Oleh: Ummu Syanum
(Komunitas Menulis Setajam Pena)
Dalam masyarakat, banyak yang berpendapat jika tidak utang kita tidak akan punya apa-apa. Kalau tidak utang, tidak mungkin bisa terwujud keinginan. Bahkan praktiknya, utang itu adalah suatu hal yang sudah biasa dan seolah menjadi kebutuhan di kalangan masyarakat. Parahnya, banyak yang terjebak dalam lingkaran gali lubang tutup lubang karena utang. Berbicara utang dalam sistem kapitalisme saat ini, tidaklah jauh dari riba. Sebab, tidak ada utang yang tidak ada bunga atau ribanya.
Utang tidak hanya dialami oleh masyarakat saja, tetapi juga negara. Sudah diketahui oleh publik, bahwa negeri ini memiliki utang kepada pihak luar atau bisa disebut dengan utang luar negeri. Tahun demi tahun, utang Indonesia bukannya berkurang tetapi justru naik atau meningkat terus menerus.
Dilansir Kompas.com (5/8/2022), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengakui utang Indonesia terbilang besar, yaitu Rp7000 triliun. Luhut menambahkan, jika itu hanya 41 persen dari produk domestik bruto (PDB) kita, dan angka itu jumlahnya dibayar oleh proyek-proyek bagus, bukan uang yang hilang. Tetapi, semua dibayar pembangunan.
Berbicara tentang utang, memang tidak bisa dimungkiri bahwa sebagian besar pembiayaan negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia berasal dari jerat utang dan menggantungkan diri pada investasi. Utang kerap sekali menjadi jebakan ekonomi suatu negara bagi negara lain dan berujung pada efek tidak langsung, yaitu diperbudak investor. Karena ketika melakukan investasi kepada sebuah negara pastinya investor berharap balik modal dan ditambah margin keuntungan.
Maka dari itu, alih-alih mendapat keuntungan dari investasi, tetapi para investorlah yang meraup pundi-pundi. Lagi-lagi, rakyat yang harus menanggung bebannya dengan pengadaan atau naiknya pajak. Ditambah lagi kehidupan yang semakin sulit karena kebutuhan melambung tinggi, kerusakan alam akibat eksploitasi SDA, adanya banyak pengangguran, kemiskinan yang semakin tinggi, dan lain-lain.
Inilah jeratan sistem kapitalisme yang diusung Amerika. Yang mana memberi tawaran menggiurkan untuk negeri-negeri yang lemah atau berkembang dengan pinjaman berbalut investasi. Seolah negeri pengutang mendapatkan keuntungan dari investasi yang ada, namun sejatinya hanya tipu daya dari para kapitalis semata. Keuntungan tentu milik para investor dan negeri pengutang hanya mendapatkan sedikit untung dari investasi sehingga tidak cukup untuk menutup utang yang ada.
Hal ini sangat berbeda dengan tata kelola ekonomi dan kerjasama dengan luar negeri dalam sistem Islam. Dimana politik ekonomi Khilafah, yakni memenuhi kebutuhan dasar (primer) rakyatnya, orang per orang seluruhnya. Negara tidak berkewajiban memenuhi kebutuhan tersier atau sekunder mereka. Karena untuk kebutuhan sekunder atau tersier, swasta diizinkan dalam berkompetisi mendapatkan harga yang ekonomis, bahkan terkait kewajiban negara memenuhi kebutuhan asasi rakyat tersebut.
Selain itu, syariat Islam sudah jelas mengatur kepemilikan, dimana SDA yang merupakan kepemilikan umum tidak akan digondol oleh Asing karena haram dalam Islam. SDA dikelola oleh negara dan diperuntukan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan umat yang menjadikannya sumber pemasukan negara dan tidak perlu bertumpu pada pajak dan utang. Penguasa yang amanah tentunya akan fokus pada pengurusan umat sehingga akan terlahir negara yang terbebas dari utang, serta menjadikan negara mandiri yang terbebas dari setir negara adidaya dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah.
Waallahu a’lam bishowab.