Oleh. Ummu Akhtar (Komunitas Setajam Pena)
Direktur Riset & Komunikasi Lembaga Survei KedaiKOPI, Ibnu Dwi Cahyo mengatakan bahwa pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan memberikan efek kabinet gemuk. Menurutnya, kabinet ini harus diisi oleh orang-orang yang mumpuni dan profesional di bidangnya dan memiliki latar belakang pengalaman yang sama dengan kementerian yang akan dipimpin (antaranews.com, 18/09/2024).
Dari wacana yang beredar menyebutkan bahwa jajaran kementerian yang akan mendampingi pemerintahan Prabowo-Gibran berjumlah 44 kementerian. Jumlah ini bertambah dari sebelumnya yaitu 34 kementerian.
Hal ini terjadi karena adanya revisi UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Mulai dari jumlah menteri hingga status wakil menteri. Pada pasal 15 UU Kementerian Negara sebelumnya mengatur jumlah kementerian paling banyak 34, namun diubah menjadi tak terbatas alias sesuai kebutuhan presiden. Padahal sebelumnya pasal itu telah membatasi jumlah kementerian maksimal 34 institusi (tempo.co, 17/09/2024).
Kabinet Gemuk, Apakah Solusi?
Makin banyak jumlah kabinet tentunya akan ada orang-orang baru untuk mengisi jabatan itu. Harapannya akan membawa negeri ini lebih maju dan lebih baik. Namun, harapan baik pun pasti berisiko karena akan bertambah pula anggaran untuk menggaji, sehingga dimungkinkan terjadi pembekakan. Padahal, utang negeri ini masih membumbung tinggi. Jadi, apakah penambahan jumlah menteri akan menjadi solusi atau makin menambah permasalahan?
Perlu diketahui, pasal yang dirombak ini tidak masuk program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024. Selain itu, pembahasan Undang-undang ini menunjukkan kesan pemaksaan dan sarat dengan kepentingan pihak tertentu bukan kepentingan rakyat di negara. Karena, pembahasannya diprioritaskan selesai pada Oktober tahun ini. Tentunya hal yang disegerakan ini memberikan opini negatif publik bahwa adanya kabinet gemuk ini hanya menguntungkan sepihak.
Jika itu terjadi memungkinkan penyelewengan kekuasaan yang akan mengarah pada KKN. Karena ada unsur bagi-bagi kue kekuasaan. Adanya kebijakan yang mudah diubah, dipaksakan serta terburu-buru. Ditambah lagi kebijakan itu hadir di tengah kekacauan. Kenaikan utang negara, pajak naik, beban kebutuhan hidup rakyat naik, serta tingginya kasus moralitas, dan sebagainya. Dari hal-hal tersebut bisa dikatakan bahwa penambahan kabinet akan menjadikan tumpang tindih kebijakan, juga akan menambah persoalan baru.
Sistem Salah Membawa Bencana
Kebijakan bagi-bagi kue kekuasaan adalah hal lumrah dalam sistem politik demokrasi kapitalisme. Pasalnya, kemenangan presiden terpilih ditopang oleh saham-saham yang telah ditanamkan partai maupun non partai. Tidak dimungkiri bahwa biaya pemilu dalam sistem Demokrasi sangat mahal, khususnya biaya kampanye untuk meyakinkan rakyat agar memilih mereka dalam jabatan pemerintahan. Di sini, mereka membutuhkan dana yang sangat besar. Sehingga partai yang mengusung calon presiden membuka ruang saham untuk modal kampanye bagi siapa saja termasuk para korporat.
Ketika kekuasan di tangan, tentunya para pemenang tidak mau rugi. Karena sistem kapitalisme yang memaksa mereka untuk mengambil keuntungan, bahkan harus lebih besar daripada modal. Sayangnya, waktu berkuasa sangat minim, yakni 5 tahun. Sehingga mereka harus bekerja ekstra untuk mengembalikan dan mencari modal demi pemilu berikutnya. Alhasil, amanah yang harusnya dijalankan, menjadi terabaikan, rakyat pun jadi korban.
Bisa dibilang habis manis sepah dibuang. Rakyat tertipu akan janji manis kampanye. Karena, setelah kemenangan banyak kebijakan diubah dan hanya mengutungkan pihak tertentu. Hal ini terjadi karena sistem yang digunakan di negeri ini. Sistem ini adalah sistem setan, karena tidak mau menganggap agama sebagai acuan penerapan aturan. Sebaliknya siapa yang punya modal terbanyak maka berhak membuat kebijakan.
Sistem politik remokrasi kapitalisme adalah biang keladi dari semua aturan yang rusak tersebut. Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan sangat minim, bahkan tidak akan mengubah kondisi negeri ini. Sebab, perundang-undangnya masih didasarkan pada sistem tersebut. Sedangkan dalam pemilu, demokrasi hanya dijadikan sebagai alat bagi elit politik melalui legitimasi masyarakat untuk duduk di kursi kekuasaan.
Pada kondisi ini, mustahil penguasa memikirkan, apa lagi menjalankan peran utamanya sebagai penanggung jawab urusan rakyat. Sebaliknya, penguasa hanya berpikir untuk balas budi kepada mereka yang telah berjasa padanya. Sehingga tak heran jika mereka mendapatkan jabatan. Inilah yang disebut sebagai bagi-bagi kue kekuasaan di pemerintahan.
Islam dalam Pemerintahan
Banyaknya praktik korupsi dalam tubuh pemerintah selama ini diduga kuat bagian dari upaya mendapatkan keuntungan melalui kekuasaan. Sungguh, kekuasaan yang bertujuan untuk melayani rakyat, hanya terealisasi dalam negara yang menerapkan Islam kaffah yakn Khilafah Islamiyah.
Islam telah menetapkan bahwa pemimpin berkewajiban untuk melakukan ri’ayah atau pengaturan terhadap urusan rakyatnya. Makna asal ar-ri’ayah adalah menjaga dan memelihara sesuatu. Itulah tugas pemimpin kepada rakyatnya.
Makna tersebut luas yaitu menjaga dan memelihara agama, jiwa, kehormatan, harta, keturunan, eksistensi manusia, dan negara. Oleh karena itu Islam mengecam keras pemimpin yang tidak menjalankan tugas tersebut. Rasulullah saw.
sampai mendoakan keburukan bagi pemimpin yang memberatkan rakyat yang mereka urus.
Beliau bersabda, “Ya Allah siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah umatku maka susahkanlah dia. Siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia menyayangi umatku, maka sayangilah ia.” (HR. Muslim)
Dalam Khilafah, kekuasaan ada di tangan umat. Sedangkan kedaulatan ada di tangan syariat. Metode baku menurut syariat dalam memilih Khilafah adalah bai’at.
Imam an-Nawawi dalam kitabnya “Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj” (VII/390) telah berkata,” Akad imamah (khilafah) sah dengan adanya baiat atau lebih tepatnya baiat dari Ahul Hali wal ‘Aqdi (AHWA) yang mudah untuk dikumpulkan.”
Ahlul Hali wal Aqdi, orang yang mempunyai kekuatan, kekuasaan, pandangan, dan pengaturan di dalam sebuah negeri. Al Mawardi memberikan tiga syarat untuk Ahlul Hali wal Aqdi. Pertama, adil. Kedua, memiliki ilmu yang bisa digunakan untuk mengetahui orang yang berhak menduduki jabatan imamah (khalifah) berdasarkan syarat yang diakui. Ketiga, memiliki pendapat dan kearifan yang bisa mengantarkan keterpilihan orang yang lebih layak menduduki jabatan imamah (khalifah). Dan mampu mengurusi kemlasahatan umat lebih lurus dan bijak. Ahlul Hali wal Aqdi bisa dianggap mewakili umat untuk menentukan siapa penguasa yang akan memimpin umat. Khususnya dalam melaksanakan fardhu kifayah dalam pengangkatan Khilafah yang tidak harus dilakukan oleh semua orang.
Melalui ketentuan ini. Semua wakil umat atau penguasa yang terpilih adalah orang yang layak. Apalagi khalifah yang dipilih dalan negara Khilafah bukan untuk menjalankan keinginan dan hukum manusia. Tetapiz untuk menjalankan hukum Allah Ta’ala. Sehingga hal ini akan menjauhkan dari kebijakan zalim dan menguntungkan segelintir orang saja. Demikianlah kekuasaan dalam Khilafah, benar-benar berjalan di atas karidor syariat yang membawa kemlasahatan bagi umat manusia. Waalahua’lam bishowab