Indonesia Darurat Kekerasan Seksual

Oleh. Razzaqurnia Dewi(Mahasiswi)

Akhir-akhir ini, Indonesia kembali digemparkan dengan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang berusia16 tahun berinisial RO di Kabupaten Parigi Mountong, Sulawesi Tengah (Sulteng). Dilansir dari kompas.com, kondisi terbaru saat ini polisi menyampaikan bahwa peristiwa yang menimpa RO bukanlah kasus pemerkosaan melainkan persetubuhan di bawah umur.

Diketahui, RO menjadi korban pemerkosaan oleh 11 pria pada April 2022 hingga Januari 2023. Pelaku pemerkosaan terdiri dari guru sekolah dasar, petani, kepala desa, wiraswasta, pengangguran, termasuk seorang anggota Brimob. Kasus tersebut terungkap setelah korban melapor ke Polres Parigi Moutong pada Januari 2023. Saat melapor, RO didampingi oleh ibu kandungnya.

Kemudian di Jakarta Utara, juga terjadi kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang anak remaja. Mirisnya, pelaku adalah ayah tirinya. Saat ini, Polisi sedang berupaya untuk memulihkan kembali psikologi korban warga Pademangan, Jakarta Utara (Jakut), yang menjadi korban pemerkosaan ayah tirinya hingga hamil (detik.com).

Kemudian di Empat Lawang, Sumatra Selatan, polisi kembali menangkap seorang petani dalam kasus pemerkosaan anak kandungnya yang masih di bawah umur. Aksi bejat itu dilakukannya karena kecanduan film porno. Polisi menangkap pelaku saat berada di rumahnya di kawasan Desa Lubuk Kelumpang, Kecamatan Saling, Kabupaten Empat Lawang, Kamis (8/6) sekitar pukul 21.30 WIB (detik.com).
Dilansir dari CNN Indonesia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak. Berdasarkan catatan KemenPPPA, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus pada 2022. Jumlah itu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yakni 4.162 kasus.

Banyaknya tindak kekerasan seksual yang menimpa anak salah satunya akibat mudahnya masyarakat dalam mengakses konten-konten pornografi. KPPPA mengungkapkan, Indonesia pernah menempati ranking ke 2 yang melakukan pencarian video porno di dunia. Data yang sama juga mencatat ada 66% anak laki-laki pernah menonton kegiatan seksual melalui platform game online. Begitu juga, 63,2% anak perempuan pernah menonton pornografi.

Sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia, data di atas tentu sangat menyedihkan sekaligus memalukan bagi Indonesia. Sudah jelas, bahwa gaya hidup bebas ala kapitalis Barat tidak mampu terhindarkan hanya dengan kemusliman penduduknya. Sehingga dapat dikatakan bahwa saat ini Indonesia telah menerapkan sekulerisme dalam kehidupan.

Solusi Sekuler Selalu Gagal

Melihat tingginya kasus saat ini, membuktikan bahwa Indonesia sedang darurat kekerasan seksual pada anak. Hal ini dapat terjadi karena sanksi yang selama ini di berikan kepada pelaku dinilai kurang tegas dalam memberikan efek jera.

Begitu pun dengan aturan yang dibuat oleh negara atas kekerasan seksual yang malah memberikan peluang besar bagi para pelaku untuk melakukan kejahatan. Seperti kasus yang terjadi di atas bahwa seorang anak yang diperkosa oleh 11 orang dikatakan bukan lagi sebagai kasus pemerkosaan, akan tetapi hanya dianggap sebagai kasus persetubuhan.

Hal ini diperparah dengan mudahnya masyarakat dalam mengakses media yang berbau seksualitas tanpa pengawasan. Banyak sekali saat ini konten creator Indonesia sendiri yang malah membuat konten konten yang bertema pornografi bebas di posting di media social.

Sedangkan kurikulum yang saat ini di terapkan tidak mampu untuk membentuk para generasi menjadi seseorang yang berakhlak mulia, yang memiliki rasa takut akan rabbnya, sehingga banyak orang yang akhirnya melakukan segala hal dengan asas kebebasan. Nilai agama yang seharusnya hadir dalam sistem pendidikan, nyatanya hanya sedikit diberikan. Akhirnya, akidah tidak tertanam dengan baik.

Allhasil, kegiatan ajar mengajar hanya sekadar menransfer ilmu untuk mendapatkan nilai akademik saja bukan sebagai pembentuk generasi peradaban yang siap berjuang membangun negeri. Begitu pun pendidikan seks yang katanya sudah masuk kurikulum pembelajaran, alih alih mencegah, justru malah merangsang remaja melakukan pergaulan bebas. Sementara, deteksi dini tidak mampu mencegah karena baru melakukan deteksi setelah ada kejadian.

Solusi praktis yang saat ini diterapkan nyatanya tidak mampu untuk menyelesaikan akar masalah. Negara yang seharusnya memiliki kapasitas besar untuk menertibkan ummat nyatanya tidak mampu melakukan. Padahal tanggung jawab besar berada di pundak para pemangku kekuasaan.

Hal ini juga didukung dengan kondisi keluarga yang gagal menjalankan fungsi pendidikan seks terhadap anaknya serta tidak di tanamkan akidah Islam secara penuh kepada anak sehingga ketika ia tumbuh tidak memiliki fondasi kuat dalam mengatur kehidupannya. Kemudian ketika di lingkungan masyarakat yang permisif dan acuh membuat pelaku kejahatan bebas melakukan aksinya.

Terakhir, peran negara saat ini umumnya hanya sebatas sebagai pemberi sanksi. Sanksi kejahatan seksual terhadap anak yang hanya maksimal 15 tahun penjara dianggap terlalu ringan. Padahal apabila kita mau mencermati lebih dalam, posisi negara harusnya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas segala yang terjadi di dalam negerinya.

Sejatinya, akar masalah dari munculnya tindak kekerasan seksual terhadap anak merupakan buah dari system sekuler, liberal, demokrasi yang saat ini tanpa sadar di terapkan oleh sistem kapitalis. .
Pembinaan agama yang seharusnya dilakukan oleh keluarga kepada anak-anaknya sebagai bentuk pembentengan nyatanya lalai untuk dilakukan. Kesibukan kerja dan kurangnya pemahaman orang tua akan agama yang menjadi alasan tidak di berikannya pendidikan tersebut.

Padahal, negaralah yang bertanggung jawab atas abainya pendidikan agama terhadap rakyatnya, baik dari aturan yang di buat maupun dari kurikulum yang diterapkan. Para ibu yang saharusnya menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya ternyata tidak mampu menjalankan kewajiban karena terseret akan arus penerapan system ekonomi kapitalistik agar bekerja.

Akhirnya, yang menjadi korban adalah anaknya, baik dari segi perhatian dan kasih sayang maupun dari segi pendidikan. Orang tua menyerahkan anak begitu saja ke lembaga-lembaga pendidikan yang kadang justru menjadi tempat anak mendapatkan pelecehan seksual.

Begitu juga halnya dengan masyarakat yang lahir dari sistem yang berasaskan kebebasan yakni liberalism. Masyarakat berhak untuk melakukan apapun dengan sebebas-bebasnya atas dasar Hak asasi manusia katanya , tapi dengan mudah dan teganya merampas hak asasi orang lain dengan melakukan kejahatan sesuka hatinya. Kebebasan yang kebablasan dari cara hidup liberal telah menghalalkan berbagai sarana pemuasan nafsu tanpa memandang akibatnya.

Sedangkan negara membebaskan masyarakat untuk mengakses bahkan anak-anak, berhadapan dengan serbuan pornografi dari berbagai media massa, terutama internet. Alasannya, negara tidak mampu mengontrol semua situs yang beredar. Padahal, Malaysia, Cina, dan beberapa negara lain bisa menerapkan mekanisme pengontrolan situs porno. Dan hal ini di perparah dengan lemahnya system hukum yang di implementasikan oleh negara terhadap kejahatan kekerasan seksual dengan anak sebagai korban.

Akibatnya, hukum menjadi mandul, tidak berefek pencegahan, bahkan tidak membuat pelaku jera. Dengan demikian, dalam masalah kekerasan seksual terhadap anak, negara adalah satu-satunya pihak yang mampu menyelesaikan secara tuntas.

Islam Menjadikan Negara sebagai Pelindung Anak

Dari sinilah, kita tahu bahwa sejatinya hanya dengan penerapan Islamlah satu-satunya agama yang memiliki mekanisme untuk mencegah dan mengatasi masalah seksual yang secara sistemis mampu menjamin penghapusan tindak kekerasan terhadap anak. Mendorong upaya perlindungan terpadu yang utuh dari semua sektor yang harus dilakukan oleh negara.

Dalam sektor ekonomi, negara akan menjamin nafkah bagi setiap warga negara. Ibu akan berkonsentrasi penuh dalam mendidik anak-anaknya dalam membentuk kepribadian sesuai dengan Islam dengan membebaskan perempuan dari kewajiban mencari nafkah.

Negara wajib menjaga agar suasana takwa senantiasa hidup di masyarakat. Negara pun melakukan pembinaan agama, baik di sekolah, masjid, dan lingkungan perumahan. Hal ini karena ketakwaan individu merupakan pilar pertama bagi pelaksanaan hukum-hukum Islam. Individu yang bertakwa tidak akan melakukan kekerasan seksual terhadap anak. Hukum fikih terkait dengan pergaulan dan serba-serbinya juga harus dipahami untuk dipahamkan kepada anak sedari mereka kecil.

Penerapan hukum syara’ atas masyarakat sebagai bentuk pencegahan individu dalam melakukan pelanggaran, dengan dakwah Islam sebagai control social untuk mencetak masyarakat yang bertakwa. Kemudian Negara juga akan mengontrol penuh atas peredaran media baik massa maupun media social yang berpotensi merusak generasi, dan media bebas menyebarkan berita dengan syarat terikat kewajiban untuk memberikan pendidikan kepada ummat, menjaga akidah dan akhlak, serta menyebarkan kebaikan kepada masyarakat.

Apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan ini, maka negara akan memberikan sanksi tegas kepada pihak yang bersangkutan. Untuk media asing, negara akan memantau konten-kontennya agar tidak ada pemikiran dan hadharah (peradaban) yang bertentangan dengan akidah dan nilai-nilai Islam. Dengan mekanisme ini, pornografi, budaya kekerasan, homoseksualisme, dan sejenisnya dapat tercegah masuk ke dalam negeri.

Kurikulum pendidikan akan diatur oleh negara yang bertujuan untuk membangun kepribadian Islam bagi seluruh pelajar dan sekolah baik negeri maupun swasta. Sedangkan keberadaan sekolah asing di dalam wilayah negara akan dilarang.

Kemudian syara’ juga akan mengatur aspek pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini bertujuan agar ummat mampu mengelola naluri dengan baik agar kelak mampu melahirkan generasi-generasi penerus yang berkualitas juga berakhlak mulia. Oleh karenanya negara akan memfasilitasi bagi para pemuda yang ingin menikah namun tidak mampu secara materi sebagaimana yang dilakukan oleh Khulafaurosyidin terdahulu. Laki-laki dan perempuan juga wajib menjaga aurat sesuai dengan ketentuan masing-masing, menahan pandangan, dan melarang campur baur antara laki-laki dan perempuan serta melarang untuk di pertontonkannnya aurat dan seks agar tidak di umbar semabarangan apalagi di media social.

Sanksi Tegas
Hukum tegas akan Negara berikan kepada para pelaku tindak penganiayaan dan pelaku kekerasan seksual kepada anak. Pemerkosa mendapat 100 kali cambuk (bila belum menikah) dan hukuman rajam (bila sudah menikah). Penyodomi dibunuh. Jika melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan, terkena denda 1/3 dari 100 ekor unta atau sekitar 750 juta rupiah, selain hukuman zina. (Abdurrahman al-Maliki. 1990. hlm. 214—238).

Sehingga dengan penerapan hukuman tersebut di harapkan mampu menghindarkan para pelaku kejahatan seksual untuk melancarkan aksinya. Penerapan hukum secara utuh ini akan menyelesaikan dengan tuntas masalah kekerasan terhadap anak. Anak-anak dapat tumbuh dengan aman, menjadi calon-calon pemimpin, calon-calon pejuang, dan calon generasi terbaik. Akan tetapi, yang mampu menjalankan fungsi dan tanggung jawab seperti di atas tidak lain hanyalah negara yang menerapkan sistem Islam secara utuh, yaitu Daulah Khilafah Islamiah.

Wallahu a’lam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi