Oleh. Dwi Lis
(Komunitas Menulis Setajam Pena)
Saat ini pinjaman online (pinjol) kian marak. Pinjol menjadi solusi utama dan paling cepat bagi masyarakat dalam mengatasi finansial mendesak di era yang serba digital. Alhasil, utang masyarakat kepada pinjol per Mei 2023 tembus angka Rp51,46 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 38,39 persen disalurkan kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Jumlah penyaluran pada pelaku usaha perseorangan sebesar Rp 15,63 triliun dan badan usaha sebesar Rp 4,13 triliun (jawapos.com,12/7/202).
Data outstanding pembiayaan tersebut adalah nilai pokok pinjaman dari masyarakat yang masih beredar melalui pinjaman online dimana jumlah tersebut masih bisa naik ataupun turun serta bukan angka pinjaman yang bermasalah,” ungkap Aman Santosa selaku Kepala Departemen Literasi Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK.
Sedang untuk pinjaman yang bermasalah atau kredit macet pinjol disebut tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90). Angka ini ukuran tingkat penyelesaian kewajiban yang lalai untuk membayar pinjaman diatas 90 hari sejak tanggal jatuh tempo. Anggota Dewan Komisioner OJK yang membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen yakni Frederica Widya Sari Dewi mengatakan bahwa orang yang mudah terjebak dalam kredit macet adalah individu yang cenderung menggunakan pinjol untuk memenuhi kebutuhan konsumtif gaya hidup di antaranya adalah pembelian gawai baru karena mengikuti tren,belanja pakaian terkini,rekreasi ke tempat-tempat terpopuler hingga membeli tiket konser musik (katadata.co.id, 12/7/2023).
Tren pinjol yang kian meningkat baik individu,masyarakat, dan UMKM sejatinya tak lepas dari efek penerapan sistem kapitalis yang mana melahirkan gaya hidup hedonis, materialistis, ataupun kurang modal dalam bisnis serta salah perhitungan bisnis pada UMKM. Walhasil, pinjol menjadi sasaran utama sebagai solusi yg mudah dan cepat.
Dalam sistem kapitalisme, peran negara sangat minim dalam menjamin pemenuhan kebutuhan hidup rakyatnya baik sandang, pangan, ataupun papan. Hubungan antara negara dengan rakyat bak penjual dengan pembeli. Segala komoditas dikapitalisasi seperti pendidikan, kesehatan, dan perdagangan. Sehingga rakyat harus berjuang sendiri mencari solusi di tengah himpitan hidup yang semakin sulit.
Hal ini sangat kontradiktif dengan Islam. Dalam Islam, pinjol termasuk aktivitas pinjam-meminjam online yang disertai bunga atau riba. Sedangkan riba dalam Islam hukumnya haram. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Baqarah 275 yang artinya, “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Rasulullah saw. juga bersabda, “Telah melaknat pemakan riba, penyetor riba (nasabah),penulis transaksi riba dan dua saksi riba. “Kata Rasul” Semuanya sama dalam dosa.” (HR.Muslim, No.1598)
Islam juga mengajarkan pentingnya memahami skala prioritas kehidupan termasuk dalam pemenuhan kebutuhan hidup baik primer, sekunder, dan tersier agar manusia tidak terjebak hidup boros dan berfoya-foya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Isra ayat 27 yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar terhadap Tuhannya.”
Dalam Islam, negara akan bertanggung jawab penuh akan pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Negara akan menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya, memberikan modal pada pelaku usaha tanpa riba. Ditambah dengan negara memberikan fasilitas-fasilitas penting seperti, kesehatan, pendidikan.
Hal ini akan membantu masyarakat agar harta yang dimilikinya dapat fokus untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, maupun papan. Hal ini akan terwujud ketika negara menerapkan syariat Islam secara kaffah.
Wallahu a’lam bishowab.