Oleh: Tri S, S.Si
Menyambut peringatan Hari Ibu yang jatuh pada 22 Desember, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menggelar pameran bertema The Truth Inside You: Alunan Kisah Tentang Perempuan.
Tema yang diangkat dalam pameran menampilkan kondisi dan peran perempuan dalam keseharian.
“Pameran ini merupakan sarana edukasi kepada masyarakat bahwa peran perempuan sangat besar bagi Indonesia sejak berabad silam ” ujar Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid, dalam siaran pers, Sabtu (17/12/2022).
Hal tersebut terwujud dalam sejumlah produk budaya masa lampau seperti, artefak-artefak yang menjadi jejak nyata kontribusi perempuan untuk turut membangun peradaban masyarakat Tanah Air. Pameran berlangsung pada 15 Desember 2022 hingga 15 Januari 2023 di Museum Nasional, Jakarta (republika.co.id, 18/12/2022).
Hari Ibu, Nasib Ibu Masih Kelabu
Lazimnya, di setiap seremonial sebuah hari istimewa, akan membahas yang ’indah-indah’ tentang momen tersebut. Misal, hari kemerdekaan. Maka isi dari seremonial yang lazim adalah dengan bernostalgia tentang ’indahnya’ pernak-pernik kemerdekaan dari segala sisi. Sehingga sering kali luput, substansi kemerdekaan itu sendiri. Bahkan ketika hampir seluruh sumber daya alam berada dalam kendali asing, kita pun masih terhipnotis dengan ’indahnya’ sebuah seremonial, merasa bahwa kita merdeka.
Begitupun dengan seremonial hari ibu. Dikemas sedemikian rupa dengan lirik-lirik puitis yang mengalunkan ’keindahan demi keindahan’ sosok seorang Ibu. Bernostalgia tentang peran Ibu dari mulai mendidik generasi hingga penentu peradaban sebuah negeri.
Rangkaian bunga dengan warna-warna pastel nan lembut begitu memanjakan mata. Menenangkan hati dan jiwa. Baik berupa buket ataupun sekedar visual, turut mendeskripsikan narasi ’keindahan’ hari Ibu yang diperingati setiap tahunnya.
Yah, seremonial tahunan yang ibarat paradoks jika dihadapkan pada kehidupan nyata para Ibu Indonesia, bahkan dunia.
Stop! Berhenti untuk euforia dengan seremonial semata. Sadar, bahwa hingga tahun ini, nasib Ibu masih bahkan bertambah kelabu. Belum selesai kegalauan jiwa para ibu yang harus menitipkan anak-anak mereka pada pengasuh karena mereka harus turut serta mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Belum beres kegundahan para Ibu, memikirkan bagaimana agar anak mereka terhindar dari narkoba, film porno, geng motor dan tindak kriminal lainnya. Belum tuntas kebimbangan para Ibu yang harus berpikir bagaimana menjaga anak-anaknya dari pergaulan bebas agar tidak dihamili atau menghamili.
Kini, pundak para Ibu harus siap dan kuat menerima kenyataan tentang bahaya yang menghadang buah hati yang dimiliki. Yah, LGBT! Terlebih, pasca keputusan MK yang menolak mengkriminalkan tindakan LGBT, maka bertambah lagi satu masalah serius yang harus dipikul oleh para Ibu.
Fitrahnya seorang Ibu, tentu menginginkan selalu dekat dengan buah hatinya. Menemani setiap proses tumbuh kembang ananda tercinta. Menjadi sahabat setia, tempat pertama yang menjadi curahan keluh kesah, tangis tawanya buah cinta.
Namun apalah daya, kenyataan tidak berpihak pada fitrah yang menyala. Terpaksa, fitrah itu harus dipadamkan. Mengingat perekonomian keluarga tidak memberi belas kasihan, tidak ada kesempatan untuk bermanja-manja dengan setiap perkembangan ananda.
Dapur, listrik, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya sudah meronta untuk dipenuhi. Sedangkan penghasilan sang Bapak tidak mencukupi. Maka sang Ibu, ambil peran untuk turut mengais rezeki. Resikonya, sikap dan karakter anak tidak lagi dalam kendali. Sungguh, masalah ini saja sudah cukup memusingkan kepala kaum hawa.
Ditambah lagi, lingkungan yang peran utamanya sebagai alat kontrol masyarakat, ternyata juga telah mengalami dekonstruksi. Rasa peduli, menjadi barang langka di masyarakat masa kini. Individualisme justru menjadi trend baru yang seolah benar untuk dibudayakan.
”Selagi tidak mengganggu saya, suka-suka merekalah!” atau ”Ah, yang penting bukan anak saya”, selogan ketidakpedulian ini merebak sedemikian rupa. Alhasil, kemaksiatan dan kerusakan pun semakin merajalela.
Berikutnya adalah peran Negara. Sebagai pengatur dan pembuat hukum, Negara menjadi tombak harapan bagi terjaminnya kesejahteraan dan keselamatan bagi seluruh rakyatnya termasuk kaum ibu beserta anak keturunannya.
Para Ibu pasti memiliki harapan, dapat merasakan perawatan atau sekedar istirahat tidur siang untuk melepaskan penat dari rutinitasnya sebagai Ibu. Tanpa perlu memikirkan terikat kontrak pekerjaan, karena penghasilan suaminya sudah mencukupi kebutuhan. Tanpa pusing merancang strategi pendidikan apa lagi untuk si buah hati demi terhindar dari paparan kemaksiatan, karena negara hadir memberikan perisai kepada seluruh warga agar terhindar dari berbagai macam kejahatan.
Sayangnya ibarat pungguk merindukan rembulan, Mak. Sampai hari ini, negara masih gelagapan memberikan perlindungannya untuk kita. Negara masih sibuk dengan polemik KUHP yang mandul dari melindungi segenap bangsa.
Usut punya usut, rupanya KUHP kita warisan dari Belanda. Negara yang 350 tahun lebih menjajah bangsa kita.Negaraa penjajah sudah hengkang, tapi hukumnya masih mengekang.
Jika memang hari ibu ini adalah persembahan istimewa untuk menghargai kaum ibu, semestinya tidak sekedar seremonial tahunan saja yang dijadikan euforia. Buktikan bahwa kaum Ibu itu istimewa. Ibu adalah pabrik pertama dan utama bagi tercetaknya generasi yang kuat, sehat, berkarakter, beriman dan bertakwa. Ini adalah peran besar dan mulia dalam mewujudkan ketahanan dari sebuah Negara.
Bukankah negara yang kuat harus disokong oleh generasi yang kuat pula? Generasi yang kuat hanya bisa diproduksi oleh unit keluarga yang juga memilki ketahanan yang kuat. Ketahan keluarga itu, penopang terbesarnya ada pada Ibu. Sang pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Bagi generasi bangsa. Maka sudah selayaknya negara memberika suport nyata bagi terwujudnya peran Ibu dalam pembangunan bangsa.
Negara harus hadir dalam menjamin kesejahteraan serta keamanan para Ibu dalam hal ini dengan menciptakan lapangan pekerjaan yang memadai bagi para kepala keluarga, juga memberlakukan aturan hukum yang menjaga fitrah kemanusiaan. Serta memberikan jaminan dalam setiap kebutuhan pokok semisal kesehatan dan pendidikan.
Sehingga kaum Ibu dapat menjalankan fitrahnya dengan fokus dan optimal. Para Ibu akan dengan sangat senang hati menjadi garda terdepan, menghantarkan putra putri mereka menjadi generasi terbaik yang akan menjaga ketahanan Bangsa ini.
Akhirnya harus pula disadari, bahwa berbagai nestapa yang ada bukan hadir tiba-tiba. Tidak mungkin ada asap, kalau tidak ada api. Padamnya fitrah kaum Ibu akibat faktor kebutuhan ekonomi, hilangnya rasa peduli di tengah masyarakat dan gagalnya negara dalam melindungi rakyatnya adalah akibat berpalingnya bangsa ini dari hukum-hukum Sang Pencipta kehidupan.
Alhasil, kesempitan hidup begitu menghimpit kita dewasa ini. Jangan sampai pula, kelak kita dibangkitkan dalam keadaan buta jika terus menerus berpaling dari peringatanNya.
”Dan barang siapa berpaling dari peringatanKu, maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit,dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (TQS. Taha:124)
Jika hukum warisan Belanda terbukti mandul dalam menjaga ketahanan keluarga dan negara, artinya, sudah saatnya kita kembali pada hukum Sang Pencipta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat itulah, hari Ibu tidak hanya dimaknai dalam seremonial tahunan semata, akan tetapi menjadi suatu moment harian yang selalu dirindukan. Wallahu a’lam.