Ironis, Nasib Buruh dalam Sistem Kapitalisme

Oleh. Hamidatus Soimah
(Kontributor MazayaPost.com)

Pembahasan kenaikan upah minimum sedang panas-panasnya belakangan ini. Ketua Komite Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia Subchan Gatot mengungkapkan bahwa mulai dari Sabtu-Minggu hingga Senin Dewan Pengupahan Nasional sudah melakukan sidang, bahkan di hari Minggu menteri ada rapat khusus dimana semua bahas soal pengupahan. “Subchan menyatakan bahwa penting untuk melibatkan perwakilan pengusaha, serikat pekerja, dan pemerintah dalam menentukan upah minimum. Mereka mengusulkan agar kenaikan upah minimum berdasarkan PP51/2024 dibatasi maksimum 0,3, yang setara dengan kenaikan sekitar 3,5%. Selain itu, mereka juga mendorong agar struktur skala upah diperhatikan untuk pekerja yang memiliki pengalaman lebih dari 1 tahun, karena mayoritas pekerja berada dalam kelompok ini.” Jakarta, Kamis (7/11/2024).

Di Tanah Air, regulasi ketenaga kerjaan justru sering berpihak kepada pengusaha atau para investor. Dengan dalih menyuburkan iklim investasi, yakni agar para investor mau berinvestasi dan membuka lapangan pekerjaan, beragam regulasi dibuat untuk kepentingan mereka dengan meminggirkan kepentingan tenaga kerja. Sering kali dengan dukungan negara, para pengusaha berusaha sekuat tenaga menekan gaji pegawai agar mereka mendapat keuntungan yang maksimal. Sebaliknya, mereka berusaha mengeksploitasi tenaga para buruh untuk meningkatkan produksi demi mendapatkan keuntungan. Hal seperti itu sudah biasa terjadi di negara-negara kapitalis.

Para pengusaha kapitalis yang banyak membuka usaha di negara-negara berkembang mereka memiliki bahan baku yang murah dan mudah didapatkan serta tenaga kerja yang digaji secara tidak sesuai. Warga yang membutuhkan pekerjaan akhirnya terpaksa menerima tawaran upah yang murah karena kebutuhan nafkah. Akibatnya, terjadilah kesenjangan sosial yang amat mendalam. Para pengusaha semakin kaya-raya, sedangkan buruh makin menderita.

Berbeda dengan negara dalam Islam. Khilafah Islam hadir untuk mengurusi dan melindungi kepentingan semua anggota masyarakat, baik pengusaha maupun pekerja. Nabi saw. bersabda,

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari)

Khilafah adalah negara yang bertanggung jawab penuh atas nasib rakyatnya. Khilafah yang menerapkan syariah Islam wajib menjamin kebutuhan hidup rakyat; memberikan lapangan pekerjaan, menjamin kebutuhan hidup seperti pendidikan dan kesehatan, serta menjaga keamanan mereka. Khilafah juga akan membuat para pengusaha yang berlaku zalim kepada para pekerja mereka. Bagi Khilafah, kesejahteraan rakyat di atas kepentingan para penguasa dan sungguh-sungguh mengurusi urusan umat.

Dalam Islam, buruh/pekerja diberikan perlindungan dengan mengingatkan para pemilik modal:

Pertama, perusahaan harus menjelaskan kepada calon pekerja jenis pekerjaan, waktu/durasi pekerjaan serta besaran upahnya. Mempekerjakan para pekerja tanpa kejelasan semua itu merupakan kefasadan.

Kedua, upah buruh tidak diukur dari standar hidup minimum di suatu daerah. Cara inilah yang dipakai sistem kapitalisme di seluruh dunia. Dibuatlah standar upah minimum daerah kota/kabupaten atau propinsi. Akibatnya, kaum pekerja hidup dalam keadaan minim atau pas-pasan. Pasalnya, gaji mereka disesuaikan dengan standar hidup minimum tempat mereka bekerja. Seberapa keras mereka bekerja tetap saja mereka tidak bisa melampaui standar hidup masyarakat karena besaran upahnya diukur dengan cara seperti itu.

Ketiga, perusahaan wajib memberikan upah dan hak-hak buruh sebagaimana akad yang telah disepakati, baik terkait besarannya maupun jadwal pembayarannya. Majikan/perusahaan haram  mengurangi hak buruh, mengubah kontrak kerja secara sepihak, atau menunda-nunda pembayaran upah. Semua ini termasuk kezaliman. Nabi saw. bersabda,

قَالَ اللَّهُ ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، رَجُلٌ أَعْطَى بِى ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ، وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ

“Allah telah berfirman, “Ada tiga golongan yang Aku musuhi pada Hari Kiamat: seseorang yang berjanji atas nama-Ku kemudian ingkar; seseorang yang menjual orang merdeka kemudian menikmati hasilnya; seseorang yang memperkerjakan buruh dan buruh tersebut telah menyempurnakan pekerjaannya, namun ia tidak memberikan upahnya.” (HR al-Bukhari).

Menunda pembayaran upah/gaji pegawai, padahal mampu, termasuk kezaliman. Nabi saw. bersabda,
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ

“Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezaliman.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Bahkan orang seperti ini layak mendapatkan hukuman, sebagaimana sabda Nabi saw.,

لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ

“Orang yang menunda kewajiban itu halal kehormatannya dan pantas mendapatkan hukuman.” (HR Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Negara wajib turun tangan menyelesaikan perselisihan pekerja dengan pemilik modal. Negara tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak. Akan tetapi, negara harus menimbang dan menyelesaikan permasalahan kedua pihak secara adil sesuai dengan ketentuan syariat Islam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi