Jangan Biarkan Wabah Menjadi Lumrah*

Oleh. Sri Rahayu Lesmanawaty
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Demam berdarah dengue (DBD) yang merupakan penyakit demam serius yang ditularkan oleh nyamuk betina Aedes aegypti dan menyerang sistem peredaran darah manusia, kembali mewabah. Berdasarkan data kumulatif sebaran kasus dengue Kementerian Kesehatan per 18 Maret 2024, total kasus sudah mencapai angka 35.556 kasus. Dengan lima provinsi yang menyumbang kasus terbanyak adalah Jawa Barat 10.428 kasus, Jawa Timur 3.638 kasus, Sulawesi Tenggara 2.763 kasus, Kalimantan Tengah 2.309 kasus, Kalimantan Selatan 2.068 kasus dan Lampung 1.761 kasus (Tempo.co, 24/3/2024).

Selama periode 2013—2023, kasus DBD di Indonesia mengalami perkembangan yang fluktuatif. Adakalanya naik, terkadang mengalami penurunan. Sebagai contoh, pada 2013, data penyakit DBD mencapai 112.511 kasus, sedangkan 2014 jumlah kasusnya menurun hanya berkisar 100.347 kasus, dan pada 2015 berdasarkan data yang ada terdapat sebanyak 129.500 kasus. Namun, pada 2016, terjadi lonjakan kasus DBD yang cukup tinggi hingga 204.171 kasus. Jumlah kasus ini merupakan angka tertinggi kasus DBD dalam kurun 10 tahun terakhir (Goodstats, 23/2/2023).

Tragisnya, sekalipun berbagai upaya uuntuk mengendalikan angka DBD digagas Kemenkes (2021-2025) dalam enam strategi yang terdiri dari, (1) penguatan manajemen vektor yang efektif dan berkesinambungan; (2) peningkatan akses dan mutu tatalaksana dengue; (3) penguatan surveilans dengue yang komprehensif serta manajemen KLB yang responsif; (4) peningkatan pelibatan masyarakat yang berkesinambungan; (5) penguatan komitmen pemerintah, kebijakan manajemen program, dan kemitraan; (6) pengembangan kajian, intervensi, inovasi, dan riset sebagai dasar kebijakan dan manajemen program berbasis bukti; ternyata DBD tetap belum bisa teratasi.

Jangan Sampai Wabah Jadi Lumrah!

Sebagai penyakit endemis, DBD merupakan penyakit yang sebarannya cukup signifikan di Indonesia sebagai wilayah yang khas tropis dan subtropis. Dengan iklim seperti ini, terkait dengan periayahan kesehatan rakyat, DBD sudah semestinya mendapat perhatian khusus dan serius dari penguasa karena kasus DBD termasuk penyakit yang memiliki trending berulang, baik turun atau pun naik di Indonesia. Jika tidak ditangani lebih serius atau terlambat, penyakit ini sangat berisiko dengan dampak buruk bahkan kematian.

Terkait DBD, tindakan preventif dan kuratif harus dilakukan secara serius. Pengetahuan terkait penyakit ini pun sudah semestinya diketahui masyarakat agar kewaspadaan selalu ada. Dan tentunya rakyat butuh diedukasi.

Sayang seribu sayang, minimnya akses pendidikan bagi sebagian masyarakat menjadikan minim pula literasi terkait berbagai penyakit, tidak terkecuali tentang DBB. Suatu hal yang wajar, saat kebutuhan dasar rakyat, seperti pendidikan dan kesehatan belum terpenuhi secara merata karena kemiskinan yang menimpa (cuan tak ada, sehat pun tak bisa) sanitasi lingkungan tidak sehat sebagai sarana penghantar berbagai penyakit menjadi semakin niscaya.

Sistem kapitalisme telah menyebabkan semua itu terjadi. Jaminan sejahtera yang seharusnya dirasa menjadi nihil tak tersedia. Sehingga saat wabah suatu penyakit merajalela menjadi lumrah saja walau banyak rakyat binasa.

Sungguh, jika memang benar-benar perhatian serius dan tulus direalisasi oleh penguasa tanpa menggunakan paradigma kapitalistik yang licik, tentunya wabah penyakit (DBD) takkan terus berulang terjadi dengan tren kenaikan yang fantastis.

Paradigma kapitalistik telah mewujudkan kesehatan menjadi sektor jasa yang dibisniskan layaknya transaksi jual beli. Vaksin DBD yang sudah tersedia tak bisa didapat rakyat secara gratis. Rakyat harus mengeluarkan biaya tak sedikit per dosis.

Dikutip dari Suara.com (27/3/2024), harga vaksin demam berdarah di Indonesia berkisar antara Rp600.000 sampai Rp1 juta. Hal itu tergantung pada Rumah Sakit yang menyediakannya. Dengan harga ini belum tentu semua rakyat bisa beli. Harga yang cukup mahal bagi rakyat yang hidup pas-pasan atau miskin. Alasan kapasitas produksi vaksin DBD di dalam negeri yang masih sangat terbatas dan cukup lama, menjadi dalih penguasa atas keterbatasan kemampuannya untuk menggratiskan.

Miris. Wabah menjadi lumrah. Binasa menjadi biasa. Upaya tetap tak berguna jika secara sistemis realisasi penanganan kesehatan masih berbasis kapitalis. Tiga entri poin ditampakkan dalam sistem buruk ini.

Pertama, sistem kapitalis menjadikan ruang hidup rakyat memprihatinkan. Kebutuhan asasi terkait papan (tempat tinggal) belum diurusi dengan baik. Data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), mayoritas masyarakat Indonesia tidak bisa mengakses rumah layak huni. Bagaimana bisa, jika untuk mendapatkannya saja butuh materi. Tak ada uang hidup pun menggelandang. Alhasil, jangankan bisa menjaga lingkungan agar bersih dan sehat, memiliki rumah layak huni jauh angan dari harapan. Nihil asa hidup sengsara.

Sistem kapitalisme menjadikan negara menyerahkan urusan pengadaan perumahan kepada swasta. Tentunya jika swasta sudah menjadi pemainnya, orientasi keuntungan menjadi utama, alhasil rakyat tetap tak punya papan untuk hidupnya.

Kedua, sistem kapitalis mewujudkan mayoritas masyarakat Indonesia miskin. Kebijakan pro pengusaha ditetapkan. Adanya kebijakan upah dalam UU Omnibus Law Cipta kerja, menjadikan upah buruh makin rendah. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin menjadi trending hidup di negeri ini. Oligarki berduit telah memangkas kemampuan rakyat untuk meraih mapan materi. Hingga dengan kondisi ini bagaimana rakyat bisa memenuhi asupan bergizi, untuk bisa makan saja sulit. Padahal untuk keberhasilan penanganan DBD salahsatunya adalah imunitas tubuh yang harus terjaga.

Ketiga, sistem kapitalisme menihilkan jaminan kesehatan. Jika ada pun, senyatanya rakyat harus membayar premi (contoh BPJS). Akses layanan sehat menjadi tidak mudah untuk rakyat. Akses kesehatan hanya bisa dirasakan segelintir orang saja, padahal penderita DBD harus segera ditangani agar risiko kematian bisa dihindari. Fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan pun menumpuk di perkotaan, tetapi minim di pedesaan. Risiko besar wabah masih menyambar di selasar negeri Indonesia.

Demikianlah kebijakan kapitalistik telah menyakiti hidup publik. Memandulkan berbagai program dan upaya. Menihilkan progres sehat dan sejahtera. Melumrahkan wabah walau berbahaya.

Islam Tak Biarkan Wabah Membinasakan Rakyat

Dalam sistem Islam, mekanisme preventif dan kuratif dalam mengatasi suatu wabah atau penyakit yang tersebar di tengah masyarakat direalisasikan sebagai perwujudan dari terselenggaranya jaminan kesehatan dari negara untuk rakyatnya. Negara tidak akan membiarkan adanya kebinasaan dalam kehidupan rakyatnya dikarenakan adanya wabah.

Reaksi cepat tanggap tanpa birokrasi yang menghambat akan diwujudkan oleh negara saat mendapati rakyatnya didera kesulitan termasuk jika rakyat tertimpa wabah. Negara secara preventif dan kuratif akan menguatkan pilar-pilar tertentu di tengah masyarakat.

Secara preventif negara akan menguatkan beberapa pilar diantaranya,

1. Pilar jaminan kesehatan setiap individu rakyat.
2. Pilar edukasi rakyat terkait pencegahan penyakit dan pola hidup sehat
3. Pilar pendanaan untuk riset teknologi mutakhir untuk pencegahan penyakit
4. Pilar pendidikan berbasis aqidah Islam umtuk melahirkan sosok-sosok calon cendekiawan dan ilmuwan yang bersyahsiah Islam yang mampu merealisasikan ilmunya untuk kemaslahatan umat.
5. Pilar jaminan kesejahteraan bagi seluruh rakyat hingga rakyat memudahkan mereka memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Jika rakyat sejahtera, makanan dan nutrisi mereka akan tercukupi sehingga lahirlah masyarakat sehat. Jika rakyat sehat, berbagai penyakit akan tereliminasi dengan sendirinya.

Secara kuratif negara akan memastikan beberapa hal penting,

1. Kesiapan fasilitas kesehatan di seluruh wilayah, termasuk tenaga kesehatan yang kompeten agar sigap dan cepat tanggap terhadap pasien yang membutuhkan tindakan medis dengan penanganan yang tepat.
2. Tidak ada pungutan apa pun dari rakyat untuk akses layanan kesehatan karena kesehatan merupakan kebutuhan asasi yang wajib dipenuhi dan dijamin negara secara gratis.
3. Berbagai upaya pemberantasan sarang nyamuk bersama rakyat dilakukan secara berkelanjutan.

Demikianlah, Islam dengan sistemnya yang paripurna tak akan membiarkan wabah membinasakan rakyat. Penanganan kesehatan yang mumpuni dilakukan agar terwujud masyarakat sehat, unggul dan sejahtera. Wabah teratasi, sehat terealisasi, sehingga yang lumrah terjadi hanyalah rahmat bagi seluruh alam secara hakiki. Wallaahu a’lam bisshawaab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi