Oleh. Tsa_bita
(Kontributor MazayaPost.com)
Dalam beberapa artikel media online mencuat wacana yang beredar dan menyebutkan jajaran kementerian yang akan mendampingi pemerintahan Prabowo-Gibran berjumlah 44 kementerian. Jumlah ini bertambah dari yang sebelumnya hanya sebanyak 34 kementerian. Termasuk menjadikan momentum tersebut untuk dimanfaatkan oleh seluruh partai politik dalam merekomendasikan kader yang paling berkualitas untuk menjadi menteri.
Pro kontra terhadap hal itu mencuat, salah satunya dari Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah ‘Castro’ menyatakan jumlah kementerian 34 sebagaimana aturan sebelumnya pun terlalu banyak. Ia menggunakan logika efektif atau tidaknya pemerintahan. Pendapat lain dari Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syahmemandang kementerian-kementerian saat ini justru didominasi kerja-kerja ‘event organizer.’ Seharusnya, kementerian di Indonesia justru dimoratorium, bahkan dikurangi. Contoh Setkab dilebur dengan Setneg, Kemensos dilebur dengan Tenaga Kerja. Kemenko PMK dihapus, Kemenhub dilebur dengan PUPR, dan lainnya (antaranews.com, 18/9/2024).
Kabinet obesitas hanya akan membuka peluang korupsi dan tentu menjadi ajang bagi-bagi kekuasaan balas jasa atas kerja Pemilu atau Pilpres. Berkaca pada kabinet sebelumnya yang sudah dengan 34 kementerian, ternyata tidak berkorelasi positif terhadap kesejahteraan rakyat. Potensi peningkatan beban biaya tunjangan dan gaji di APBN mendatang akan berdampak pada pajak, dimana pajak dibebankan kepada rakyat dikarenakan sumber utama pemasukan APBN adalah pajak, sehingga pajak kemungkinan besar dinaikkan karena penambahan jumlah menteri bahkan bertambahya utang.
Di sisi lain, jobdes tiap kementerian bisa jadi makin tidak jelas, bahkan besar kemungkinan akan tumpang tindih, temasuk dalam membuat kebijakan, sehingga tidak efektif efisien. Juga ada risiko perbesar celah korupsi. Belum lagi jaminan kepentingan rakyat makin menjadi perhatian. Hal ini terkait dengan sistem pemerintahan yang dianut, yang justru banyak berpihak pada para pemilik modal.
Solusi Realistis
Mengurai permasalahan tersebut, terdapat perspektif Islam. Di mana Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur ibadah ritual, tetapi juga kehidupan sehari hari dalam setiap problematika. Termasuk dalam struktur negara. Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), khalifah yang bertanggung jawab karena Amanah kepemimpinan ada padanya. Namun, khalifah boleh mengangkat pembantu/pejabat untuk membantu tugasnya.
Khalifah akan memilih pejabat dengan efektif dan efisien, dengan jobdesk dan tanggungjawab yang jelas, baik dalam urusan kekuasaan maupun non kekuasaan. Struktur jabatan yang efektif efisien adalah yang harus menjadi pertimbangan dalam dampaknya pada keterlaksanaan pengelolaan urusan rakyat. Beban keuangan otomatis akan mengikuti. Artinya boleh mengangkat sesuai dengan kebutuhan dalam melaksanakan tanggung jawabnya tersebut.
Jadi, tidak ada dalam sistem pemerintahan Islam pengangkatan pejabat karena balas budi, apalagi transaksional. Jelas itu perbuatan yang melanggar syariat dan akan dimintai pertanggungjawaban di hari perhitungan. Maka dengan perspektif Islam tersebutlah, pengelolaan negara akan berdampak pada kesejahteraan dan hak hak rakyat yang terpenuhi secara optimal oleh negara. Di samping itu, tercapai keberkahan dalam kehidupan karena ketaatan kita kepada aturan aturan Islam. Dengan demikian, masyarakat bisa menilai seberapa berhasil partai politik melakukan kaderisasi para kadernya menjadi tokoh yang berkualitas. Wallahualam bisawab.