Oleh: Wida Nusaibah (Pemerhati Masalah Sosial)
Jangan mudah melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ketika sedang menghadapi persoalan baik dengan pasangan, anak, orang tua, maupun anggota keluarga yang lain. Berpikirlah tenang dan cari solusi dengan kepala dingin. Begitulah seharusnya yang dilakukan ketika menghadapi persoalan rumah tangga. Faktanya, tidak semua orang mampu mengendalikan emosinya, sehingga dengan mudah melakukan tindakan KDRT.
Seperti yang dilakukan oleh seorang pria bernama Jali Kartono yang membakar istrinya sendiri, Anie Melan. Aksi kekerasan tersebut dilakukan di kediaman pribadinya, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, pada Selasa (28/11/2023). Aksi nekat Jali membakar istrinya hidup-hidup lantaran terbakar api cemburu setelah melihatnya chatting dengan pria lain (megapolitan.kompas.com, 5/12/23).
Kasus kekerasan di atas bukanlah satu-satunya. Banyak sekali kasus serupa terjadi yang korban maupun pelakunya adalah keluarga sendiri. Misal saja kekerasan seorang suami kepada istrinya, kepada anaknya, orang tuanya maupun yang lain. Tindakan emosional tersebut dilakukan ketika menghadapi persoalan dalam rumah tangganya.
Kekerasan seakan menjadi solusi terpecahkannya masalah yang sedang dihadapi. Padahal, tindakan tersebut justru memperparah permasalahan dan memperkeruh suasana. Bagaimana tidak? Bukannya masalah selesai, hubungan dengan keluarga justru menjadi hancur. Bahkan, jeruji besi pun sedang menanti untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Maraknya kasus KDRT merupakan masalah serius yang mencerminkan terjadinya kerusakan pada tatanan keluarga saat ini. Keluarga bukan lagi menjadi pelindung terdekat. Rumah juga tidak lagi menjadi tempat teraman dan nyaman bagi penghuninya. Rumahku surgaku hanya tinggal slogan. Faktanya, rumah justru menjadi neraka.
Pasti ada banyak faktor yang menjadi pemicu terjadinya KDRT, baik dari internal maupun eksternal. Kerapuhan mental individu saat ini merupakan buah dari cara pandang kehidupan berdasarkan Sekularisme dan Kapitalisme yang diterapkan pada semua lini kehidupan dan semua lingkungan.
Sekularisme yang tidak mau kehidupan diatur oleh agama dan kapitalisme yang menjunjung tinggi kebebasan, serta lebih berorientasi pada materi telah mencetak individu-individu yang jauh dari agama. Tak heran, mereka mengabaikan halal haram dalam tindakannya, karena perbuatannya lepas dari hukum syarak. Padahal, ketika manusia meninggalkan aturan Allah Sang Pencipta maka yang terjadi adalah berbagai kerusakan.
Hal tersebut jelas berbeda dengan aturan Islam yang mampu menciptakan tatanan keluarga yang benar. Sebab, Islam memiliki aturan sempurna termasuk mengatur interaksi dalam rumah tangga maupun kehidupan umum.
Dalam Islam, diberikan gambaran jelas terkait hak dan kewajiban suami terhadap istri dan keluarganya, begitu pula sebaliknya. Islam juga memerintahkan seorang istri taat pada suaminya. Namun, jika seorang istri durhaka terhadap suaminya maka bukan kekerasan yang harus dilakukan. Akan tetapi, Islam memberikan tahapan dalam penyelesaiannya sebagaimana Allah berfirman dalam surah An-Nisa ayat 34.
Seorang suami harus berbuat baik pada istrinya. Namun, ketika istrinya melawan atau durhaka maka yang pertama harus dinasihati atau diingatkan tanpa memisahkannya dari tempat tidur. Jika masih tetap melawan, maka dipisahkan tempat tidurnya atau pisah ranjang. Jika masih saja melawan, maka boleh dipukul dengan pukulan yang bukan untuk menyakiti. Jika kedurhakaan istrinya masih berlanjut dan tak bisa berubah, maka suami boleh menceraikannya dengan cara yang baik, bukan dengan kekerasan.
Dengan saling memahami hal dan kewajiban dalam keluarga yang semua dilakukan atas landasan keimanan terhadap Allah Swt., maka akan terwujud keluarga yang baik. Di situlah, rumahku surgaku akan terpenuhi. Di mana keluarga yang baik akan menjadi cikal bakal terwujudnya masyarakat yang baik pula. Sebab, keluarga tersebut menjadi contoh bagi masyarakat.
Semua itu tidak lepas dari peran negara yang menerapkan aturan Islam secara total. Sebab, negara Islam akan memiliki pemimpin yang menerapkan kepemimpinan berlandaskan akidah Islam, yakni mengurus urusan rakyatnya dengan pemahaman sebagai pelaksanaan dari perintah Allah Swt.
Pemimpin negara Islam juga akan mendidik masyarakat atas landasan iman agar setiap perbuatannya terikat hukum syarak. Dengan terwujudnya keimanan individu, maka akan terwujud masyarakat yang memiliki kepribadian Islam. Dengan begitu, masyarakat akan mampu mengendalikan dirinya di jalur yang Allah perintahkan agar berjalan baik dan tidak membahayakan jiwanya maupun orang lain, sehingga kekerasan pun tidak akan menjadi pilihan dalam melampiaskan kemarahannya. Wallahu a’lam bishawab!