Indonesia Darurat “Kekerasa Seksual” pada Anak, Apa Solusinya?

Oleh. Razzaqurnia Dewi

Sungguh malang Nasih Gadis berusia 15 tahun asal Kabupaten Parigi, Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah ini. Ia dilecehkan oleh 11 orang Pria. Pristiwa memilukan tersebut bermula, pada tahun lalu. Ketika Itu R membawa bantuan dari Poso untuk korban banjir di Desa Toroe, Parimo. Kemudian korban dijanjikan pekerjaan di sebuah Rumah Makan. Namun, itu hanya tipu daya dari pelaku. Bukan pekerjaan yang didapatkan, tapi justru pelaku melakukkan peleceehan seksual kepada R.

Tidak sampai disitu pelaku juga mengajak pelaku lain untuk melecehkan R. Mirisnya Lagi dari hasil penyidikan terungkap bahwa pelaku seharusnya menjadi pengayom masyarakat, justru bertindak Immoral. Seperti pelaku berinisial (HST) merupakan seorang anggota Brimob yang menduduki jabatan Perwira, ada (HR) merupakan seorang kepala desa, dan (ARH) seorang ASN yang berprofesi sebagai guru.

Ada beberapa dugaan yang muncul bahwa kasus ini bukanlah sebuah pelecehan, namun prostitusi anak. Dugaan ini mencuat karena banyaknya pihak yang terlibat dalam kasus ini. Sungguh miris kasus pelecehan seksual terus terjadi di republik ini.

Bahkan data yang dihimpun oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) menyatakan bahwa pada tahun 2022 saja terdapat 9.588 kasus, hal itu meningkat drastic dari tahu sebelumnya yang hanya (4,164) kasus. Jika dibedah dari ada beberapa faktor yang menyebabkan pelecehan seksual semakin parah di antaranya:

Pertama, aspek sanksi yang tidak menjerakan berdasarkan UU 35/2014 tentang perlindungan anak, setiap orang dilarang melakukkan ancaman kekerasan, memaksa, melakukkan tipu muslihat, atau membujuk anak melakukkan atau ,membiarkan dilakukkan perbuatan cabul. Setiap orang yang melakukan perlindungan pelanggaran tersebut akan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan denda 5 milyar.

Namun sayangnya, hukuman tersebut masih bisa dibilang ringan, karena realisasinya bisa saja sangat ringan. Bahkan jika public tidak mengawal dari awal kasus secara ketat. Maka kasus tersebut akan hilang dan menguap. Karena beberapa kasus yang hilang tanpa penyelesaian hukum, tetapi memilih diselesaikan dengan cara berdamai dengan keluarga dan memberikan sejumlah uang kepada keluarga.

Kedua, masih terdapat perbedaan persepsi di antara para aparat terkait definisi kasus. Perbedaan definisi terkait kasus antaraparat ini bisa menjadi kesalahan yang fatal. Karena ini menyangkut penentuan hukuman bagi pelaku.

Lalu, jika definisi kasus berbeda bagaimana keadilan hukum bisa terwujud. Ketiga, buruknya pengaturan media masa terkait pornografi dan pornoaksi. Hal Ini tebukti masih banyaknya tontonan di media seperti TV, sosial media, bahkan cetak yang berbau muatan sensual. Sehingga, tak heran jika itu menstimulasi naluri biologis seseorang.

Ketiga, adalah buruknya sistem pendidikan saat ini. Kurikulum pendidikan kita begitu jauh dari aturan agama (sekuler). Sehingga wajar ouputnya adalah orang yang mengabaikan agama. Sehingga tak peduli dengan aturan halal haram. Tidak takut masuk neraka, apalagi menginginkan surga.

Maka dari kian banyaknya permasalahan yang dijabarkan di atas, ini bukanlah hanya berbicara permasalahan individu saja namun juga permasalahan sistemis. Hal ini terbukti silih bergantinya tahun kasus pelecehan seksual bukannya menurun malah justru meningkat. Maka dari itu, perlulah mengganti sistem kehidupan ssat ini dengan sistem kehidupan yang benar dari Sang Pencipta, yaitu sistem Islam.

Sistem Islam adalah sebuah sistem kehidupan yang berladaskan akidah Islam. Sehingga keimanana dan ketakwaan sebagai sumber penyelesaiaan masalah. Islam akan menidak tegas pelaku pelecehan seksual tidak hanya pelaku pelecehan seksual saja, namun juga pelaku zina. Dengan hukuman cambuk dan rajam, hal ini tertuang dalam Al-Qur’an dalam surah An-Nur ayat 2, Allah Taala berfirman, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” Hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah.

Namun, jika pelaaku tersebut sudah menikah maka hukuman yang dilakukkan menurut hukum islam adalah rajam. Hal ini tertuang dalam Hadis riwayat Bukhari-Muslim, “Pada suatu waktu seorang laki-laki mendatangi Rasulullah, laki-Laki itu berseru “Wahai Rasulullah saya telah berzina.” Rasuluallah saw. Berpaling tidak mau melihat laki-laki itu hingga laki-laki itu mengulang ucapannya sebanyak empat kali. Nabi pun memanggilnya dan berkata,”Apakah Kamu gila?” Laki-laki itu mengatakan tidak.”Apakah kamu sidah menikah? Ia mengatakan iya. Kemudia Nabi saw. Bersabda kepada para sahabat “Bawalah Orang ini dan rajamlah ia.”

Adapun pemerkosaan (ightisah) tidak hanya soal zina, melainkan melakukkan pemaksaan atau ikrah yang perlu dijatuhi sanksi tersendiri. Imam Ibnu Abdil Barr dalam Kitab Al-Istidzkar menyatakan, “Sesungguhnya hakim atau (qadhi) dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan menetapkan takzir kepadanya dengan suatu hukuman atau sanksi yang dapat membuat pelaku jera dan orang-orang semisalnya.”

Begitulah cara Islam menerapkan keadilan hukumnya bagi pelaku pelecehan seksual. Hukuman yang dijatuhkan pun tidak main-main tegasnya. Tidak ada pengurangan jumlah hukuman atau malah berdamai dengan pelaku pelecehan seksual. Namun sayangnya penerapan hukum itu hanya bisa dilakukkan oleh negara yang menerapkan Islam kaffah, tetapi sayangnya hari ini belum ada negara yang menerapkan Islam kaffah secara keseluruhan. Maka dari itu, sampai kapan kita mau hidup dengan ketidakadilan hukum seperti saat ini?

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi