Oleh HM Ali Moeslim
NASIONALISME memang bisa dijadikan alat menyatukan suatu bangsa, tetapi nasionalisme juga bisa jadi alat pemecah-belah. Fakta yang tak terbantahkan bahwa dulu Timor Timur (Timor Leste) lepas dari Indonesia karena nasionalisme yang dimiliki oleh orang Timor Timur (Portugis). Mereka merasa sebagai bangsa yang berbeda dari bangsa Indonesia. Memang ada banyak faktor lain yang mendorong mereka lepas dari Indonesia. Saat ini Papua juga ingin lepas dari Indonesia. Salah satunya karena merasa sebagai bangsa yang berbeda.
Nasionalisme adalah suatu paham yang menganggap kesetiaan tertinggi atas setiap pribadi harus disertakan kepada Negara kebangsaan (nation state) atau sebagai sikap mental dan tingkah laku individu maupun masyarakat yang menunjukkan adanya loyalitas dan pengabdian yang tinggi dan di atas segalanya itu adalah loyalitas terhadap bangsa dan negara.
Bagaimana Islam memandang faham Nasionalisme? Hal ini menyangkut bahasan Cinta, sebagai fitrah manusia atau salah satu dari potensi kehidupan manusia. Namun ketika cinta ini menjadi karakter atau faham yang menjadi keyakinan di atas segalanya apakah Islam membolehkan?
Islam memandang Nasionalisme itu adalah salah satu dari Cinta Palsu, artinya ’Ashabiyyah yang Dicela Rasulullah SAW.
Di antara hal yang wajib diwaspadai kaum Muslim adalah cinta palsu, cinta pada sesuatu yang semu bahkan menjerumuskan pada kebinasaan. Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa saja yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari al-Jamâ’ah (al-Khilâfah), kemudian ia mati, maka matinya seperti mati jahiliyyah. Siapa saja yang berperang di bawah bendera kefanatikan, ia marah karenanya, atau menyerukannya serta mendukungnya, kemudian ia mati terbunuh, maka matinya seperti mati jahiliyah. Siapa saja yang memisahkan diri dari umatku, kemudian menyerang orang-orang yang baik maupun yang fajir tanpa mempedulikan orang Mukmin di antara umatku, dan tidak pernah mengindahkan janji yang telah dia buat, maka ia tidak termasuk golonganku dan aku pun tidak termasuk golongannya.” (HR Muslim, al-Baihaqi dan an-Nasa’i).
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’ (hlm. 313) menguraikan: Al-’Ashabiyyah: dukungan bagi orang yang penting bagimu urusannya, baik dalam kebenaran maupun kebatilan; di antaranya dalam hadis: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menyerukan ’ashabiyyah.”
Watsilah binti al-Asqa’ berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah saw., apa itu ’ashabiyyah?” Beliau menjawab:
أَنْ تُعِينَ قَوْمَكَ عَلَى الظُّلْمِ
“Engkau membantu kaummu di atas kezhaliman” (HR Abu Dawud dan al-Baghawi).
Allah SWT telah berfirman;
“Katakanlah, Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS at Taubah ayat 24)
Dr. Nazreen Nawaz, menyampaikan pidato yang sangat menggugah dengan judul : “Negara Bangsa – Sebuah Alasan untuk Tidak Bertindak”; Nasionalisme adalah penyakit yang membuat mereka memandang penderitaan (dan penderitaan umat Islam) di negeri lain sebagai masalah asing yang tidak ada hubungannya dengan mereka.
Nasionalisme adalah penyakit yang melucuti bangsa dan negara dari kemanusiaan, membuat mereka berdiri diam dan lumpuh di tengah genosida tanpa kemauan politik untuk bertindak, kecuali untuk kepentingan nasional mereka.
Apakah panutan dan suri tauladan kita tidak memiliki cinta tanah air? Rasulullah SAW saat pergi hijrah meninggalkan Mekkah menuju Madinah pernah berkata kepada kota Mekah “Engkau adalah negeri yang paling baik dan yang paling aku cintai, kalau bukan lantaran kaumku mengusirku darimu, aku tidak akan tinggal di negeri selainmu”.
Perlu difahami bahwa Ikatan iman yang paling kuat adalah: loyalitas kepada Allah dengan mencintai dan membenci karena Allah (HR al-Hakim dan ath-Thabarani).
Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H) dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam (hlm. 390), menegaskan bahwa pertanda manisnya iman adalah manakala seseorang mencintai orang lain semata-mata karena Allah; melarang dirinya loyal kepada musuh-musuh Allah dan siapa saja yang Allah benci secara umum.
Nasionalisme sebetulnya merupakan pemersatu yang lemah, bahkan bisa jadi menjadi alat pemecah-belah. Semua bergantung pada tafsiran masing-masing. Karena itu diperlukan titik pemersatu yang lebih kokoh.
Persatuan, di mana pun dan kapan pun, harus ada titik yang menyatukan. Jika tidak ada yang menyatukan, persatuan pasti akan lenyap. Yang menyatukan bisa saja berupa figur tokoh tertentu, kesamaan kepentingan, kesamaan nasib, kesamaan bangsa, atau kesamaan pemahaman tertentu tentang kehidupan (ideologi).
Dalam Islam, orang tak akan pusing tentang siapa yang menjadi pemimpin, apapun bangsanya. Yang penting pemimpin itu amanah, memiliki kapabilitas, serta menjalankan kepemimpinan seperti ajaran yang mereka pahami, yaitu Islam.
Saat Islam secara kaffah diterapkan, insya Allah keadilan dan kesejahteraan akan terealisasi. Para pemimpin di dalam Islam juga akan sekuat tenaga bekerja untuk rakyat. Sebab mereka memahami bahwa kekuasaan mereka akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT.
Dalam Islam, rasialisme juga dibuang jauh-jauh. Semua orang hakikatnya sama di hadapan Allah. Semua manusia sama. tidak lebih dan tidak kurang. Yang membedakan manusia hanyalah karena ketakwaannya kepada Allah SWT.
Saat Islam tidak diterapkan, seperti saat ini, yang ada hanya kepentingan. Jika kepentingan mendominasi, keadilan dan kesejahteraan akan hilang. Yang ada hanya kepentingan kelompok tertentu, partai. golongan para penguasa, pengusaha dan kelompok kelompok lainnya.
Jadi, agenda jangka panjang adalah menerapkan Islam dalam kehidupan agar keadilan, kesejahteraan dan persatuan benar-benar terwujud.
Bandung, 5 Agust 2024/1 Safar 1446