulitan ekonomi dan sementara pembeli bayi ini karena belum memiliki anak, sambungnya. Setelah itu kami lakukan penyelidikan, ternyata transaksinya di Jalan Kuningan,” kata Madya kepada Kompas.com melalui saluran telepon pada Rabu (14/8/2024).
Sungguh ironis jika kita melihat kondisi saat ini. Ibu adalah anugerah yang diberikan oleh Allah Swt. kepada seorang hamba yang Allah kehendaki. Namun hari ini, naluri keibuan seorang perempuan makin terkikis, kasih sayangnya mulai menipis. Seorang ibu tega menjual bayinya dan bahkan tega membunuh bayinya dengan alasan yang serupa yakni masalah ekonomi.
Seharusnya kasus ini tidak dilihat dari segi pelanggaran hukum semata sudah tidak terhitung lagi berbagai kasus dengan faktor impitan ekonomi mengakibatkan hilangnya akal sehat dan matinya naluri keibuan. Kasus SS yang menjual bayinya dengan harga Rp20 juta hanya sebagian kecil kasus yang terjadi di masyarakat. Terlebih supporting sistem menjalankan peran sebagai orang tua tidak berjalan baik karena sama-sama miskin atau individualistis.
Kondisi tersebut makin menguatkan alasan menjual buah hati sendiri. Selain itu, masalah ekonomi keluarga erat pula kaitannya dengan seorang suami dalam memberi nafkah. Saat ini, laki-laki begitu sulit mendapatkan pekerjaan. PHK terjadi di mana-mana, persaingan bisnis tidak sehat, UMKM bersaing dengan pengusaha bermodal besar di ring yang sama.
Realita ini setidaknya mencerminkan beberapa hal; pertama, impitan ekonomi bukan masalah personal, tetapi problem masyarakat. Kedua, negara mengabaikan tugasnya mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya khususnya dalam penyediaan lapangan kerja bagi suami. Sikap demikian erat kaitannya dengan sistem ekonomi yang diterapkan saat ini.
Sistem ekonomi yang berorientasi materi membuat cara pandang apapun dilihat dari untung rugi termasuk hubungan penguasa dengan rakyat. Penguasa lebih mencintai para kapital karena investasi mereka mendatangkan keuntungan. Sementara jika penguasa mengurus rakyat, harus mengeluarkan anggaran. Karena itu, tidak mengherankan aroma kebijakan penguasa kapitalisme bersifat kapitalistik.
Tak hanya terkait masalah ekonomi, kasus ibu SS dan sejenisnya juga mencerminkan gagalnya sistem pendidikan membentuk pribadi yang bertakwa. Sistem pendidikan dengan asas sekularisme kapitalisme membuat agama dipisahkan dari kehidupan. Alhasil, generasi tidak bisa mengaitkan perbuatan mereka berdasarkan halal-haram, pahala dosa baik buruk sesuai syariat agama. Generasi dididik menjadi pribadi yang material orientasi sehingga akan melakukan apapun demi bertahan hidup meski harus menjual anak. Sungguh, deretan kepiluan ini adalah hasil penerapan sistem sekularisme kapitalisme dalam kehidupan.
Penerapan sistem kapitalisme di negeri ini sungguh menghasilkan berbagai kebobrokan di semua kehidupan. Kapitalisme menjadikan negeri ini terjual, perampasan lahan merampas ruang hidup masyarakat terjadi di berbagai tempat, ekonomi yang makin sulit sebab penguasa tidak menjamin kesejahteraan rakyat. Alhasil, rakyat tak lagi punya kuasa, sementara asing dan aseng yang terlilit utang ribawi, harga kebutuhan pokok merangkak naik, pendidikan dan kesehatan kian tak terbeli dan negara terus memalak rakyat atas nama pajak. Akhirnya, rakyat sekadar menikmati perihnya kehidupan.
Kaum ibu tak luput ikut merasakan derita. Saat ini, sangat banyak seorang ibu terpaksa meninggalkan rumah mengurus anak dan suaminya, demi ikut bergelut dalam mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di sisi lain, seorang ibu sibuk memikirkan bagaimana perekonomian keluarga harus ditopang.
Paradigma kapitalisme memandang segalanya adalah materi, menggiring manusia berpikir secara instan, menjunjung tinggi kebebasan dan pemikiran tentang agama menjadi yang terbelakang. Banyaknya kasus ibu yang menjual anaknya bahkan tega membunuh anak kandungnya sendiri dengan alasan yang sama yakni himpitan ekonomi. Sejatinya, ini menjadi bukti bahwa gagalnya negara dalam memberikan jaminan kesejahteraan kepada kaum ibu. Sistem kapitalisme telah berhasil mencabut naluri keibuan yang sejatinya memiliki sifat kasih sayang kepada buah hatinya.
Sangat berbeda dengan sistem Islam dalam mengurus rakyat. Sistem Islam menetapkan negara sebagai raa’in (pengurus) Rasulullah saw, bersabda, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)
Tugas negara sebagai pemimpin wajib mengurus kemaslahatan rakyat termasuk menjamin kesejahteraan mereka. Islam memiliki sistem ekonomi. Hanya Islam yang mampu menciptakan sosok-sosok ibu yang penuh kebahagiaan. Sebab, Islam menjadikan syariat sebagai pengatur segala urusan kehidupan dan tidak akan menzalimi, dan pasti akan membawa keberkahan. Lihatlah bahwa sejarah mencatat ketika Islam tegak berdiri sebagai sebuah peradaban yang adidaya, para generasi pejuang terlahir. Mereka bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya dan takut akan berbuat dosa.
Dengan demikian, hanya dengan penerapan sistem Islam kaffah di bawah naungan Khilafah maka sosok ibu yang penyayang akan didapatkan. Khilafah akan mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Wallahu a’lam bi shawwab.