Kapitalisme Langgengkan Konflik Agraria

Oleh. Sri Rahayu Lesmanawaty
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Dikutip dari Kompas (9/1/2024), sebanyak 212 konflik agraria terjadi sepanjang 2022 dan 497 kasus kriminalisasi dialami oleh pejuang hak atas tanah di berbagai wilayah. Upaya penyelesaian konflik agraria ini dipandang belum ada perubahan signifikan. Berita ini menunjukkan bahwa konflik agraria terus berlanjut. Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menilai bahwa pemerintah terkesan lemah dan lambat saat membendung konflik agar tidak meluas. Menurutnya, hal ini diperparah dengan adanya konflik agraria yang justru terjadi dengan perusahaan pelat merah, bahkan jumlahnya makin meningkat (Kompas, 9/1/2024).

Menilik makin banyaknya konflik agraria, tentunya tidak bisa dipisahkan dari kesalahan dalam hal tata kelola agraria. Dalam sistem demokrasi kapitalisme, penguasa menjadi pedagang yang siap melayani pemilik modal besar untuk membeli apa pun yang diinginkan, termasuk lahan.

Sistem Demokrasi Kapitalisme Tayang, Lahan pun Melayang

Saat sebuah negara berjalan di atas sistem demokrasi kapitalisme, realitanya seluruh elemen mengalami ketidakseimbangan. Kegaduhan terus menerus terjadi karena ada pihak yang tersakiti. Pengusaha senang rakyat meradang, demikian yang terjadi pada konflik agraria.
Kebebasan kepemilikan membuat siapa saja yang bermodal besar, bisa memiliki apa pun termasuk dalam urusan agraria.

Saat demokrasi kapitalisme tayang, lahan melayang padanya. Rakyat sebagai pemilik sertifikat bisa dikriminalisasi karena berusaha mempertahankan lahannya, apalagi jika pemilik tidak mampu menunjukkan sertifikat kepemilikan maka negara memberikan pada siapa pun yang mampu membelinya. Negara tidak peduli, apakah pemilik awal menderita atau tidak. Atas nama pembangunan yang berpihak pada keleluasaan oligarki, selama itu pula kisah-kisah tragis seperti Wadas, Pubabu, Pohuwato, Kendeng, Rembang, Sukolilo Kendal, Lampung, dan Rempang akan terus terulang.

Demokrasi Kapitalisme Melanggengkan Konflik Agraria

Komnas HAM mencatat, dalam kurun delapan bulan terakhir eskalasi masif konflik agraria di berbagai lokasi di Indonesia mencapai 692 kasus. Jumlah ini setara dengan 4 kasus per hari yang dilaporkan ke Komnas HAM. Komnas HAM juga menyinggung sederetan konflik yang terjadi dalam delapan bulan terakhir secara masif terkait proyek strategis nasional (PSN). Misalnya yang terkini konflik di Pulau Rempang, Kota Batam, Propinsi Kepulauan Riau (Nu Online, 24/9/2023).

Kenyataan ini menunjukkan bahwa demokrasi kapitalisme senantiasa melanggengkan konflik agraria di mana sistem membiarkan pengusaha ikut campur dalam menentukan kebijakan, dan pihak yang selalu menjadi korban adalah rakyat. Mereka selalu kalah karena berhadapan dengan perusahaan-perusahaan besar yang mendapat legalisasi dari penguasa yang ada.

Islam Selesaikan Konflik Agraria

Langgengnya konflik agraria tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Konsep yang jelas tentang kepemilikan lahan dimiliki Islam secara paripurna. Tiga jenis kepemilikan (individu, umum, negara) menjadi acuan adanya perlindungan dan jaminan keamanan agar tidak ada perampasan yang dilakukan oleh pihak mana pun. Bagi kepemilikan Individu, pemilik wajib mengelola lahan tersebut dan tidak boleh menelantarkannya. Bagi kepemilikan umum, seperti hutan, padang rumput, pertambangan, dsb., tidak boleh dikuasai individu (swasta). Yang berhak mengelolanya adalah negara dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat. Pengusaha sekalipun punya modal besar, tidak boleh menguasai lahan milik umum.

Dalam Islam, penguasa (khalifah) tidak boleh memihak pada pengusaha dalam hal konflik lahan, karena penguasa di dalam Islam adalah pengurus dan pelindung rakyat, sehingga arah pembangunan negara adakah untuk kepentingan rakyat dalam rangka terwujudnya kesejahteraan rakyat orang per orang, bukan untuk kepentingan oligarki. Kebijakan pembangunan yang terkait pembangunannya, besaran dananya, dan sebagainya, adalah kebijakan yang terbebas dari campur tangan oligarki. Seluruhnya diatur untuk kemaslahatan rakyat. Tentunya jika ini terealisasi, konflik agraria tak kan terulang lagi. Sudah saatnya sistem demokrasi kapitalisme dibuang sejauh-jauhnya. Wallahu a’lam bisshawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi