Oleh : Elfia Prihastuti, S.Pd
(Praktisi Pendidikan)
Secara global, poblem pengangguran masih menjadi perkara yang sulit dientaskan.Tidak terkecuali di Indonesia. Padahal berbagai jurus telah dikerahkan. Namun pengangguran seolah menjadi problem warisan dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya. Pengangguran muncul ketika pencari kerja yang ada secara absolut maupun relatif lebih besar jumlahnya dibandingkan lowongan kerja sehingga tidak mampu terserap oleh pasar kerja.
Data BPS menunjukkan terdapat 937.176 orang pencari kerja pada 2022. Sedangkan total lowongan kerja yang tersedia tidak menyentuh seperempat dari total pencari kerja yakni sebesar 59.276 lowongan kerja pada tahun 2022. Jumlah ini sebenarnya mengalami penurunan sebesar 88.33% dibanding dengan tahun 2021. Sementara, angka pencari kerja pada tahun 2021 sebesar 2.737.799 jiwa, sedangkan lowongan yang tersedia sebesar 507.799 jiwa. (Katadataco.id, 20/5/2023)
Ketimpangan ini turut menyumbang angka pengangguran di negeri ini. Hingga Pebruari 2023 angka pengangguran telah mencapai 7,99 juta dari total angkatan kerja sebesar 146,62 juta tenaga kerja. Itupun mengalami penurunan sebesar 0, 38% dibandingkan tahun 2022. (Liputan6.com, 5/5/2023)
Jurus Pemerintah Tekan Angka Pengangguran
Pemerintah mengharapkan tingkat pengangguran terbuka akan terus menurun pada tahun depan. Tentu hal ini menjadi PR besar. Berbagai langkah untuk memangkas pengangguran dilakukan penguasa negeri ini. Hal-hal umum yang dilakukan pemerintah seperti mengadakan Padat Karya, Pelatihan, menggelar Job Fair, kartu pra kerja dan lainya.
Sementara program yang menjadi jurus andalan pemerintah adalah Program Peta Okupasi Nasional. Program ini menjadi sebuah upaya penciptaan link and match tenaga kerja. Diketahui Peta Okupasi Nasional merupakan peta kebutuhan okupasi riil IDUKA (Industri dan dunia kerja) pada suatu area fungsi yang berisi definisi dan diintegrasikan ke dalam kerangka kualifikasi yang dapat menjadi acuan dalam perencanaan dan pengembangan standardisasi.
Aplikasi dari program ini tampak pada perbandingan jumlah SMK dan sekolah umum lainnya. Jumlah SMK memiliki perbandingan yang lebih besar dibandingkan dengan SMA atau pun Madrasah Aliyah. Karena SMK dinilai memiliki akses untuk menekan angka pengangguran yang kian tak terbendung. Namun faktanya, alih-alih menekan laju angka penganguran, justru SMK saat ini menjadi penyumbang terbesar jumlah pengangguran di negeri ini.
Salah Bidik
Masalah pengangguran sejatinya terkait dengan dua persoalan yang perlu diselaraskan. Pertama, masalah kualifikasi para pencari kerja. Hal ini perlu kesiapan dari para pencari kerja agar siap mengisi lowongan pekerjaan yang ada. Maka penyediaan fasilitas-fasilitas pelatihan sangat diperlukan.
Kedua, masalah yang tak kalah penting dari masalah pertama adalah penyediaan lapangan pekerjaan.
Kalau kita perhatikan, pemerintah hanya fokus pada menyiapkan tenaga kerja. Sedang penyediaan lapangan kerja belum menjadi pembahasan utama. Padahal dari sinilah masalah itu muncul dan perlu kesungguhan penanganannya.
Sayangnya, pemerintah justru menggelar karpet merah bagi tenaga kerja asing dalam mengisi lowongan kerja di negeri ini. Jelas hal itu akan mempersempit kesempatan para pencari kerja lokal untuk memperoleh pekerjaan. Sementara, persoalan PHK semakin menjadikan permasalahan pengangguran ini membesar.
Belum lagi menghadapi kemajuan tekhnologi, yang memaksa pergantian tenaga manusia dengan kecanggihan mesin. Hal ini, menjadikan problem pengangguran semakin kompleks.
Berubah Haluan
Tak dapat dipungkiri pengangguran berkorelasi positif dengan kemiskinan. Sedangkan kemiskinan menjadi salah satu faktor pemicu berbagai kerawanan sosial, sekaligus menjadi indikator minimnya tingkat kesejahteraan. Meski segala jurus dikerahkan, Namun kebijakan atas permasalahan-permasalahan yang terjadi, selalu tidak menyentuh akarnya.
Terkait pendidikan vokasional sebagai upaya memberikan kualifikasi bagi angkatan kerja, ternyata hanya berkutat pada mengaktualisasi kurikulum semata. Wajar jika out put yang dihasilkan tidak sepenuhnya siap memasuki dunia kerja. Sehingga fakta yang ada, justru SMK berkontribusi dalam menambah jumlah angka penganguran. Begitu juga dengan kartu pra kerja, menjadi program yang tidak sampai pada garis finis penyelesaian.
Walaupun proses kualifikasi yang dilakukan merupakan hal penting, namun permasalahan yang lebih penting dari hal itu adalah minimnya masyarakat dalam mendapatkan akses lapangan kerja dan lesunya dunia usaha.
Orientasi negara yang bertumpu pada investasi asing, membuat negara bergantung pada negara investor. Padahal hal ini akan menyebabkan tenaga kerja asing mengelola kekayaan negara. Sekaligus menjadikan negera terjerat pada suntikan dana ribawi yang akhirnya menyeret aset-aset negara. Oleh karena itu, negara dengan kekayaan melimpah ruah ini akhirnya berpindah menjadi milik asing, tidak bisa digunakan untuk kepentingan rakyat.
Berbagai permasalahan yang selalu mengambang berasal dari paradigma kapitalisme liberal yang menjadi pedoman negeri ini. Negara hanya setengah hati dalam mengurusi rakyatnya. Peran negara hanya sebatas regulator. Kebijakan ekonomi bahkan politiknya disetir dan diarahkan oleh kekuatan kapitalisme global, membuat kekuasaan oligarki makin mencengkeram, hingga roda ekonomi pun sangat mudah disetir oleh kepentingan negara-negara besar.
Menciptakan lapangan kerja seharusnya menjadi prioritas utama. Sebab Indonesia mengalami era bonus demografi. Jika potensi ini dimanfaatkan sebaik-baiknya, maka Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadi negara yang kuat dan berdaya. Namun sebaliknya, akan menjadi malapetaka jika tidak dikelola dengan baik.
Untuk itu, Indonesia perlu berubah haluan. Sebab sistem yang dijadikan pedoman negeri ini tidak mampu memberi kontribusi kebaikan. Sudah saatnya mengubah haluan pada sistem yang lebih baik.
Islam, Jurus Ampuh Atasi Ketimpangan Pencari Kerja dan Lapangan Kerja
Paradigma kepemimpinan dalam Islam, negara adalah penjaga dan pelayan yang mengurusi rakyatnya. Apapun yang dilakukan oleh negara merujuk pada aturan pencipta. Setiap pemimpin menjadi pelayan dan pengurus bagi rakyat dengan landasan ketakwaan pada Tuhannya.
Mekanisme kesejahteraan dalam Islam diawali dengan kewajiban bagi para laki-laki sebagai seorang suami dan ayah. Ia mempunyai kewajiban untuk mencari nafkah. Karena sumber pemenuhan kebutuhan keluarga berasal dari nafkah seorang laki-laki. Maka menjadi tugas negara untuk memberikan kemudahan bagi para laki-laki untuk mengakses lapangan pekerjaan.
Negara menyediakan lapangan pekerjaan, dengan cara membuka seluas-luasnya akses untuk mendapatkan pekerjaan. Negara juga mencegah swasta menguasai aset-aset milik umum, apalagi asing. Tidak mengembangkan sektor nonriil yang akan menghentikan laju perekonomian.
Negara juga mengembangkan sektor-sektor berpotensi seperti pertanian, perkebunan, dan pertambangan dengan optimal. Sedang hasil pengembangannya di peruntukkan bagi kesejahteraan rakyat sepenuhnya. Juga, memudahkan layanan publik, seperti penyediaan air, listrik secara gratis atau murah. Negara juga memberikan modal untuk menyuburkan dunia usaha, sehingga perekonomian berjalan dinamis.
Demikianlah, semua berjalan sesuai konsep-konsep yang telah ditetapkan syari’at dengan prinsip bahwa negara adalah pelayan dan pengurus rakyat.
Wallahua’lam bis shawab.