Oleh. Afiyah Rasyad
(Tim MazayaPost.com)
Tak dinafikkan, gaya hidup bebas tengah menjadi pandemi, termasuk di kalangan remaja muslim negeri ini. Dalih HAM menjadi power dahsyat berkibarnya kebebasan berperilaku. Sialnya, alih-alih membendung dan mengakhiri gaya hidup bebas, negara justru memberikan legislasi aturan yang justru merusak generasi.
Legislasi Kontrasepsi dalam Timbangan Hak Asasi
Siapa yang tak tahu, hak asasi manusia dielu-elukan dewasa ini. Banyak generasi yang terperosok jauh di dalamnya. Tragisnya, peraturan pemerintah justru lahir dengan jalan yang penuh kontroversi. Presiden Jokowi pada tanggal 26 Juli 2024 telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. PP tersebut mengatur terkait penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja.
Lahirnya Peraturan Pemerintah ini ditentang oleh berbagai pihak. Salah satu penentangan datang dari Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih. Dia mengecam terbitnya peraturan pemerintah yang menurutnya justru memfasilitasi penyediaan alat kontrasepsi bagi siswa sekolah atau pelajar. Abdul Fikri menyayangkan terbitnya Peraturan Pemerintah yang salah satunya mengatur tentang penyediaan alat kontrasepsi bagi siswa dan remaja usia sekolah. Dengan menyediakan alat kontrasepsi, negara justru tidak mensosialisasikan risiko perilaku seks bebas (MediaIndonesia.com, 4/8/2024).
Hak asasi benar-benar menjadi motor penggerak dilegalkannya penyediaan alat kontrasepsi. Hak asasi ini diusung oleh ideologi kapitalisme yang berakidahkan sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan dan negara. Padahal, jelas legislasi PP No. 28/2024 ini bertentangan dengan nilai-nilai agama. Pada faktanya, tidak ada satu pun agama yang melegalkan perilaku seks bebas alias zina.
Pendidikan saat ini juga jauh dari nilai-nilai agama. Meski tujuan pendidikan untuk mencerdaskan anak bangsa, nyatanya cara yang keliru dari kebebasan berperilaku sangat merusak pola pikir dan pola sikap generasi. Pendidikan agama sangat minim dan tidak mampu menyadarkan peserta didik tentang adanya konsekuensi pahala dan siksa.
Dalam perkara mewujudkan kesehatan reproduksi di kalangan remaja dan siswa, aturan ini justru berjalan untuk menguatkan sekularisme bercokol di negeri ini. Indonesia sudah darurat zina. Jelas hal ini tak hanya membahayakan nasab alias garis keturunan saja, tetapi membahayakan masyarakat dan berujung pada rusaknya peradaban manusia.
Mekanisme Islam Tuntaskan Perzinaan
Islam bukan sebatas agama ritual saja, tetapi sebuah ideologi kehidupan yang aturannya berasal dari Zat Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan ini. Allah Maha Menciptakan manusia dengan segala potensi yang ada lengkap dengan aturannya. Salah satu potensi itu adalah keberadaan naluri pada manusia untuk melestarikan jenisnya lengkap dengan aturannya.
Dalam Islam, pemenuhan naluri nau (melestarikan keturunan) bukan dengan zina. Zina jelas haram, mendekatinya saja dilarang, apalagi jika sampai melakukannya. Sebagaimana firman Allah Taala, “Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)
Sementara Islam menganjurkan menikah bagi siapa saja yang sudah balig dan mampu emngarungi bahtera ini. Sebagaimana sabda Nabi saw., “Nikahilah perempuan yang pecinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu).” (HR. Abu Dawud)
Bagi yang sanggup menikah, banyak sekali cara menahan diri terhindar dari perbuatan mendekati zina. Dalam kitab “Sistem Pergaulan Islam” disebutkan bahwa kehidupan laki-laki dan perempuan hukum asalnya terpisah. Maka dari itu, laki-laki dan perempuan dilarang berkhalwat (berdua-duaan) ataupun ikhtilat (bercampur baur). Baik laki-laki maupun perempuan wajib ghadul bashor (menundukkan pandangan), menutup aurat dengan sempurna sesuai ketentuan Islam. Selain itu, perempuan dilarang tabaruj dan juga mendayukan suaranya di hadapan laki-laki asing (bukan mahrom).
Selain beberapa hal di atas, Baginda Nabi juga menitahkan muslim yang bergelora nalurinya, tetapi belum mampu menikah, untuk berpuasa. Sebagai muslim, seharusnya menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk urusan pergaulan laki-laki dan perempuan ini. Pendidikan Islam juga akan memisahkan antara siswa laki-laki dan perempuan. Interaksi atau pergaulan di antara mereka akan dijaga dan dikontrol ketat oleh pihak sekolah, masyarakat, dan juga negara. Pendidikan Islam berasakan akidah Islam, yakni membangun kesadaran akan hubungan siswa dengan Allah sehingga siswa benar-benar memahami hakikat hidupnya dan terbentuk kepribadian (pola pikir dan pola sikap) islami pada diri siswa.
Dalam perkara kontrasepsi, mubah saja alat itu diedarkan di tengah masyarakat yang telah menikah, hanya untuk yag telah menikah. Adapun pelanggaran-pelanggaran mendekati zina bagi siapa pun yang telah balig akan diberikan hukuman sesuai pasangan khalifah atau kadi. Apabila sampai berzina, maka hukum rajam bagi yang sudah menikah dan cambuk 100 kali bagi yang belum menikah akan ditegakkan tanpa pandang bulu. Karena itulah hukuman yang telah termaktub dalam nas Al-Qur’an dan sunah.
Dengan demikian, tak akan ada celah bagi perzinaan. Tentu saja semua mekanisme di atas akan sangat efektif jika penerapan Islam kaffah diselenggarakan oleh institusi negara. Sebab, negaralah yang berkewajiban menjaga suasana keimanan di tengah masyarakat dan memelihara semua urusan rakyat, termasuk perkara interaksi antara laki-laki dan perempuan. Aturan Islam menjaga setiap individu untuk meraih kemuliaan dunia dan akhirat. Sudah saatnya kaum muslim berjuang mengembalikan kehidupan Islam agar keberkahan dan rahmat bagi semesta alam terwujud. Wallahualam.