Islam Solusi Krisis Kesehatan dan Pandemi


Oleh: Yustina Yusuf

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) bekerja sama dengan pihak berwenang Kamboja, telah menemukan dua kasus flu burung H5N1 pada manusia di negara itu. Kasus yang telah dikonfirmasi itu terjadi pada sebuah keluarga. Pihak berwenang Kamboja pada Kamis (23/2) melaporkan kematian seorang anak perempuan berusia 11 tahun karena H5N1. Pemerintah mulai melakukan pengujian terhadap 12 orang yang memiliki kontak langsung dengan korban. Ayahnya, yang menunjukkan gejala, juga dinyatakan positif terkena virus.

Dr. Sylvie Briand, Direktur Kesiapsiagaan dan Pencegahan Epidemi dan Pandemi WHO, menggambarkan situasi di negara tersebut sebagai “mengkhawatirkan” menyusul terjadinya peningkatan kasus pada burung dan mamalia baru-baru ini.

“Situasi global H5N1 mengkhawatirkan, mengingat meluasnya penyebaran virus pada burung di seluruh dunia dan meningkatnya laporan kasus pada mamalia, termasuk manusia,” kata Briand. “WHO menganggap risiko dari virus ini serius dan mendesak kewaspadaan tinggi dari semua negara.” Briand mengatakan belum jelas apakah ada penularan dari manusia ke manusia, yang merupakan alasan utama untuk fokus pada kasus di Kamboja. Bisa juga kedua kasus tersebut disebabkan oleh kondisi lingkungan yang sama. kemungkinan kontak dekat dengan unggas yang terinfeksi atau hewan lain. (voaindonesia.com)

Menurut para pakar, ancaman soal kemungkinan virus flu burung menjadi sumber wabah baru layaknya Covid-19 sangat kecil peluangnya. Sebab, virus flu burung tidak dapat ditularkan langsung dari unggas ke manusia, namun harus melalui hewan perantara, seperti babi. Selain itu, virus ini tidak dapat ditularkan dari manusia ke manusia. Dengan tingkat kemampuan penularan antar manusia tersebut, penyakit flu burung tidak memiliki ancaman serius.

Walaupun tidak memiliki ancaman serius, namun mengingat dalam beberapa bulan terakhir dilaporkan penyebarannya begitu cepat, tak pelak akhirnya membuat para ilmuwan, regulator serta produsen vaksin melakukan pertemuan bersama, selain untuk menetapkan varian flu dalam rangka pengembangan vaksin, mereka juga berdiskusi seputar risiko virus hewan yang menularkan kepada manusia dan akhirnya menciptakan pandemi baru.

Sebagai informasi, flu burung pernah mewabah di Asia, Afrika, Timur Tengah, serta beberapa bagian Eropa, dan menyebabkan kematian pada sebagian penderitanya. Menurut WHO, virus flu burung jenis H5N1 telah menjangkiti 862 orang di seluruh dunia dan menyebabkan kematian pada 455 orang hingga tahun 2020.

Sayangnya, menurut Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) menyebut manusia tak siap jika harus menghadapi pandemi berikutnya usai habis-habisan melawan Covid-19 selama 3 tahun. Organisasi kemanusiaan tersebut mengatakan dalam Laporan Bencana Dunia yang dirilis pada Senin (30/1) bahwa “semua negara tetap tidak siap menghadapi pandemi di masa depan”. IFRC mengatakan ” Negara-negara harus mulai bersiap sekarang, karena dunia kita menjadi semakin berbahaya.” Bahaya ini tak hanya wabah penyakit, tetapi juga bencana terkait iklim dan cuaca.

Pandemi Covid-19 harus menjadi peringatan bagi komunitas global untuk mempersiapkan diri menghadapi krisis kesehatan berikutnya,” kata Jagan Chapagain, Sekretaris Jenderal IFRC, seperti dikutip ScienceAlert. Menurut data terbaru yang dikumpulkan oleh Universitas Johns Hopkins, lebih dari 6,8 juta orang telah meninggal akibat Covid-19 di seluruh dunia sejak pandemi dimulai pada awal 2020. IFRC menyebut jumlah korban ini lebih banyak daripada gempa bumi, kekeringan, atau badai apa pun yang tercatat dalam sejarah.

Sebagai informasi, untuk menanggulangi pandemi Covid-19, Bank Dunia sudah menggelontorkan dana hingga US$ 157 miliar untuk membantu pembiayaan krisis kesehatan, bahkan hal tersebut adalah respon yang paling besar dalam sejarah Bank Dunia. Hal itu untuk menuntaskan masalah kesehatan seperti kesenjangan penanganan di dalam negaranya, dan hingga februari tahun 2022 lalu Bank Dunia sudah membantu 67 negara untuk membeli lebih dari setengah juta dosis vaksin.

Krisis Kesehatan Mengancam Manusia

Pandemi Covid-19 lalu menjadi salah satu pukulan telak bagi peradaban umat manusia. Malangnya, risiko kemunculan penyakit menular semacam ini selalu ada. Sebuah studi pada 2014 mengumpulkan data penyakit selama 33 tahun dari tahun 1980 hingga 2013. Ini mencakup 12.102 wabah dari 215 penyakit menular manusia.

Dilansir dari laporan IFRC, para peneliti berupaya mengendalikan pemicu seperti perbaikan dalam pengawasan penyakit. Dalam studi tersebut, para peneliti menemukan peningkatan yang signifikan dalam jumlah wabah dan keragaman penyakit. Pada awal 1980-an, ada kurang dari 1.000 wabah penyakit per tahun, tetapi pada akhir tahun 2000-an jumlahnya meningkat tiga kali lipat menjadi lebih dari 3.000. Bakteri dan virus menjadi penyebab 88 persen wabah. Sementara, zoonosis atau penyakit yang masuk ke populasi manusia dari hewan yang bertanggung jawab atas 56 persen dari wabah. Selain itu, analisis WHO pada 2018 mengatakan “Epidemi penyakit menular lebih sering terjadi, dan menyebar lebih cepat dan lebih jauh dari sebelumnya, di berbagai daerah di dunia.”

Analisis menemukan 1.307 kejadian epidemi antara tahun 2011 dan 2017. Hal itu disebabkan oleh berbagai penyakit, termasuk demam kuning, kolera dan shigellosis. Itu setara dengan rata-rata 187 kejadian epidemi per tahun. Para ahli menyebut tren epidemik ini berkaitan dengan di mana orang-orang tinggal dan seberapa sering mereka melakukan perjalanan.

Pada 2007, kepadatan penduduk secara umum terus meningkat, lebih banyak orang tinggal di daerah perkotaan daripada pedesaan yang menciptakan kondisi penyebaran yang cepat. Di sisi lain, maskapai penerbangan berlipat ganda sejak tahun 2000, memungkinkan penyakit menyebar secara internasional dengan cepat. Faktor lain termasuk perubahan iklim, yang mempengaruhi kemunculan dan distribusi patogen baru atau yang dimodifikasi, dan betapa rentannya orang terhadap mereka.

Alhasil, krisis kesehatan dan pandemi akan terus muncul dan berulang dalam sejarah peradaban manusia, untuk itu sangat dibutuhkan strategi matang dan sistem kesehatan yang kuat agar umat manusia lebih siap menghadapi krisis kesehatan dan ancaman pandemi yang mengintai di masa depan.

Paradigma Kesehatan Dalam Kapitalis

Selama tiga tahun terakhir ini pandemi Covid-19 telah menerjang dunia, hingga negara maju sekalipun sangat merasakan dampaknya. Hal ini seharusnya bisa membuat umat sadar bahwa penanganan Covid-19 oleh dunia global dengan sistem kapitalis-nya telah terbukti gagal, dimana kegagalannya bukan semata faktor alamiah dari pandemi itu, melainkan akibat dari penerapan sistem batil, yaitu sistem kapitalisme yang hanya menilai segala hal untuk mendapatkan keuntungan materi dari setiap kebijakannya. Termasuk kebijakan kesehatan.

Sistem kesehatan kapitalisme dibangun dari paradigma bisnis. Ini bisa dilihat dari adanya perjanjian General Agreement on Trade in Service (GATS) yang dibuat oleh World Trade Organization (WTO) pada bulan Januari tahun 1995, dengan menjadikan 12 sektor jasa sebagai jalan kran investasi dan liberalisasi. Salah satunya adalah sektor kesehatan.

Dari sini kita bisa menyaksikan seperti apa model kebijakan kapitalis dalam menangani pandemi dan masalah kesehatan lainnya. Keuntungan materi lebih diutamakan, ketimbang nyawa manusia. Maka, sangat wajar jika kapitalis gagal dalam menangani pandem lalu. Sebab, sejak awal hanya memikirkan urusan ekonomi negara. Penyelamatan ekonomi lebih utama dibandingkan dengan penyelamatan nyawa manusia. Hingga akhirnya Covid-19 menyebar luas dan tak terkendali.

Masih segar dalam ingatan, ketika pandemi masuk, semua penularan terjadi di banyak tempat dan wilayah sehingga banyak rumah sakit penuh, tidak ada support penuh dari negara. Masker harus membeli sendiri, yang bergejala tes antigen atau PCR harus membayar sendiri, untuk memperkuat imun vitamin harus membeli sendiri. Bahkan saat varian delta menyerang, orang antri dan harus berebut tabung oksigen, padahal kemampuan masyarakat itu berbeda.

Paradima Kesehatan Dalam Islam

Berbanding terbalik dengan paradigma kesehatan dalam kapitalis, Islam menetapkan paradigma pemenuhan kesehatan ini sebagai sebuah jaminan. Dalam Islam, kebutuhan akan pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Kesehatan adalah masalah kemanusiaan bukan masalah ekonomi seperti dalam sistem kapitalis.

Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki empat sifat.

Pertama, universal, dalam arti tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat.

Kedua, bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapat pelayanan kesehatan.

Ketiga, seluruh rakyat bisa mengaksesnya dengan mudah.

Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon.

Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana yang sangat besar. Disaat negara-negara dalam sistem kapitalis mengandalkan pajak dan bantuan asing untuk membiayai masalah kesehatan, Islam bisa memenuhi pembiayaannya dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah.

Di antaranya, dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya. Juga dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat, secara berkualitas.

Alhasil, dibutuhkan sistem yang kuat dan benar untuk menghadapi ancaman krisis kesehatan di masa depan yaitu sistem Islam yang berasal dari Allah pencipta manusia, dan kuncinya adalah dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Hal itu hanya bisa diwujudkan di bawah sistem yang dicontohkan dan ditinggalkan oleh Nabi Saw., lalu dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan generasi selanjutnya. Itulah sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus diperjuangkan oleh—sekaligus menjadi tanggung jawab—seluruh umat Islam.

Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya.” Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.”

Wallahu a’lam bi ash shawwab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi