Oleh : Yustina Yusuf.
Sepertinya menyalahkan rakyat atas buruknya pengurusan rakyat oleh pemerintah sudah menjadi kebiasaan di negeri ini. Banyak permasalahan yang tak kunjung ada solusi walau pemimpin berganti, namun rakyat jugalah yang dipersalahkan, bahkan dituntut untuk mandiri mencari solusi. Padahal, pemerintah lah yang seharusnya bertanggung jawab mengurus urusan rakyat, karena itu, ketika ada kesalahan dalam urusan rakyat, itu menunjukkan pemerintah telah abai dalam menjalankan amanahnya.
Sangat kentara, bahwa penguasa sekarang bukanlah politikus yang faham bagaimana mengurus urusan rakyat. Sebagai gambaran, ketika beras naik rakyat diminta diet, ketika bawang putih mahal rakyat diminta tak usah makan bawang, ketika cabai mahal rakyat diminta tanam sendiri, ketika daging mahal rakyat diminta beralih ke keong sawah. Yang mutakhir, yang kurang lebih maksudnya sama, terkait masalah stunting yang hingga saat ini belum ada solusinya, pemerintah malah menyalahkan ibu-ibu yang ‘doyan’ mengaji. Karena menganggap dengan sering mengaji ibu-ibu jadi lupa mengurus anak dan melupakan asupan gizi anak. Walhasil, rakyat jugalah yang akhirnya dipersalahkan.
Faktor Penyebab Stunting
Melansir dari World Health Organization (WHO), bahwa penyebab stunting adalah gizi buruk, infeksi berulang dan kurangnya stimulasi psikososial. Jika ketiga penyebab tersebut terjadi secara simultan dan terus menerus pada 1.000 hari pertama hidup bayi, maka akan menyebabkan stunting.
Gizi buruk terjadi bukan karena para ibu tidak memperhatikan asupan gizi anak, akan tetapi lebih karena ketidakmampuan dalam mengakses makanan bergizi. Menurut sebuah survei, hampir 68 % penduduk Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan makanan bergizi. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia memiliki harga makanan bergizi tertinggi relatif dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara apabila memperhitungkan daya beli masyarakatnya. Sungguh ironis, negeri kaya sumber daya alam, akan tetapi rakyatnya bak ayam mati di lumbung padi.
Infeksi berulang terjadi karena:
Pertama, kurangnya akses ibu dan anak ke fasilitas pelayanan kesehatan
Kedua, pola hidup yang tidak bersih seperti kesulitan akses air bersih atau tinggal di tempat yang tidak bersih. Sedangkan contoh infeksi yg bisa mempengaruhi bayi antara lain malaria, pneumonia, diare dan cacingan.
Salah satu yang masih menjadi PR besar pemerintah adalah belum meratanya fasilitas pelayanan kesehatan, berupa rumah sakit, klinik atau puskesmas. Hingga saat ini nyatanya fasilitas tersebut masih didominasi Pulau Jawa. Berdasarkan Kemenkes RI, indeks persebaran puskesmas di Indonesia adalah 86,14 % dibandingkan dengan kawasan Indonesia Timur yang berjumlah 4,41 % saja.
Belum lagi, Indonesia dalam keadaan darurat tenaga kesehatan. Untuk diketahui bahwa Indonesia berada di urutan 139 dari 194 negara untuk urusan ketersediaan dokter yang layak. Data ini menunjukkan bahwa Indonesia berada jauh di bawah negara lain dalam hal kurangnya jumlah dokter terutama dokter spesialis dan sub-spesialis termasuk dalam hal pemerataannya. Dari sini Indonesia belum bisa memenuhi ‘golden line’ atau garis emas rasio jumlah dokter yang ideal, yaitu 1/1000 atau 1 dokter per 1000 penduduk. Apabila sebuah negara berhasil memenuhi ‘golden line’, maka dapat dikategorikan berhasil dan bertanggung jawab kepada rakyatnya di bidang kesehatan.
Sayangnya, angka terakhir yang di dapatkan dari WHO dan juga World Bank, rasio Indonesia berada di 0,46/1000. Angka ini membawa Indonesia menempati posisi ‘juara ketiga’ terendah di ASEAN setelah Laos 0,3/1000 dan Kamboja 0,42/1000.
Akses air bersih pun masih menjadi masalah besar di negeri ini, terutama di daerah-daerah terpencil. Disinyalir masih ada kurang lebih 100 juta penduduk Indonesia yang masih kesulitan untuk mengakses air bersih serta tidak mempunyai sarana sanitasi yang baik.
Mengenai stimulasi psikososial, selain gizi yang cukup, bayi juga harus berinteraksi dengan orang yang menjaganya, dengan itu bayi akan mencapai tumbuh kembang yang optimal. Menurut WHO, contoh dari kurangnya stimulasi psikososial adalah anak yang kedua orang tuanya bekerja, kemudian anaknya dititipkan kepada keluarga atau kerabat yang lain.
Sebagaimana kita fahami tidak ada yang bisa menggantikan interaksi antara orang tua khususnya ibu dan anak, sehingga interaksi yang sekedarnya inilah yang akhirnya membatasi stimulasi interaksi yang diterima bayi. Padahal stimulasi ini sangat penting untuk mengembangkan kemampuan kognitif, motorik serta sosial-emosional anak bahkan untuk di masa depannya.
Hampir bisa dipastikan bahwa bekerjanya ibu membantu sang ayah lebih banyak karena faktor kemiskinan, karena penghasilan sang ayah tak juga bisa mencukupi kebutuhan keluarga, akhirnya ibu terpaksa ikut bekerja untuk membantu walau akhirnya harus meninggalkan anak dalam pengasuhan orang lain, bahkan tak jarang menjadi TKI pun rela dijalani untuk mendapatkan tambahan penghasilan untuk penghidupan keluarga.
Berdasarkan laporan Bank Indonesia, jumlah pekerja migran Indonesia diperkirakan sebanyak 3,37 juta orang hingga kuartal III/2022. Jumlah itu telah lebih tinggi 3,4% dibandingkan sepanjang tahun 2021 yang sebanyak 3,25 juta orang.
Stunting Akibat Kemiskinan Struktural Sistem Kapitalisme
Bisa disimpulkan bahwa permasalahan stunting bukan hanya sekedar lalainya seorang ibu dalam mengurus anak, akan tetapi akar permasalahannya adalah kemiskinan yang terstruktur akibat penerapan sistem kapitalisme. Kapitalisme sampai kapanpun tidak akan pernah bisa mengentaskan kemiskinan. Bagaimana tidak, sistem ini adalah sistem buatan manusia yang tidak akan pernah bisa adil, saat diterapkan pasti akan menguntungkan sebagian dan akan merugikan sebagian yang lain bahkan sebagian besar, siapa lagi kalau bukan rakyat yang pada akhirnya banyak dirugikan.
Teori ekonomi kapitalisme yang selalu menekankan bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas, sementara sarana pemuas kebutuhan manusia (barang dan jasa) terbatas, ahirnya melahirkan sistem politik ekonomi yang hanya bertumpu pada aspek produksi semata tanpa memperhatikan lagi aspek distribusi, apakah sarana pemuas tersebut bisa dinikmati oleh rakyat secara keseluruhan ataukah tidak. Sehingga wajar, sekalipun persediaan suatu produk melimpah, tidak menjamin individu per individu rakyat bisa menikmati semua. Tentu yang bisa menikmati hanya orang-orang yang mampu atau kaya saja.
Kekayaan sumber daya alam negeri ini banyak dikuasai oleh segelintir orang bahkan pihak asing, sehingga otomatis keuntungan besar dari eksploitasi ini akan mereka kantongi, sayangnya lagi, ini dilegalisasi pemerintah melalui kebijakan undang-undang. Padahal sumber daya alam ini sejatinya adalah milik rakyat, yang manfaatnya harus kembali kepada mereka.
Kesalahan paradigma ekonomi dalam kapitalisme ini merupakan hal dasar yang menjadikan kemiskinan tidak akan pernah bisa lepas dari negeri ini dan negeri manapun. Maka sudah saatnya kita kembali kepada solusi Islam yang berasal dari Allah pencipta manusia.
Jaminan Islam Dalam Mengatasi Kemiskinan
Islam menjamin kesejahteraan dan akan mampu menjauhkan kemiskinan. Sehingga bukan hanya masalah stunting yang bisa teratasi akan tetapi juga masalah-masalah lain yang sistem kapitalisme tidak pernah bisa mengatasinya.
Gambaran global bagaimana Islam bisa mengatasi kemiskinan adalah :
Pertama, Islam mengatur masalah kepemilikan dimana kepemilikan dalam Islam dibagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.
Dalam pengaturan ini jelas individu tidak boleh memiliki sesuatu yang bisa menguasai hajat hidup orang banyak semisal barang tambang yang jumlahnya tak terbatas, minyak bumi, gas, sumber daya air, hutan dan seterusnya. Dengan pengaturan ini kekayaan tidak akan didominasi oleh segelintir orang seperti yang terjadi pada saat ini dalam sistem kapitalisme.
Kedua, pengaturan pembangunan dan pengembangan ekonomi yang bertumpu pada ekonomi riil, inilah yang menjadikan sistem ekonomi dalam Islam adalah sistem ekonomi anti krisis, ini berkebalikan dengan sistem ekonomi kapitalisme, dimana dalam sistem ini krisis ekonomi akan bersifat ‘cyclic’. Padahal setiap terjadi krisis, otomatis akan menambah angka kemiskinan.
Ketiga, Islam memandang bahwasanya permasalahan ekonomi yang sesungguhnya adalah distribusi, sehingga dalam pengaturannya, Islam akan memberikan jaminan harta kekayaan atau sarana pemuas berupa barang dan jasa akan terdistribusi secara merata ke semua individu rakyat. Dari sini Islam mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan primer individu per individu rakyat dan sekaligus juga menjamin kemudahan dalam meraih pemenuhan kebutuhan sekunder bahkan tersiernya.
Alhasil, sudah saatnya kita campakkan sistem kapitalisme dan kembali kepada sistem Islam yang akan mampu memberikan kesejahteraan juga keberkahan. Sebagaimana termaktub dalam firman Allah Swt.
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan”. (QS Al-A’raf/7: 96)
Wallahu a’lam bis ash shawwab.