Ironi Penegakan Hukum Kasus Korupsi

Oleh. Ainun Afifah
(Kontributor MazayaPost.com)

Seakan tak ada habisnya, kasus korupsi di negeri ini kembali menjadi santer dibicarakan publik. Dalam waktu yang berdekatan, dua kasus korupsi tengah ramai dibicarakan. Pertama, kasus korupsi Impor yang dilakukan oleh mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong saat menjabat Mendag pada 2015-2016 lalu. Dia dan satu tersangka lainnya, yakni Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, berinisial CS ditengarai merugikan negara Rp 400 miliar. Kedua, dugaan gratifikasi terhadap Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep dalam kasus pemberian fasilitas jet pribadi.

Namun, berbeda dari kasus pertama yang sudah menjadi tersangka. Pada kasus kedua, KPK menyatakan pemberian fasilitas kepada putra bungsu Jokowi itu bukanlah gratifikasi karena Kaesang bukan penyelenggara negara. Ia terpisah dari orang tuanya. Selain itu, fasilitas tersebut hanya berupa jasa yang langsung dinikmati oleh Kaesang, bukan barang atau bentuk gratifikasi lainnya yang memengaruhi kebijakan negara.

Tebang Pilih Penegakan Hukum

Pernyataan KPK tersebut jelas hanya alibi. Siapa pun tahu bahwa Kaesang adalah putra Presiden Jokowi. Pemberian fasilitas untuk Kaesang jelas karena ia putra presiden, bukan semata individu Kaesang. Dengan demikian, fasilitas jet pribadi itu terkategori gratifikasi yang merupakan salah satu jenis korupsi berdasarkan Pasal 12B dan 12C UU Tipikor. Perbedaan perlakuan terhadap dua kasus tersebut nampak jelas menunjukkan adanya tebang pilih dalam penegakkan hukum. Adanya tebang pilih ini pun bukan kali pertama terjadi, hal ini juga tampak pada beberapa kasus korupsi yang penanganannya lambat bahkan ada yang tidak kunjung selesai meski sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Seperti Kejagung tolak periksa Mendag Zulkifli Hasan padahal pernah impor gula lebih besar, juga kasus Bank Century, dana BLBI, dan KTP elektronik yang hingga kini belum tuntas.

Sistem Kapitalisme Biang Masalah

Terlalu ironi memang, konsep persamaan di depan hukum (equality before the law) tidak terwujud. Akibatnya, alih-alih menurun, justru korupsi tumbuh bak jamur di musim hujan. Praktik tebang pilih dalam pengusutan korupsi semacam ini sungguh niscaya dalam sistem sekuler kapitalisme karena sistem ini berasaskan sekularisme yang menihilkan peran agama dalam kekuasaan.

Kekuasaan yang cenderung korup dalam sistem sekuler kapitalisme akibat tidak ada kontrol agama terhadap perilaku manusia saat menjadi penguasa. Agama hanya boleh termanifestasi dalam sektor privat, yaitu akidah, ibadah, dan akhlak. Sedangkan dalam sektor publik yang salah satunya adalah sistem politik kenegaraan, agama tidak boleh hadir dan mengatur. Akibatnya, kekuasaan berjalan liberal, penguasa pun seolah-olah berwenang untuk berbuat semaunya demi meraih dan mempertahankan kekuasaannya.

Sistem hukum dan persanksian dibuat dan ditafsirkan sedemikian rupa sehingga rezim berkuasa akan aman dari jerat hukum meski bertindak korup. Sebaliknya, lawan politik akan dijegal dengan segala cara agar terkena jerat hukum. Demikianlah di dalam sistem sekuler kapitalisme yang akan menumbuh suburkan kasus korupsi.

Islam Solusi Tuntas

Islam sebagai agama yang sempurna memiliki seperangkat peraturan, mulai dari politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, social, dll. Termasuk pemberantasan korupsi. Pada juli 2022 lau diadakan pertemuan putaran kedua Anti-Corruption Working Group (ACWG) G20 di Nusa Dua, Bali yang membahas terkait pemberantasan korupsi. Tetapi sebelum pertemuan tersebut, sejatinya Islam lebih dulu memiliki konsep paripurna dalam pencegahan dan penindakan korupsi.

Pertama, pendidikan berbasis akidah Islam. Membentuk kerangka berpikir yang cemerlang sesuai akidah Islam sehingga umat memiliki kepribadian Islam, alhasil pejabat negara memiliki kesadaran bahwa ia wajib jujur, adil, dan bertanggung jawab atas amanah jabatannya.

Kedua, mengaudit kekayaan pejabat negara. Setiap pejabat negara akan diperiksa kekayaannya guna menjaga mereka dari tindak korupsi. Hal ini sebagaimana pada masa Khalifah Umar bin Khattab melakukan audit terhadap harta kekayaan pejabatnya. Sikap tegas Umar ini tampak ketika beliau mengangkat Utbah bin Abi Sufyan sebagai wali di suatu wilayah.

Ketika Utbah kembali ke Madinah dengan membawa kekayaan yang besar, Umar bertanya, “Min aina laka hadza, ya Utbah? (Kau dapatkan dari mana hartamu ini, hai Utbah?)” Utbah menjawab, “Aku keluar ke sana dengan uangku sambil berdagang.” Umar berkata, “Aku mengutusmu sebagai wali negeri, tidak mengutusmu sebagai pedagang karena sebenarnya dagangan dan kekuasaan itu tidak sama. Oleh karena itu, masukkanlah hartamu ke baitulmal kaum muslim.”

Ketiga, menegakkan hukum dengan adil, tidak ada tebang pilih dan hukuman tegas bagi pelaku korupsi. Sanksi bagi pelaku korupsi adalah hukuman takzir yang wewenangnya berada di tangan Khalifah. Sanksi tersebut bisa berupa peringatan, publikasi, penyitaan harta, pengasingan, penjara, hingga hukuman mati.

Jelas sudah, hanya Islam solusi tepat menangani korupsi. Islam adalah satu-satunya jalan terbaik untuk mendatangkan keadilan untuk semua golongan. Dengan penerapan mekanisme Islam ini, insyaallah seluruh negeri akan terbebas dari korupsi.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi