Ironi Biaya Haji Tinggi, Kapitalisasi di Semua Lini?

Oleh. Yulweri Vovi Safitria

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan biaya haji di 2023 ditetapkan sebesar Rp98,8 juta. Dari angka tersebut, biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang dibebankan kepada setiap jemaah adalah senilai Rp69,1 juta, lebih tinggi dari tahun lalu yang hanya sebesar Rp39,8 juta. Hal tersebut disampaikan Yaqut dalam rapat kerja bersama Komisi VIII di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis, 19/1/2023.

Sontak pernyataan Menag menimbul tanya di benak publik. Waketum MUI Anwar Abbas pun mempertanyakan kenapa kenaikan biaya akomodasi menjadi terlalu tinggi. Anwar Abbas menduga ada permainan yang justru dilakukan oleh pengusaha di Arab Saudi (detiknews.com, 21/1/2023).

Ironinya, usulan kenaikan biaya ibadah haji justru dilakukan saat Arab Saudi melakukan penurunan biaya paket haji sebesar 30% dari biasanya. Dikutip dari Gulfnews, Jumat (20/1/2023), Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi telah mengumumkan bahwa lebih dari 90 persen paket haji ekonomi telah terjual sejauh ini.

Namun pemerintah menyebutkan bahwa penurunan biaya paket haji dari Arab Saudi tidak terpengaruh layanan haji di Arab Saudi, melainkan akomodasi dan transportasi jemaah haji, serta pengaruh kurs rupiah.

Meskipun baru usulan, tetapi kenaikan biaya ibadah haji perlu dikaji ulang oleh berbagai pihak. Hal tersebut diutarakan oleh senator Abdul Kholik. Abdul menganggap, kenaikan yang sangat drastis itu akan berpotensi memberatkan jemaah. Apalagi di tengah kondisi ekonomi belum pulih dampak pandemi.

Aroma Kapitalisasi?

Naiknya biaya ibadah haji tidak lepas dari spirit bisnis yang timbul di tengah animo umat Islam yang ingin melaksanakan ibadah haji. Sudah tentu, umat Islam melakukan berbagai upaya agar bisa menunaikan rukun Islam yang kelima, melaksanakan ibadah haji ke Baitullah.

Sayangnya, saat umat mengazamkan untuk berangkat menunaikan haji, cara pandang sebagian orang yang bermindset kapitalis menjadikan hal tersebut sebagai peluang bisnis. Naluri bisnis timbul di tengah kuatnya keinginan umat untuk menunaikan ibadah haji. Hal ini menjadi motor penggerak lahirnya prinsip-prinsip investasi.

Ditambah lagi jika merujuk kepada UU 34/2014 tentang pengelolaan keuangan haji. BPKH tidak hanya mengelola penerimaan dana haji, melainkan juga pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawabannya. Hitung-hitungan untung-rugi dalam pengelolaan dana tidak dapat pula dielakkan. Alhasil, naiknya biaya bukan semata-mata karena kurs rupiah, diduga juga sebagai konsekuensi dari spirit bisnis yang hadir dalam pengelolaan dana.

Solusi Haji

Sebagaimana diketahui, pemerintah memfasilitasi setiap orang yang ingin melaksanakan ibadah haji dengan menerima dana awal, dengan cicilan yang super ringan. Ditambah lagi adanya pembagian haji reguler dan haji plus yang memiliki catatan khusus antara keduanya. Sementara kuota haji yang tersedia jumlahnya terbatas. Alhasil, antrean haji selalu meningkat setiap tahunnya.

Pelaksanaan ibadah haji yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip syariat Islam, serta edukasi yang minim terkait ibadah haji baik sebelum dan sesudahnya, membuat permasalahan kian rumit.

Oleh karena itu, perlu kiranya mengurai akar masalah dengan memperhatikan prinsip syariah. Dengan memberikan edukasi yang benar bahwa ibadah haji merupakan kewajiban bagi mereka yang telah memenuhi syarat dan memiliki kemampuan, dan kewajiban tersebut hanya sekali dalam seumur hidup.

Begitu pula dengan pembiayaan haji, sepatutnya dengan hitung-hitungan yang riil dan masuk akal. Memastikan kuota yang tersedia sesuai target, bukan membiarkan pendaftaran terus dibuka yang membuat antrean mengular. Tidak hanya itu, edukasi lanjutan setelah pelakasanaan haji perlu pula dilakukan terhadap masyarakat agar tidak salah memahami makna ibadah haji.

Khatimah

Tanah Haram adalah milik kaum muslimin, oleh sebab itu tidak boleh menjadikan pelaksanaan ibadah haji sebagai bisnis atau dikomersilkan.

Penting pula untuk memperhatikan prinsip-prinsip syariat dalam pelaksanaan dan pelayanan terhadap tamu-tamu Allah. Pemerintah sebagai pelayanan rakyat, sepatutnya pula mempermudah segala urusan umat. Melayani dengan sepenuh jiwa, tanpa megharapkan imbalan apalagi berbisnis dengan rakyat.

“Ya Allah, barangsiapa yang diberi tanggung jawab untuk menangani urusan umatku, lalu ia mempersulit mereka, maka persulitlah hidupnya. Dan barangsiapa yang diberi tanggung jawab untuk mengurusi umatku, lalu ia memudahkan urusan mereka, maka mudahkanlah hidupnya.” (HR Muslim).

Wallahu a’lam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi